“Ayo bang maju!” seru juru parkir yang membuyarkan lamunan Aufa, seorang seorang pemuda di sebuah kota kecil. Ia tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih sayang. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya mengelola toko kue yang terkenal di daerah mereka. Aufa mendapatkan segala yang ia butuhkan, mulai dari pendidikan yang baik hingga dukungan penuh dari orang tuanya. Setiap hari, ia merasa bersyukur karena bisa menikmati kehidupan yang damai dan nyaman.
Namun, seiring berjalannya waktu, Aufa mulai merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Aufa sudah mulai sering melamun ketika melihat teman-temannya yang tampak lebih sukses dan memiliki barang-barang mewah, rasa iri pun mulai merayap dalam benaknya. Ia sering kali memikirkan, “Mengapa hidup mereka terlihat lebih bahagia daripada hidupku?”
Rasa tidak senang terhadap temannya mulai berkembang. Kata-kata kasar mulai sering keluar dari mulutnya. Teman tersenyum, dia cemberut bagai kasur di lipat-lipat. Teman menegur, dia diam bagai patung. Hatinya gundah gulana melihat teman bahagia. Waktu berjalan serasa melambat.
Pada suatu hari, Aufa memutuskan untuk meraih kebahagiaan seperti yang ia lihat pada orang lain. Ia percaya bahwa untuk mencapai itu, ia harus meninggalkan hidupnya yang sekarang. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk pindah ke kota besar, meninggalkan keluarga dan pekerjaan yang sudah ia miliki. Dan dia memutuskan untuk mengirimkan lamaran-lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan di kota besar. Aufa menyemangati dirinya untuk terus berusaha untuk mendapatkan kerja. Dengan segala usaha akhirnya Aufa mendapatkan hasil. Dia dipanggil untuk mengikuti test dan wawancara.
Di kota besar, Aufa mulai bekerja di sebuah perusahaan bonafid dengan harapan bisa segera meraih kesuksesan. Setiap hari dia dituntut bangun pagi-pagi sekali agar bisa mencapai tempat kerja tepat waktu. Suara mesin kendaraan yang bising dan asap kendaraan bersatu padu menambah kesibukan kota. Menjelang magrib Aufa kembali ke tempat kostnya. Itu menjadi kegiatan rutin setiap harinya.
Seiring berjalan waktu, seluruh kehidupannya diserahkan untuk pekerjaan. Dia tidak punya waktu untuk berinteraksi dengan keluarganya. Tidak ada waktu untuk bercengkerama bersama keluarga. Dia mulai membandingkan dengan kehidupan sebelumnya. Kenyataan tidak seindah bayangan. Kehidupan di kota besar ternyata sangat menantang. Aufa harus bekerja keras dan tekanan pekerjaan membuatnya sering merasa stres dan kesepian.
Setelah beberapa tahun berjuang untuk mendapatkan apa yang selama ini dibanyangkan. Aufa mulai menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan hanya dengan mengejar materi atau kehidupan orang lain. Ia merindukan keluarga dan kehidupan sederhana yang dulu ia tinggalkan. Rasa penyesalan mulai menghantui, dan ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati berasal dari diri sendiri dan orang-orang terkasih, bukan dari perbandingan dengan orang lain.
Dengan penuh tekad, Aufa akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Keluarganya menyambutnya dengan tangan terbuka, memberikan pelajaran berharga tentang cinta dan penerimaan. Aufa belajar untuk menghargai apa yang ia miliki dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana bersama orang-orang yang mencintainya.
Dari perjalanan ini, Aufa menyadari bahwa mengejar kebahagiaan berdasarkan kehidupan orang lain tidak akan membawa kepuasan sejati. Kebahagiaan adalah tentang mensyukuri apa yang dimiliki dan menemukan kepuasan dalam diri sendiri. Sebuah pelajaran berharga bahwa rumput tetangga tidak selalu lebih hijau, dan kadang-kadang, kebahagiaan sejati sudah ada di depan mata.
Aufa menyadari bahwa mengejar kebahagiaan berdasarkan kehidupan orang lain tidak akan membawa kepuasan sejati. Kebahagiaan adalah tentang mensyukuri apa yang dimiliki dan menemukan kepuasan dalam diri sendiri
Kebahagiaan adalah tentang mensyukuri apa yang dimiliki dan menemukan kepuasan dalam diri sendiri.