Matahari sore menggantung rendah di ufuk barat, menyinari jalan desa yang sepi dengan cahaya keemasan. Angin berhembus lembut membawa aroma padi yang hampir menguning. Di atas sebuah becak tua yang disewa dari terminal kecamatan, duduklah seorang lelaki berusia lanjut dengan rambut dua warna hitam dan putih. Pak Handoyo, 69 tahun, sisa-sisa ketampanan nya masih terlihat di usia senja nya. Di sampingnya, seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang selalu dipanggilnya Thole atau lee kesayangan sejak kecil, anak semata wayang nya.
Frans, atau Thole sebagaimana kawan-kawan kampusnya memanggilnya, menoleh ke arah ayahnya. “Pak, yakin masih kuat? Dari tadi jalan jauh sekali. Kalau capek bilang, nanti saya saja yang turun dorong becaknya.”
Pak Handoyo tersenyum tipis, menepuk paha anaknya. “Thole, jangan khawatir. Kaki bapak mungkin sudah lemah, tapi hati bapak… masih kuat. Ada sesuatu yang harus bapak selesaikan hari ini. Sesuatu yang sudah terlalu lama bapak simpan.”
Frans terdiam. Ia tidak terbiasa melihat ayahnya berbicara dengan nada seberat itu. Biasanya, lelaki tua itu penuh canda, memanggilnya dengan panggilan Thole setiap kali ingin menggodanya. Namun kali ini, suaranya dipenuhi beban masa lalu
Masa Muda yang Tak Pernah Lenyap.
Rumah yang mereka tuju terletak di ujung desa. Sebuah rumah sederhana dengan pagar kayu yang catnya mulai mengelupas. Di situlah tinggal Mira. Nama itu telah lama jadi rahasia yang tersimpan dalam hati Pak Handoyo, meski kadang-kadang lolos dalam doa malamnya.
Puluhan tahun lalu, ketika usia Pak Handoyo masih dua puluh tahun, Mira adalah segalanya baginya. Seorang perempuan desa yang lembut, dengan senyum yang bisa menenangkan badai dalam hati. Mereka pernah berjanji menikah di bawah pohon randu besar di tepi sawah. Namun, janji itu kandas.
Bukan karena Mira berhenti mencintainya, melainkan karena Handoyo sendiri yang goyah. Tawaran pekerjaan di kota, desakan orang tua, dan perbedaan status akhirnya membuatnya meninggalkan Mira. Ia menikah dengan perempuan lain istri yang baik, yang kelak memberinya seorang anak semata wayang: Frans. Tapi luka itu, luka yang ditinggalkan pada hati Mira, tak pernah benar-benar sembuh.
“Pak…” suara Frans pelan, seolah menyela lamunan. “Mira itu… siapa sebenarnya?”
Pak Handoyo menarik napas panjang. “Dia… masa lalu bapak. Perempuan yang seharusnya jadi rumah bagi hati bapak. Tapi justru bapak tinggalkan. Dan jejak kaki terakhir yang melukai hatinya… adalah jejak bapak sendiri.”
Pertemuan yang Tertunda
Mereka berhenti di depan rumah Mira. Jendela-jendela tertutup, hanya tirai tipis bergoyang tertiup angin. Ada suara batuk pelan dari dalam. Hati Pak Handoyo mencelos.
Dengan tangan bergetar, ia mengetuk pintu. Lama sekali, sampai akhirnya pintu terbuka sedikit. Muncul seorang perempuan berusia enam puluhan. Rambutnya telah dua warna hitam dan putih, wajahnya masih menyimpan jejak kecantikan masa muda, namun sorot matanya tajam, getir, seolah hidup telah mengubahnya sedemikian rupa.
“Mira…” suara Pak Handoyo parau, penuh rindu sekaligus penyesalan.
Mira memandang tajam. Ada air yang tiba-tiba berkaca di pelupuk, namun segera ia hapus dengan kasar. “Apa yang kau cari di sini, Handoyo? Setelah puluhan tahun… masih punya muka untuk datang?”
Frans menunduk sopan. Ia bisa merasakan ketegangan di udara, seolah ada ribuan kata tak terucap menggantung di antara kedua orang tua itu.
