SMK Ahmad Dahlan berdiri kokoh di tengah hiruk pikuk kota Lampung Selatan. Di balik bangunan modern dan gedung-gedung yang penuh dengan perangkat teknologi, jurusan Teknik Jaringan Komputer dan Telekomunikasi (TJKT) menjadi salah satu kebanggaan sekolah. Namun, di balik kemajuan teknologi itu, ada satu sosok yang membuat tempat ini terasa lebih hangat dan bersahabat—Ibu Nada.
Ibu Nada, satu-satunya guru perempuan di jurusan TJKT, adalah seorang wanita luar biasa yang mampu menyeimbangkan peran sebagai pendidik, ibu bagi para siswa dan rekan kerjanya, serta seorang hamba yang taat kepada Tuhannya. Setiap pagi, sebelum siswa-siswa berdatangan, Ibu Nada sudah lebih dulu tiba di sekolah. Selain menyiapkan segala keperluan untuk hari itu, ada satu kegiatan yang selalu beliau lakukan dengan khusyuk—sholat sunnah dhuha.
Di sela-sela kesibukannya, Ibu Nada meluangkan waktu untuk bersujud dan berdoa, memohon kekuatan dan bimbingan dari Yang Maha Kuasa. Bagi Ibu Nada, ibadah ini bukan sekadar kewajiban, tetapi juga cara untuk menguatkan hati dan pikiran, agar bisa memberikan yang terbaik bagi siswa dan rekan kerjanya. Di ruang kecil di sudut kantor, beliau melaksanakan sholat dengan penuh khidmat, sementara suasana di luar terus berjalan dengan segala dinamika dan kesibukannya.
Setelah menyelesaikan dhuha, Ibu Nada sering kali merenung sejenak, bersyukur atas segala nikmat yang diberikan dan memohon agar selalu diberi ketabahan dalam menjalani hari. Rasa tenang yang beliau rasakan setelah ibadah itu, selalu membawa ketenangan bagi orang-orang di sekitarnya. Rekan-rekan kerjanya bahkan sering menganggap bahwa kehadiran Ibu Nada di tengah mereka seperti cahaya yang menerangi hati yang gelap, memberikan harapan dan ketenangan.
Pagi itu, seperti biasa, sebelum menuju ruang kantor, Ibu Nada menyempatkan diri untuk membeli dagangan seorang nenek tua yang setiap hari berjualan di dekat gerbang sekolah. Meskipun dagangan sang nenek tidak selalu menarik atau segar, Ibu Nada selalu membeli sesuatu dari nenek itu. Baginya, ini adalah bentuk kepedulian dan ibadah juga, membantu sesama yang membutuhkan.
Setiap kali beliau berhenti di sana, senyum kecil akan merekah di wajah keriput sang nenek, yang tampaknya hanya hidup dari dagangan kecilnya. “Bu, ini gorengannya masih hangat,” ucap nenek itu dengan suara parau.
“Terima kasih, Nek. Saya ambil beberapa, ya,” jawab Ibu Nada dengan senyum lembutnya, lalu memberikan lebih dari cukup uang sebagai bentuk keikhlasan.
Sesampainya di sekolah, Ibu Nada melanjutkan aktivitasnya. Tidak hanya mempersiapkan materi ajar, tetapi juga memastikan bahwa dapur kecil di sudut kantor jurusan siap untuk memasak makan siang bagi rekan-rekan kerjanya. Dapur itu sederhana, tetapi bagi Ibu Nada, itu adalah tempat di mana beliau bisa mengekspresikan rasa sayangnya kepada rekan-rekannya.
Setiap hari, di sela-sela kesibukan mengajar, Ibu Nada menyempatkan diri untuk memasak beberapa hidangan sederhana namun penuh rasa, seperti sayur lodeh yang gurih, ikan bakar yang harum, atau sambal terasi yang pedas menggugah selera. Sambil memasak, beliau selalu melafalkan dzikir dalam hati, berharap bahwa setiap hidangan yang disajikan tidak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga membawa keberkahan bagi mereka yang menikmatinya. Aroma masakan yang menggoda sering kali mengundang rekan-rekan kerjanya untuk berkumpul di dapur, menambah keakraban dan kebersamaan di antara mereka.
Namun, kehidupan di kantor jurusan TJKT tidak selalu berjalan mulus. Suatu hari, terjadi perselisihan paham antara Pak Arif, seorang guru muda yang baru bergabung, dan Pak Budi, guru senior yang sudah lama mengajar di sana. Perselisihan itu berawal dari perbedaan pandangan tentang metode pengajaran baru yang ingin diterapkan oleh Pak Arif. Pak Budi, dengan pengalaman panjangnya, merasa bahwa metode tersebut terlalu rumit dan tidak akan efektif untuk siswa.
