“Udah jam 7 nih, Rus,” Ahmad menepuk bahu Rusdi yang masih fokus ke layar laptop. Suasana kantor mulai sepi, tapi lantai 23 gedung Sudirman Central Business District itu masih diterangi oleh cahaya dari workstation beberapa karyawan yang lembur.
Rusdi mengucek matanya. Sudah tiga bulan sejak dia, Ahmad, dan Yanto mulai kerja di PT Digital Nusantara, salah satu perusahaan teknologi terbesar di Indonesia. Sebagai lulusan baru Ilmu Komputer UGM, kadang mereka masih nggak nyangka bisa diterima di sini.
“Bentar, mau selesaiin report ini dulu,” jawab Rusdi sambil menguap.
“Report mulu. Emang nggak bisa pake AI tools yang baru itu?” Yanto tiba-tiba nongol dari balik cubicle, tas ranselnya sudah siap di bahu.
Rusdi mendengus. “Lah, justru itu masalahnya. Gue harus review ulang hasil AI-nya, mastiin nggak ada yang melenceng. Kadang malah lebih lama.”
Di kejauhan, lampu-lampu gedung pencakar langit Jakarta mulai berkedip-kedip, menciptakan panorama malam yang entah kenapa terasa lebih sendu dari biasanya. Mungkin karena mereka bertiga mulai sadar: dunia kerja yang mereka hadapi jauh lebih kompleks dari yang mereka bayangkan semasa kuliah.
Sebulan kemudian, mereka bertiga duduk di kafe favorit mereka, membicarakan pengumuman yang baru saja mereka dengar dalam rapat perusahaan.
“30% pekerjaan kita akan diambil alih AI?” Ahmad masih tidak percaya. “Lalu, kita akan melakukan apa?”
Yanto menyeruput kopi amerikanonya. “Ya upgrade skill lah. Lu liat aja si Doni dari divisi sebelah. Sekarang dia fokus jadi prompt engineer, ngurusin AI-nya.”
“Gampang banget ngomong upgrade skill,” Rusdi menyandar ke kursi. “Tiap hari aja udah capek ngurusin kerjaan yang ada. Belum lagi deadline project yang numpuk.”
“Tapi emang nggak ada pilihan lain sih,” Ahmad menambahkan sambil membuka laptopnya. “Liat nih, competitor kita udah mulai implementasi AI untuk analisis data. Katanya bisa ngurangin processing time sampai 70%.”
Rusdi memandang ke luar jendela, mengamati hiruk pikuk Sudirman di jam pulang kantor. “Gue kadang mikir, apa yang bakal terjadi sama kita lima tahun ke depan ya?”
Hari-hari berikutnya terasa lebih berat. Setiap pagi, mereka disambut email berisi pembaruan tentang alat baru yang harus dipelajari. Setiap rapat, selalu ada istilah teknologi baru yang membingungkan. Machine learning, neural network, deep learning, semuanya terdengar seperti bahasa asing.
“Gue kadang mikir,” kata Ahmad suatu sore di kantin kantor. “Dulu pas kuliah semangat banget belajar matematika. Sekarang? AI bisa ngitung lebih cepet dari gue.”
Yanto yang biasanya ceria juga mulai kelihatan stres. “Tahu nggak? Manajerku bilang hasil analisis ku kemarin kalah detail sama yang dibikin oleh AIexa.”
“Namanya juga AI,” Rusdi nyengir, walau matanya menyiratkan kekhawatiran yang sama. “Tapi AI bisa nggak ya ngerasain enaknya gorengan Bu Yati ini?”
Mereka tertawa, tapi tawa yang terasa hambar. Di sudut kantin, TV kantor menayangkan berita tentang perusahaan teknologi yang melakukan PHK massal karena implementasi AI. Berita yang entah kenapa terasa terlalu dekat dengan realita mereka.
“Lu pada pernah nggak sih,” Rusdi membuka obrolan di grup chat mereka suatu malam, “ngerasa kayak… obsolete gitu?”
“Maksudnya?” balas Ahmad.
“Ya gitu… kayak skill yang kita punya udah nggak relevan lagi. Tiap hari ada aja teknologi baru yang harus dipelajari. Capek tau nggak?”
“Gue ngerti banget,” Yanto nimbrung. “Kemaren gue liat intern baru, fresh graduate. Dia udah jago banget pake AI tools yang gue aja baru denger namanya.”
Percakapan itu berlanjut sampai tengah malam. Tiga sahabat yang dulu optimis dengan masa depan teknologi, sekarang harus bergulat dengan kenyataan bahwa teknologi itu sendiri bisa jadi ancaman bagi karir mereka.
Suatu malam, setelah meeting yang melelahkan tentang restrukturisasi perusahaan, mereka memutuskan mampir ke warkop langganan.
“Gue kepikiran sesuatu,” Rusdi membuka percakapan sambil mencomot pisang goreng. “Kayaknya kita salah strategi deh.”
Ahmad dan Yanto menoleh penasaran.
“Maksud gue, kita terlalu fokus nyoba ngalahin AI dalam hal-hal teknis. Padahal harusnya kita cari cara gimana kerja bareng AI ini.”