Luka yang Tak Pernah Padam
Pak Handoyo menunduk. “Aku tahu, aku orang terakhir yang pantas kau lihat. Tapi aku tidak bisa lagi membawa semua ini ke liang lahat. Aku harus minta maaf. Hidup telah mengubahmu seperti itu… dan aku tahu sebagian besar karena aku.”
Mira tertawa pahit. “Minta maaf? Kau pikir kata itu bisa menghapus malam-malam panjangku penuh tangis? Saat kau pergi, aku menangis sampai tubuhku gemetar. Kau tahu, Handoyo? Kau jejak terakhir yang menginjak hatiku. Setelahmu, aku tak pernah benar-benar percaya lagi pada siapa pun.”
Air mata jatuh di pipi Pak Handoyo. Ia tak berusaha menahannya. “Aku menyesal, Mira. Demi Tuhan, aku menyesal.”
Frans maju setapak, menatap perempuan itu. “Bu… saya Frans, anak Pak Handoyo. Sejak kecil bapak sering memanggil saya Thole. Saya… saya ingin tahu. Apa benar bapak setega itu?”
Mira memandang Frans lama sekali. Lalu suaranya melembut. “Nak… bapakmu bukan lelaki jahat. Ia hanya pengecut. Ia takut melawan arus, takut pada tekanan, hingga akhirnya meninggalkan sesuatu yang paling berharga.”
Pak Handoyo menutup wajah dengan telapak tangannya. “Thole… dengar ibu Mira. Semua yang ia katakan benar. Aku pengecut. Dan pengecut seperti aku tidak pantas memiliki hatinya.”
Romantisme yang Terkubur
Suasana hening. Angin berdesir membawa aroma melati dari halaman rumah. Perlahan, Mira berjalan ke kursi bambu di teras. Ia duduk, tangannya meremas ujung kain jarik.
“Aku dulu mencintaimu, Handoyo,” katanya lirih. “Lebih dari diriku sendiri. Tapi kau tinggalkan aku. Aku menangis ketika pertama kali kau pergi. Dan sampai hari ini… aku masih bisa menangis hanya karena mengingatmu.”
Pak Handoyo melangkah mendekat, lututnya bergetar. Ia duduk di tanah, tepat di depan kaki Mira. “Kalau aku bisa mengulang waktu, aku akan memilihmu, Mira. Tapi waktu tidak pernah mau kembali. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah meminta maaf, dan berharap kau bisa berdamai dengan masa lalu.”
Frans menyaksikan semua itu dengan mata berkaca. Ia baru mengerti mengapa ayahnya sering termenung sendirian malam-malam. Mengapa ada kesedihan yang tak pernah hilang dari tatapannya.
Damai dalam Luka
Mira menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku tak tahu bisa memaafkanmu atau tidak. Luka ini terlalu dalam. Tapi melihatmu bersujud begini… aku tahu kau sungguh menyesal. Mungkin… mungkin waktulah yang akan melunakkan hatiku.”
Pak Handoyo mengangguk. “Itu sudah cukup, Mira. Mendengar kau bicara begitu… rasanya seperti beban di dadaku mulai terangkat.”
Frans perlahan mendekat, meraih tangan ayahnya. “Pak… ayo berdiri. Jangan merendahkan diri terlalu dalam. Bu Mira sudah dengar isi hati bapak.”
Mira menatap pemuda itu, matanya melembut. “Kau anak baik, Nak. Semoga kau tidak mewarisi sifat pengecut bapakmu. Belajarlah dari luka ini. Cintailah perempuanmu dengan segenap jiwa, jangan pernah kau tinggalkan hanya karena takut.”
Air mata Frans jatuh. Ia mengangguk kuat. “Saya janji, Bu.”
Hari mulai gelap. Sebelum pergi, Mira berdiri di depan pintu, menatap lama ke arah Pak Handoyo. “Pergilah. Kita mungkin tak bisa kembali seperti dulu. Tapi ingatlah, aku bukan lagi Mira yang dulu. Hidup telah mengubahku seperti itu. Namun… aku takkan menyalahkanmu seumur hidup. Itu sudah cukup.”
Pak Handoyo menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Mira. Maafkan aku.”
Ketika mereka berjalan pulang, Frans meraih tangan ayahnya. “Pak… jangan menangis lagi. Bagi saya, bapak sudah berani. Bapak bukan pengecut lagi. saya bangga pak.”