Perdebatan yang awalnya hanya berupa diskusi biasa, berubah menjadi argumen panas. Pak Arif yang idealis ingin membawa perubahan, sementara Pak Budi yang lebih konservatif merasa perubahan itu tidak perlu. Suasana di kantor menjadi tegang, sampai-sampai para siswa yang sedang melintas di depan kantor pun bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ruangan itu.
Di tengah ketegangan itu, Ibu Nada tetap tenang. Setelah melaksanakan sholat dhuha, beliau merasa lebih kuat untuk menghadapi situasi yang rumit. Sebagai seseorang yang dihormati oleh semua rekan kerja, beliau tahu bahwa dia harus bertindak sebelum situasi semakin memburuk. Setelah menyiapkan makan siang seperti biasanya, Ibu Nada memanggil Pak Arif dan Pak Budi untuk duduk bersama di ruang makan kecil kantor. “Mari kita makan siang bersama dulu, semuanya pasti bisa dibicarakan dengan kepala dingin,” ujarnya dengan senyum lembut yang menenangkan.
Dengan enggan, kedua guru itu akhirnya duduk bersama. Selama makan siang, Ibu Nada tidak langsung membahas masalah mereka. Sebaliknya, beliau memulai dengan percakapan ringan, mengingatkan keduanya akan tujuan utama mereka—mendidik siswa dengan cara terbaik. “Pak Arif, ingat dulu waktu Bapak pertama kali mengajar? Betapa semangatnya Bapak ingin membawa perubahan, sama seperti Pak Arif sekarang,” kata Ibu Nada, mengenang masa-masa awal karir Pak Budi.
Pak Budi terdiam, menyadari bahwa dia pernah berada di posisi yang sama dengan Pak Arif. Senyum kecil terbit di wajahnya saat dia menyadari bahwa semangat muda itu adalah sesuatu yang pernah dia miliki, tetapi sekarang hampir terlupakan di balik pengalaman bertahun-tahun.
Pak Arif juga mulai merasakan empati. “Saya hanya ingin mencoba sesuatu yang baru, Bu. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk siswa kita,” ujarnya dengan nada yang lebih tenang.
“Saya paham, Pak Arif,” sahut Ibu Nada, “dan itu adalah hal yang baik. Tapi jangan lupa, pengalaman Pak Budi juga sangat berharga. Mungkin kita bisa memadukan ide-ide baru dengan cara-cara yang sudah terbukti berhasil, agar hasilnya lebih optimal.”
Kedua guru itu saling berpandangan, dan akhirnya mereka mengangguk setuju. Perasaan tegang yang sebelumnya menggantung di udara mulai memudar, digantikan oleh rasa saling pengertian. Mereka pun melanjutkan makan siang dengan obrolan yang lebih ringan, sementara Ibu Nada hanya tersenyum lembut, merasa lega karena telah berhasil menjembatani perbedaan di antara mereka.
Namun, tak hanya di kantor, kisah Ibu Nada juga mewarnai kehidupan para siswanya. Suatu hari, salah satu siswa, Dika, seorang anak yang dikenal pendiam dan kurang percaya diri, mendatangi Ibu Nada di sela-sela jam istirahat. “Bu, saya bingung dengan pelajaran ini. Rasanya terlalu sulit untuk saya,” katanya dengan mata yang mulai basah.
Ibu Nada menatap Dika dengan lembut, kemudian merangkulnya. “Tidak ada pelajaran yang terlalu sulit, Dika. Yang penting kamu terus mencoba dan jangan takut untuk bertanya. Saya di sini untuk membantu kamu, Nak.”
Dika tersenyum, merasakan dukungan yang tulus dari gurunya. Setelah percakapan itu, Dika menjadi lebih bersemangat untuk belajar, dan prestasinya perlahan-lahan membaik. Setiap kali Dika merasa putus asa, dia selalu teringat akan kata-kata Ibu Nada, yang memberinya kekuatan untuk terus melangkah.
Hari-hari di jurusan TJKT terus berjalan, namun tidak ada yang berubah dari sosok Ibu Nada. Beliau tetap hadir setiap hari, dengan senyum yang sama, kata-kata lembut yang sama, dan perhatian yang tulus untuk setiap orang di sekitarnya. Bagi siswa-siswa, beliau adalah ibu yang selalu ada saat mereka membutuhkan. Bagi rekan-rekan kerjanya, beliau adalah penjaga keharmonisan dan penenang di saat-saat sulit.
Para siswa yang pernah diajar oleh Ibu Nada selalu mengenang beliau sebagai guru yang berbeda dari yang lain—seorang ibu di tengah teknologi yang keras dan rumit, yang senantiasa berpegang teguh pada iman dan kebaikan. Dan di setiap pelajaran yang mereka pelajari, dalam setiap kabel yang mereka pasang, selalu ada seutas benang lembut yang mengingatkan mereka pada sosok Ibu Nada—guru, ibu, dan teladan bagi mereka semua.