Setelah menunaikan ibadah haji, Pak Harun kembali ke kampung dengan semangat yang menggebu-gebu. Ia merasa hidupnya kini lebih bermakna, dan kedekatannya dengan Allah semakin kuat. Setiap hari, ia rajin melakukan berbagai ibadah, tidak hanya sholat wajib, tetapi juga sholat sunnah seperti dhuha dan tahajud. Rasanya, tak ada lagi yang lebih penting dalam hidupnya selain memperbanyak amal dan ibadah. Ia ingin agar semua orang juga merasakan indahnya kedekatan dengan Sang Pencipta.
Suatu hari, Pak Harun yang telah bergabung dalam sebuah grup WhatsApp komunitas kampung yang banyak diisi oleh tetangga dan sahabatnya. Sejak ia pulang dari haji, ia merasa terpanggil untuk mengajak orang-orang di sekitarnya meningkatkan ibadah. Setiap pagi, ia selalu mengirim pesan yang berisi ajakan untuk sholat dhuha.
“Assalamualaikum wr.wb… Jangan lupa Sholat Dhuha bapak dan ibu … Semoga dengan Istiqomah melaksanakan Sholat Dhuha, Allah beri keberkahan Rezeki kepada kita,, aamiin… wassalam…!” tulis Pak Harun, lengkap dengan gambar motivasi dan ayat-ayat Al-Qur’an tentang keutamaan sholat dhuha.
Niat Pak Harun sebenarnya baik. Ia hanya ingin mengingatkan teman-temannya agar tidak lupa beribadah. Namun, seiring waktu, ada rasa bangga yang mulai menyelinap di hatinya. Setiap kali melihat anggota grup lain hanya membalas dengan “Aamiin” tanpa tanggapan lebih, ia mulai berpikir, “Kenapa mereka tidak seperti aku? Padahal aku selalu berusaha mengajak mereka untuk berbuat baik.”
Hari demi hari, Pak Harun semakin sering mengirimkan pesan ajakan, tidak hanya untuk sholat dhuha, tetapi juga tahajud, puasa sunnah, dan amal-amal lain. Namun, semakin ia rajin mengingatkan, semakin ia merasa ada jarak antara dirinya dan anggota grup yang lain. Kadang, ia merasa lebih suci dan lebih dekat kepada Allah dibandingkan orang-orang di sekitarnya.
Suatu sore, Pak Harun sedang duduk di teras rumah, menikmati secangkir teh, ketika Bu Aminah, tetangganya yang juga anggota grup, datang berkunjung.
“Assalamu’alaikum, Pak Harun,” sapa Bu Aminah ramah.
“Wa’alaikum salam, Bu Aminah. Ada apa gerangan sore-sore begini?” tanya Pak Harun sambil tersenyum.
“Maaf mengganggu, Pak. Saya cuma ingin berbicara sebentar, soal pesan-pesan yang sering Bapak kirim di grup,” jawab Bu Aminah sedikit ragu.
Pak Harun terdiam sejenak. “Oh, soal ajakan sholat dhuha dan ibadah lainnya? Ada yang salah, Bu?” tanyanya.
Bu Aminah menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Bukan soal salah atau benar, Pak. Saya tahu niat Bapak pasti baik, ingin mengajak kami semua lebih rajin beribadah. Tapi, mungkin cara Bapak kurang tepat. Saya pribadi merasa… bagaimana ya… seperti tertekan. Seolah-olah, jika kami tidak mengikuti ajakan Bapak, kami dianggap kurang baik atau kurang taat.”
Pak Harun tersentak mendengar itu. Ia tak pernah berpikir bahwa niat baiknya bisa disalahartikan.
“Maafkan saya kalau begitu, Bu. Tapi, bukankah kita semua memang harus saling mengingatkan dalam kebaikan?” balas Pak Harun dengan nada mempertahankan.
“Iya, Pak, benar sekali. Tapi, ingatlah, ibadah itu adalah urusan pribadi seseorang dengan Allah. Tidak semua orang nyaman diumumkan atau diingatkan secara terang-terangan. Mungkin ada yang sudah melaksanakan, tapi tidak merasa perlu membicarakannya. Saya jadi ingat kata guru ngaji saya dulu, ibadah yang paling baik adalah yang dilakukan tanpa pamer, cukup Allah yang tahu. Kita harus hati-hati, Pak, agar tidak terjebak pada ujub—perasaan bangga atas amal ibadah kita sendiri,” jelas Bu Aminah lembut.
Kata-kata Bu Aminah menampar keras hati Pak Harun. Ujub? Ia tak pernah berpikir bahwa rasa bangga yang ia rasakan bisa berujung pada ujub. Ia teringat, setiap kali ia mengirim pesan ajakan di grup, ia merasa lebih unggul secara spiritual dibandingkan yang lain. Ia merasa menjadi orang yang paling dekat dengan Allah, tanpa menyadari bahwa mungkin ia justru sedang memamerkan ibadahnya secara halus.
“Terima kasih, Bu Aminah. Saya benar-benar tak menyangka kalau perasaan seperti itu bisa muncul. Padahal niat saya hanya ingin mengajak kebaikan,” ucap Pak Harun dengan suara lirih.
“Tidak apa-apa, Pak. Kita semua belajar. Ibadah memang penting, tapi lebih penting lagi menjaga hati dari kesombongan dan merasa diri paling benar. Semoga Allah senantiasa memberikan kita petunjuk,” jawab Bu Aminah sambil tersenyum hangat.
Pak Harun tersenyum penuh rasa syukur. Ia mengerti sekarang, bahwa ibadah bukan untuk ditunjukkan atau dibanggakan di hadapan manusia, melainkan semata-mata untuk Allah. Sejak saat itu, ia lebih berhati-hati dalam beribadah. Bukan berarti ia berhenti mengingatkan orang lain, tapi kini ia melakukannya dengan cara yang lebih halus, dan lebih banyak berfokus pada memperbaiki diri sendiri.
Ia sadar, ibadah adalah urusan pribadi, dan hanya Allah yang berhak menilai, bukan orang lain