“Gimana tuh?” tanya Ahmad.
“Ya kita cari tau apa yang AI nggak bisa lakuin. Misalnya, kemaren gue notice kalau hasil analisis AI bagus, tapi dia nggak bisa jelasin ke klien dengan bahasa yang gampang dimengerti.”
Yanto mengangguk semangat. “Bener tuh! Gue juga nemu kasus dimana AI ngasih rekomendasi bisnis yang technically correct, tapi nggak cocok sama kultur lokal.”
Perlahan, mereka mulai menemukan ritme baru. Rusdi fokus jadi penghubung antara tim teknis dan klien, sesuatu yang masih butuh sentuhan manusia. Ahmad malah jadi expert yang membantu tim lain memahami dan memvalidasi output AI. Yanto menggunakan pemahaman bisnisnya untuk mengadaptasi solusi AI sesuai kebutuhan lokal.
“Lucu ya,” kata Ahmad suatu hari. “Dulu kita takut Digantikan oleh AI, sekarang malah jadi pawangnya.”
“Lebih ke partnership sih sebenernya,” Rusdi mengoreksi. “Kita manfaatin kelebihan masing-masing.”
“Eh, lu pada udah denger belom?” Yanto menggebrak meja kantin suatu siang. “Gue ditawarin posisi di startup fintech yang baru. Gajinya gede.”
Rusdi dan Ahmad saling pandang. Mereka juga dapat tawaran serupa minggu lalu.
“Terus? Lu mau ambil?” tanya Ahmad.
Yanto mengaduk es tehnya. “Masih dipikir sih. Takutnya sama aja, nanti stress lagi adaptasi dari awal.”
“Tapi kalau nggak ambil kesempatan, gimana kita bisa berkembang?” Rusdi menimpali.
Pertanyaan itu menggantung di udara. Di era dimana teknologi berubah secepat update status sosial media, memilih untuk tetap di zona nyaman atau mengambil risiko jadi dilema yang nggak ada jawaban pastinya.
Enam bulan kemudian, mereka bertiga duduk di rooftop cafe baru di kawasan SCBD. Jakarta malam hari terbentang di depan mereka, dengan ribuan lampu yang berkedip seperti bintang.
“Jadi inget dulu ya,” Rusdi memulai, “kita sempet takut banget sama AI.”
“Iya,” Ahmad tertawa. “Padahal ternyata bukan tentang AI nya, tapi tentang gimana kita beradaptasi.”
“Dan yang lebih penting,” Yanto menambahkan, “gimana kita tetep solid walau kerja di tempat berbeda.”
Ya, mereka memang akhirnya memilih jalan masing-masing. Rusdi memutuskan tetap di perusahaan tapi pindah ke divisi yang fokus pada human-centered design. Ahmad membuka konsultasi independen, membantu perusahaan-perusahaan kecil memahami dan memanfaatkan AI. Yanto bergabung dengan startup yang fokus pada pemberdayaan UMKM melalui teknologi.
“Btw,” Ahmad membuka tas laptopnya, “gue ada project baru nih. Startup di Bandung, mereka butuh bantuan integrasi AI ke bisnis tradisional mereka.”
“Menarik tuh,” mata Yanto berbinar. “Kebetulan startup gue juga lagi nyari partner buat ekspansi ke Bandung.”
“Weekend depan ke Bandung bareng?” Rusdi mengusulkan. “Sekalian nostalgia, kayak jaman kuliah dulu.”
Mereka tertawa, kali ini tawa yang ringan dan tulus. Di tengah ketidakpastian teknologi yang terus berkembang, setidaknya ada satu hal yang pasti: persahabatan mereka.
Sementara itu, di kejauhan, langit Jakarta mulai dihiasi oleh drone-drone pengantar makanan. Artificial Intelligence mungkin akan terus berkembang, mengubah cara kerja, cara hidup, bahkan cara berpikir. Tapi bagi Rusdi, Ahmad, dan Yanto, itu bukan lagi ancaman. Itu adalah kesempatan. Kesempatan untuk terus belajar, beradaptasi, dan berkembang.
Karena pada akhirnya, masa depan bukan tentang manusia melawan teknologi. Tapi tentang bagaimana manusia dan teknologi bisa berkolaborasi untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik.
“Eh, besok ada meeting pagi nih,” Yanto melirik jam tangannya. “Cabut dulu ya?”
“Yuk,” Ahmad membereskan laptopnya. “Minggu depan Bandung?”
“Fix!” Rusdi mengangguk mantap.
Malam itu, saat mereka berpisah di lobby gedung, pertanyaan tentang masa depan masih menggantung di udara. Tapi kali ini, pertanyaan itu tidak lagi menakutkan. Karena mereka tahu, apapun yang terjadi, mereka akan menghadapinya bersama.
Dan cerita mereka? Masih terus berlanjut, seperti teknologi yang tak pernah berhenti berkembang.
Keren…
Ditunggu karya berikutnya.
disini kita belajar bahwa bukan tentang manusia melawan teknologi. Tapi tentang bagaimana manusia dan teknologi bisa berkolaborasi untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik.