Lampu putih menyala terang di lantai tiga kantor PT. Techno Hard Networking. Suara mesin pendingin dan ketukan keyboard berpadu dengan nada notifikasi email yang datang silih berganti.
Di tengah ruang kerja yang tertata rapi, Agil Himawan, manajer divisi Maintenance & Infrastructure Networking, berdiri di depan layar besar memaparkan hasil proyek mingguan. Gaya bicaranya lugas, efisien, dan terukur seperti sistem yang ia kelola.
“Target uptime minggu ini 99,7%. Tapi kita harus kejar 99,9% sebelum akhir bulan. Parjono, kamu yang pegang maintenance server Cikarang, ya?”
“Baik, Pak,” jawab Parjono datar.
Senyumnya tipis, tapi matanya dingin. Di balik jawaban singkat itu, bergolak rasa iri yang menahun.
Dulu, Parjono dan Agil satu kontrakan semasa awal karier. Dua teknisi muda dengan idealisme tinggi. Mereka sering begadang sampai pagi demi menyelesaikan proyek jaringan di gudang sempit yang jadi kantor pertama perusahaan itu.
Tapi waktu berjalan tak seimbang. Agil cepat naik bukan karena kedekatan, tapi karena kedisiplinan, inovasi, dan empatinya ke tim. Sementara Parjono stagnan di posisi staf.
“Dia bukan lebih pintar dariku,” gumam Parjono di ruang pantry, menatap bayangannya di kaca kulkas. “Dia cuma lebih pandai cari muka.”
Hari Senin pagi, Agil mengumumkan proyek baru: Upgrade backbone jaringan untuk klien besar, TechHub Logistics. Proyek bernilai miliaran.
“Tim utama: Danu, Rina, dan Parjono,” ujar Agil.
Parjono tersenyum kecil bukan karena bangga, tapi karena melihat peluang.
Selama seminggu berikutnya, ia mengubah beberapa parameter kecil di sistem backup routing. Tidak terlihat berbahaya, tapi cukup untuk membuat data tidak sinkron.
Rabu pagi, sistem klien mendadak down selama 10 menit. Panik melanda. Parjono cepat berdiri, berpura-pura bingung.
“Waduh, kayaknya sistem lama Pak Agil belum diupdate, deh.”
Namun Agil hanya menatap monitor dengan ekspresi tenang. Dalam waktu lima menit, ia menemukan log aneh ada jejak modifikasi manual dari user Parjono.
Ia menatap Parjono sebentar, lalu berkata datar, “Nggak apa-apa, yang penting kita beresin. Nanti aku bantu review ulang semua sistemnya.”
Tidak ada marah, tidak ada bentak. Tapi justru itu yang paling menyakitkan bagi Parjono.
Tak berhenti di situ. Parjono mulai menanam opini.
Di grup internal Slack, ia menulis santai:
“Lucu ya, setiap proyek besar pasti yang tampil di depan cuma manajer. Padahal yang kerja mati-matian tim lapangan.”
Pesan itu disukai beberapa staf baru. Bisik-bisik mulai terdengar di pantry, di ruang smoking area, bahkan di parkiran.
“Kayaknya Pak Agil terlalu dominan, ya?”
“Hmm… bisa jadi.”
Namun, seminggu kemudian, direktur HR mengumumkan data performa individu: tim Agil adalah satu-satunya divisi yang mencapai target SLA tertinggi se-Indonesia.
Dan di bawah laporan itu, nama Parjono justru muncul sebagai staf dengan incident handling paling lambat. Fitnah itu padam.
Rapat besar dengan klien strategis, Astana Data Center, digelar di ruang meeting lantai enam. Agil memimpin presentasi. Parjono bertugas menampilkan demo konfigurasi sistem.
Namun diam-diam, ia mengganti versi file presentasi di laptop utama dengan file kosong.
Ketika giliran demo tiba, layar tiba-tiba menampilkan pesan “File not found”.
Ruangan hening. Klien saling pandang.
Agil menatap layar, lalu berkata santai,
“Ah, file versi lama kayaknya belum disinkron. Nggak masalah, kita punya cadangan di cloud.”
Ia membuka tablet pribadinya, melanjutkan presentasi tanpa jeda.
Sepuluh menit kemudian, semua bertepuk tangan.
Parjono diam. Tapi di hatinya, amarah bercampur malu.
Bahkan sabotaseku pun nggak bisa menjatuhkannya.
Malam itu, kantor hampir kosong. Parjono masih di meja, pura-pura bekerja. Agil datang menghampiri dengan dua gelas kopi.
“Jon, aku tahu kamu ubah file waktu presentasi kemarin.”
Parjono menatap kosong. “Kamu… tahu?”
“Ya. Tapi aku nggak lapor. Aku cuma mau tanya kenapa?”
Parjono menunduk.
“Aku capek, Gil. Aku kerja keras, tapi yang naik kamu. Aku juga pernah jadi hebat. Tapi sekarang semua orang cuma lihat kamu.”
Agil menghela napas panjang.
“Jon, kamu pernah jadi orang yang aku kagumi. Tapi kamu berhenti belajar. Aku nggak lebih pintar darimu aku cuma terus nyalain lampuku saat kamu pilih matiin punyamu.”
Ia menatap Parjono dengan tenang.
“Tidak semua kebencian datang karena kesalahan, Jon. Kadang, cahayamu terlalu silau bagi hati yang gelap.”
Kata-kata itu menembus jauh ke dada Parjono. Ia menunduk, bahunya bergetar.
“Maaf, Gil…” suaranya pecah.
Agil menepuk bahunya pelan. “Kalau kamu mau, aku bantu kamu urus sertifikasi jaringan. Ada program dari kantor bulan depan.”
Tiga bulan kemudian, situasi berubah. Parjono tidak lagi membisikkan fitnah. Ia sibuk belajar, bergabung dalam proyek baru, bahkan menuntaskan sertifikasi Cisco Specialist atas rekomendasi langsung dari Agil.
Dalam rapat bulanan, direktur menyebut namanya sebagai staf dengan peningkatan performa tertinggi. Semua bertepuk tangan, termasuk Agil yang duduk di deretan depan.
Selesai rapat, Parjono menghampirinya.
“Terima kasih, Gil. Kalau waktu bisa diputar, aku pengen nggak buang energi buat benci kamu.”
Agil tertawa kecil. “Nggak apa. Kadang, jalan orang menuju cahaya memang harus lewat bayangan dulu.”
Dan di kantor yang dulu penuh intrik itu, dua mantan rival kini duduk berdampingan bukan lagi saling menjatuhkan, tapi saling menguatkan.