Di sebuah desa kecil yang damai, hiduplah Maryati, seorang janda muda nan cantik yang parasnya tak kalah menarik dari seblak yang ia jual. Sudah hampir empat tahun suaminya meninggal akibat COVID-19, meninggalkan Maryati dan anak semata wayangnya, Doni, dalam kesendirian. Namun, alih-alih tenggelam dalam duka, Maryati bangkit dengan kekuatan yang luar biasa. Ia mencari nafkah dengan berjualan seblak di lapangan pemda, menyambung hidup untuk dirinya dan Doni.
Seblak yang dijual Maryati terkenal pedas dan lezat, sama seperti penampilannya yang menarik banyak perhatian. Setiap hari gerobaknya selalu ramai oleh pembeli, mulai dari orang desa sampai orang luar desa yang mendengar tentang seblak Maryati yang khas. Tak sedikit pula yang datang bukan hanya untuk membeli seblak, tapi juga untuk melihat kecantikan janda muda itu. Senyumnya yang selalu ramah menjadi daya tarik tersendiri, meski hatinya kadang lelah dengan berbagai godaan yang datang.
Suatu siang yang terik, saat Maryati tengah sibuk melayani pelanggan, datanglah seorang pria berperawakan seperti sean connery seorang aktor dan produser asal Skotlandia yang pernah berperan sebagai James Bond dengan mobil mewahnya yang mengkilap. Ia melangkah angkuh ke arah gerobak seblak Maryati sambil tersenyum licik. Pria itu adalah Drs. Tangga Kusuma, seorang pejabat kaya yang sudah terkenal di daerah tersebut. Sayangnya, ia juga terkenal dengan reputasinya sebagai mata keranjang. Ia sudah punya dua istri, tapi tetap saja sering menggoda perempuan lain.
“Siang, Mbak Maryati. Seblak pedasnya ada?” sapanya dengan senyum mengundang.
Maryati tersenyum ramah, meski sebenarnya agak terganggu dengan tatapan tajam Tangga yang seakan menelannya bulat-bulat. “Ada, Pak Tangga. Seperti biasa ya, satu porsi?”
Tangga tertawa kecil. “Bukan cuma seblaknya yang pedas, yang jual juga. Kalau bisa, saya pesan sekalian hatinya, Mbak.”
Maryati menahan diri untuk tidak bergidik. “Seblaknya sepuluh ribu, Pak.”
Tangga menyerahkan uang dua puluh ribu, tapi menolak kembalian. “Sisanya buat Mbak aja. Tapi jangan cuma kasih pedas seblak, kasih manis senyummu juga, ya.”
Maryati tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak. Kalau mau pesan lagi, saya di sini sampai sore.”
Tangga terus menatap Maryati dengan tatapan penuh arti. “Saya bakal sering-sering ke sini, Mbak. Seblakmu memang yang paling enak.”
Hari-hari berikutnya, Tangga makin sering datang ke gerobak seblak Maryati. Bukan lagi untuk membeli seblak, tapi lebih untuk menggodanya. Tangga bahkan mulai mengajak Maryati mengobrol panjang lebar, mencoba membuatnya merasa nyaman. Awalnya, Maryati menganggap itu hanya obrolan biasa, tapi semakin lama semakin jelas bahwa Tangga menginginkannya lebih dari sekadar penjual seblak.
Suatu sore, Tangga datang dengan mobilnya lagi, kali ini dengan tampilan yang lebih mewah dari biasanya. Ia memarkir mobilnya tepat di depan gerobak Maryati, menarik perhatian banyak orang.
“Mbak Maryati,” panggilnya dengan nada sok ramah, “mau saya antar pulang? Sudah sore, pasti capek kan?”
Maryati menolak dengan halus. “Terima kasih, Pak Tangga. Saya biasa pulang jalan kaki saja.”
Namun Tangga tak menyerah begitu saja. Kali ini ia mengambil langkah berani. “Mbak Maryati, saya serius. Saya sudah lama memikirkan ini. Saya ingin Mbak jadi istri saya. Saya tahu, hidup Mbak berat setelah suami Mbak meninggal. Saya bisa memberi kehidupan yang lebih baik, buat Mbak dan Doni.”
Maryati tertegun. Tangga Kusuma adalah pejabat kaya, tapi juga terkenal licik dan punya dua istri. Tentu saja hidup dengan pria seperti itu bukanlah hal yang mudah. Namun, di sisi lain, Maryati tahu bahwa ia membutuhkan stabilitas finansial demi masa depan Doni. Tawaran ini menjadi dilema besar baginya.