Pak Handoyo menoleh, memandang anaknya dengan air mata haru. “Thole… kau tahu, mungkin cinta sejati bapak memang tak pernah jadi milik bapak. Tapi melihatmu, punya anak sepertimu… itu hadiah terbesar yang Tuhan berikan.”
Mereka berjalan menyusuri jalan desa, diiringi cahaya bulan yang mulai naik. Luka mungkin tak pernah hilang sepenuhnya, tapi malam itu, ada sedikit ruang damai di hati mereka.
Dan di kejauhan, di dalam rumah sederhana itu, Mira duduk sendiri di kursi bambu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menangis… bukan karena marah, tapi karena lega. Hidup memang telah mengubahnya seperti itu. Namun setidaknya, luka lama akhirnya menemukan jalan pulang.
Malam itu, setelah kembali ke rumah, Pak Handoyo duduk di kursi tua di teras. Frans sudah tertidur, lelah oleh perjalanan dan emosi yang meluap. Tapi lelaki tua itu masih terjaga, menatap langit malam yang bertabur bintang.
Ia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata, lalu tersenyum tipis. “Mira… akhirnya aku bisa berkata maaf. Mungkin kau tak sepenuhnya memaafkan, tapi aku bersyukur kau masih mau mendengarku. Itu lebih dari cukup.”
Angin malam berembus, seolah membawa bisikan masa lalu. Ia bisa mendengar lagi suara tawa Mira ketika mereka muda, di bawah pohon randu besar. Ia bisa merasakan lagi kehangatan genggamannya, janji-janji yang pernah mereka ucapkan. Semua itu kini tinggal kenangan, tapi bukan kenangan yang pahit lagi.
Pak Handoyo memandang kamar Frans. “Thole,” bisiknya lirih, “jangan ulangi kesalahan bapak. Cintailah perempuanmu dengan setia. Jangan pernah takut berjuang demi hati yang kau pilih.”
Di rumah lain yang jauh di ujung desa, Mira duduk sendiri di kursi bambu. Air mata masih membasahi pipinya, tapi kali ini berbeda: bukan air mata amarah, melainkan air mata kelegaan. Luka mungkin tak pernah benar-benar hilang, namun hatinya sedikit lebih ringan.
Hidup memang telah mengubah mereka seperti itu penuh jejak luka, penyesalan, dan air mata. Namun pada akhirnya, mereka belajar: meski cinta tidak selalu dimiliki, ia tetap bisa menjadi jalan menuju pengampunan dan kedamaian.
Dan di antara bintang-bintang malam itu, seolah ada satu cahaya yang lebih terang, menjadi saksi bahwa penyesalan pun bisa berakhir dengan ketulusan, dan cinta sejati meski terlambat tetap akan abadi dalam ingatan.
Fritz Triz Huntara | Guru, Konsultan IT, Penulis
mantap
Lumayan menarik
Bagus dan juga lumayan menarik
Lumayan menarik juga sangat keren haha………………………
Cerita diatas menggambarkan perjalanan pengampunan dan penyesalan antara Mira dan Pak Handoyo, dua orang yang pernah saling mencintai namun terpisah oleh luka masa lalu. Setelah bertahun-tahun berlalu, mereka akhirnya bertemu kembali untuk saling mengungkapkan perasaan dan memaafkan, meski hubungan mereka tidak dapat kembali seperti semula. Dalam pertemuan itu, Mira belajar melepaskan amarah dan menemukan kedamaian di hatinya, sementara Pak Handoyo belajar menghadapi kesalahan dengan keberanian dan ketulusan. Frans, anak Pak Handoyo, menjadi saksi sekaligus penerus pelajaran tentang cinta, kesetiaan, dan pentingnya tidak mengulangi kesalahan orang tuanya. Akhir cerita menunjukkan bahwa luka mungkin tidak akan pernah hilang sepenuhnya, tetapi dengan keikhlasan dan ketulusan, luka itu bisa berubah menjadi kedamaian. Cinta sejati tidak selalu harus dimiliki, namun dapat tetap hidup abadi dalam kenangan dan hati yang tulus memaafkan.
menarik perhatian
CERITA DI ATAS SANGAT MENARIK
bagus dan sangat dalam ceritanya
Sangat bagus dan menarik perhatian