Pak Kuwat Djiwandono duduk di ruang tamu, bolak-balik memeriksa ponselnya dengan wajah gelisah. Pria Lansia berusia 68 Tahun, Tampan dan Tajir mantan pejabat. Sudah tujuh hari Frans sahabat bersepeda tidak datang ke rumahnya. Biasanya, anak bujang itu selalu muncul dengan berbagai cerita, candaan, atau bahkan sekadar untuk mengganggu Pak Kuwat Djiwandono dengan pertanyaan-pertanyaan anehnya. Tapi kali ini, rumah terasa sepi.
Pak Kuwat Djiwandono mencoba menghubungi Frans beberapa kali, namun ponsel Frans mati. “Kemana itu anak? Jangan-jangan dia sakit,” gumamnya. Ia bahkan sempat berpikir untuk pergi ke kos Frans, tapi menahan diri, takut dianggap terlalu khawatir.
Ketika sore menjelang, terdengar suara bel pintu. Pak Kuwat Djiwandono segera berdiri dan membuka pintu dengan cepat. Wajahnya langsung berubah lega saat melihat Frans berdiri di depan pintu, tapi kemudian ia terkejut karena Frans tidak sendirian.
Di samping Frans berdiri seorang wanita berusia sekitar 66 tahun, mengenakan kain batik dan kebaya sederhana. Wajahnya teduh dan penuh kelembutan. Rambutnya sudah beruban, tapi tetap terlihat rapi. Frans tersenyum lebar sambil membawa tas kecil di tangannya.
“Pak, saya bawakan tamu spesial untuk Bapak,” kata Frans ceria.
Pak Kuwat Djiwandono mengernyitkan dahi. “Siapa ini, Frans? Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya?”
Frans menepuk bahu wanita itu dengan lembut. “Pak, ini Ibu saya. Namanya Bu Nur. Dia datang dari desa untuk bertemu dengan Bapak.”
Pak Kuwat Djiwandono tampak terkejut. “Ibu kamu? Kenapa kamu tidak bilang dari awal? Silakan masuk, Bu.”
Bu Nur tersenyum ramah. “Terima kasih, Pak Kuwat. Maaf mengganggu. Saya mendengar banyak cerita dari Frans tentang Bapak. Sepertinya Bapak adalah orang yang sangat baik.”
Pak Kuwat Djiwandono tersipu sambil mengangguk. “Ah, Frans pasti melebih-lebihkan. Silakan duduk, Bu.”
Setelah mereka duduk di ruang tamu, Frans mulai membuka pembicaraan dengan santai, seperti biasa. Ia bercerita tentang perjalanannya ke desa untuk menjemput ibunya, namun Pak Kuwat Djiwandono bisa merasakan ada sesuatu yang ingin disampaikan Frans, tapi ditahan-tahan.
“Frans, ada apa sebenarnya? Kamu bawa Ibu kamu jauh-jauh ke sini, pasti ada sesuatu yang ingin kamu katakan,” tanya Pak Kuwat Djiwandono langsung.
Frans tersenyum malu-malu, lalu menatap ibunya sejenak sebelum menjawab. “Pak, saya sebenarnya punya permintaan untuk Bapak.”
Pak Kuwat Djiwandono mengangkat alis. “Permintaan apa?”
Frans menghela napas, lalu berkata dengan suara yang agak serius, “Pak, saya ingin Bapak menikah dengan Ibu saya.”
Ruangan itu langsung hening. Pak Kuwat Djiwandono terdiam, sementara Bu Nur menunduk dengan wajah sedikit malu. Frans, di sisi lain, menatap Pak Kuwat Djiwandono dengan penuh harap.
“Frans… kamu serius?” tanya Pak Kuwat Djiwandono akhirnya, suaranya terdengar penuh kebingungan.
“Iya, Pak. Saya serius,” jawab Frans dengan tegas. “Bapak tahu kan, saya sayang banget sama Bapak. Saya juga sayang sama Ibu saya. Saya ingin kalian berdua bahagia. Dan saya rasa, Bapak dan Ibu akan jadi pasangan yang sempurna.”
Pak Kuwat Djiwandono menatap Bu Nur yang masih menunduk. “Bu Nur, apa ini ide Frans, atau…?”
Bu Nur mengangkat wajahnya dengan senyum lembut. “Pak Kuwat, ini ide Frans. Tapi… saya tidak keberatan. Saya juga merasa Frans sangat bahagia memiliki Bapak sebagai sahabatnya. Jika Frans merasa ini adalah yang terbaik, saya siap menerima.”
Pak Kuwat Djiwandono menghela napas panjang, mencoba mencerna situasi ini. Ia tidak pernah membayangkan akan ada momen seperti ini dalam hidupnya.
“Frans, ini keputusan besar. Kamu tahu itu, kan?” tanya Pak Kuwat.
“Saya tahu, Pak,” jawab Frans cepat. “Tapi saya yakin ini keputusan yang tepat. Bapak adalah orang yang baik, dan saya ingin Ibu bersama seseorang yang bisa membuatnya bahagia.”
Pak Kuwat Djiwandono terdiam lama, memandang Bu Nur yang kini balas menatapnya dengan penuh kelembutan. Akhirnya, ia berkata, “Bu Nur, saya sangat menghormati Anda. Jika Anda setuju, saya akan mempertimbangkan permintaan Frans dengan serius.”
Bu Nur tersenyum hangat. “Terima kasih, Pak Kuwat. Saya percaya apa pun keputusan Bapak, itu adalah yang terbaik.”
Malam itu, mereka bertiga makan malam bersama. Frans tampak sangat ceria, terus menggoda Pak Kuwat Djiwandono dan ibunya dengan candaan ringan. Meski awalnya canggung, suasana akhirnya menjadi hangat.
Setelah makan malam, Frans berbicara empat mata dengan Pak Kuwat Djiwandono di teras. “Pak, terima kasih sudah mempertimbangkan permintaan saya. Saya tahu ini mungkin terasa aneh, tapi saya benar-benar ingin melihat Bapak dan Ibu bahagia.”
Pak Kuwat Djiwandonoter senyum kecil. “Frans, kamu ini memang anak yang unik. Tapi Bapak mengerti maksudmu. Bapak hanya ingin memastikan bahwa ini adalah keputusan yang tepat untuk semuanya.”
“Saya yakin, Pak,” jawab Frans dengan penuh keyakinan.
Pak Kuwat Djiwandono mengangguk pelan, merasa bahwa Frans benar-benar tulus. Dalam hati, ia juga mulai merasakan bahwa mungkin, ini adalah takdir yang telah disiapkan untuknya.
Beberapa bulan kemudian, Pak Kuwat Djiwandono dan Bu Nur resmi menikah dalam sebuah acara sederhana yang penuh kehangatan. Frans menjadi saksi utama, dengan senyum lebar yang tidak pernah hilang dari wajahnya.
“Pak, sekarang saya benar-benar punya keluarga lengkap. Terima kasih,” kata Frans pada hari pernikahan itu.
Pak Kuwat Djiwandono memeluk Frans dengan erat. “Dan Bapak juga merasa bahagia, Frans. Kamu adalah hadiah terbaik yang pernah Bapak miliki.”
Kehidupan mereka bertiga pun berubah, menjadi sebuah keluarga yang saling mendukung dan mencintai. Frans, dengan segala keceriaannya, menjadi penghubung yang membuat hubungan itu terasa sempurna.