“Tapi, Pak Tangga… Anda sudah punya istri. Bahkan dua,” jawab Maryati pelan, suaranya sedikit gemetar.
Tangga tertawa pelan. “Jangan khawatir, saya masih kuat Mbak. Mereka sudah terbiasa. Lagi pula, saya bisa bagi waktu dengan baik. Mbak bakal hidup nyaman. Rumah, mobil, uang—apa saja yang Mbak butuhkan, saya sediakan.”
Maryati memandang ke arah Doni yang tengah bermain tidak jauh dari gerobaknya. Anak itu adalah segalanya baginya, dan ia ingin memberinya kehidupan yang lebih baik. Setelah berhari-hari memikirkan tawaran Tangga, akhirnya Maryati memutuskan untuk menerima lamarannya. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik untuk masa depan anaknya.
Pernikahan mereka berlangsung sederhana, hanya dihadiri keluarga terdekat. Maryati menjadi istri ketiga Drs. Tangga Kusuma, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Apakah keputusan ini benar? Apakah ia akan bahagia dalam pernikahan ini?
Malam pertama pun tiba. Maryati masuk ke kamar dengan perasaan gugup. Tangga sudah menunggunya dengan senyum penuh arti. Tubuh Tangga yang besar seperti Sean Connery memenuhi ruangan, membuat Maryati merasa kecil di hadapannya. Meski sudah menikah, perasaan canggung itu belum hilang.
Mereka duduk di atas ranjang, memulai obrolan santai, mencoba mencairkan suasana.
“Maryati, kamu sekarang udah jadi istri saya. Gak usah tegang gitu,” ujar Tangga sambil tersenyum.
Maryati mencoba tersenyum balik, namun rasa gugup masih memenuhi dirinya. “Iya, Pak. Tapi… ya namanya juga masih baru.”
Tangga tertawa pelan, lalu perlahan mendekati Maryati, membuat wanita itu semakin gugup. Tubuh Tangga yang besar seperti Sean Connery mendominasi ruang sempit kamar itu, dan saat ia mencoba mendekatkan tubuhnya ke Maryati, tiba-tiba… Brak!
Maryati terjepit di bawah tubuh besar Tangga yang kehilangan keseimbangan. Tangga, yang terlalu bersemangat, tak sengaja menjatuhkan diri ke arah Maryati, membuatnya terjatuh tepat di atasnya.
“Aduh!” seru Maryati, terjepit dan kesakitan.
“Maryati! Maaf! Aku gak sengaja!” Tangga langsung panik dan berusaha bangkit, namun tubuhnya yang besar membuatnya sulit bergerak cepat. Maryati berusaha keluar dari bawah tubuh Tangga sambil tertawa kecil meski merasakan sakit di pinggangnya.
“Pak… bener-bener ketiban Tangga, ya,” ujar Maryati dengan suara gemetar namun masih bisa tertawa kecil.
Tangga yang masih kebingungan tertawa canggung. “Aduh, saya minta maaf, Maryati. Saya terlalu semangat…”
Maryati akhirnya berhasil keluar dari bawah tubuh Tangga, meski tubuhnya terasa lelah dan agak sakit di beberapa bagian. “Hati-hati, Pak. Badan Bapak kan besar.”
Mereka berdua akhirnya duduk di atas ranjang sambil tertawa. Meski malam pertama mereka dimulai dengan insiden tak terduga, suasana pun berubah lebih santai setelah itu. Tangga tak lagi memaksa, dan mereka menghabiskan malam dengan berbicara dan saling mengenal lebih dalam.
Malam itu, meski penuh kejadian lucu, menjadi awal perjalanan baru bagi Maryati dan Tangga. Maryati sadar bahwa hidupnya mungkin tidak akan selancar seblak yang ia jual, tapi ia yakin, selama ia bisa tertawa dan terus menjalani hidup dengan ketulusan, segalanya akan baik-baik saja.
Hari-hari berlalu, dan Maryati mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya sebagai istri Tangga. Meski tak selalu mudah, ia berusaha menjalani peran barunya dengan sabar, dan tetap tersenyum seperti senyum manis yang selalu ia berikan pada pelanggan seblaknya. Meskipun ia sempat “ketiban Tangga” di malam pertama, ia percaya bahwa setiap tantangan bisa dihadapi dengan keteguhan hati.
Meskipun ia sempat “ketiban Tangga” di malam pertama, ia percaya bahwa setiap tantangan bisa dihadapi