Mentari pagi muncul perlahan dari balik cakrawala, menyinari desa pesisir kecil di Kalianda. Udara masih lembap oleh embun laut. Di ujung dermaga yang sudah mulai lapuk, seorang lelaki tua berdiri tegak menatap ombak yang berkejaran. Dialah Pak Sudibyo, nelayan tua berusia 70 tahun, yang telah bersahabat dengan laut hampir sepanjang hidupnya.
Rambutnya putih keperakan, kulitnya legam terbakar matahari, namun sorot matanya masih tajam seperti dulu. Di tangannya, ada sebilah tali tambang perahu yang sudah mulai usang. Ia tersenyum samar melihat perahu tuanya yang masih terikat di tiang dermaga.
Tak lama, datanglah Bu Aminah, istrinya yang berusia 68 tahun, membawa dua cangkir teh hangat.
“Masih saja di sini tiap pagi, Pak?” ucapnya lembut sambil menyerahkan teh.
Pak Sudibyo tersenyum. “Kalau kakek nggak ke sini, rasanya ada yang kurang, Minah. Laut ini sudah seperti teman lama yang tak pernah bosan didengar suaranya.”
Dari kejauhan, dua cucu mereka, Fia dan Padjri, berlari-lari kecil sambil membawa jala ikan bekas mainan.
“Kakek! Hari ini kita ke laut, ya! Aku mau naik perahu!” teriak Fia, gadis kecil berusia sepuluh tahun, ceria dan penuh rasa ingin tahu.
Padjri, delapan tahun, lebih tenang tapi matanya bersinar penuh harap. “Iya, Kek, kita bantu cari ikan kecil.”
Pak Sudibyo menatap laut sejenak, lalu menggeleng pelan. “Angin sedang tidak bersahabat hari ini. Ombaknya tinggi, bahaya untuk anak-anak.”
“Ah, Kakek takut!” goda Fia.
Bu Aminah tersenyum, menepuk bahu cucunya. “Kakekmu itu bukan takut, Nak, tapi bijak. Laut itu bukan tempat bermain-main.”
Namun Fia terus merengek. “Sekali saja, Kek. Aku ingin tahu rasanya di tengah laut.”
Pak Sudibyo terdiam lama. Ia menatap perahu tuanya Melati Laut yang sudah lama tak ia dayung sejak lututnya mulai lemah. “Perahu ini dibuat untuk berada di tengah lautan,” katanya pelan, “bukan untuk diam di dermaga. Tapi manusia harus tahu kapan waktunya berlayar dan kapan harus menunggu.”
Kata-katanya menggantung di udara. Bu Aminah tahu, ucapan itu bukan hanya untuk Fia. Ada sesuatu yang sedang bergulat dalam hati suaminya.
Beberapa hari kemudian, badai kecil melanda. Angin kencang membuat ombak naik sampai ke tepian. Di tengah hujan deras, kabar buruk datang perahu nelayan muda bernama Rafi, anak tetangga mereka, hilang di laut.
Fia dan Padjri melihat kakeknya murung. Ia duduk di teras rumah, menatap hujan yang jatuh deras.
“Kakek kenal sama Rafi, ya?” tanya Padjri pelan.
Pak Sudibyo mengangguk. “Dia seperti aku waktu muda, keras kepala. Tidak mau mendengar kalau laut sedang marah.”
Bu Aminah datang membawa selimut. “Kau jangan menyalahkan diri sendiri, Mas. Badai itu kehendak Tuhan.”
“Tapi aku yang kemarin menasihatinya,” jawab Pak Sudibyo lirih. “Aku bilang, laut aman hari ini. Aku salah membaca arah angin.”
Fia memeluk lengan kakeknya. “Kakek nggak salah, kan? Rafi yang tetap nekat pergi.”
Pak Sudibyo menghela napas. “Kadang, Fia, meski kita sudah berusaha dan berdoa, hidup tetap memberi ujian. Yang penting bukan seberapa besar badai itu, tapi bagaimana kita tetap berlayar dengan hati yang kuat.”
Keesokan harinya, kabar datang: Rafi ditemukan selamat oleh kapal patroli, meski perahunya rusak parah. Desa pun lega. Tapi peristiwa itu meninggalkan bekas di hati Pak Sudibyo ia sadar bahwa perahu tuanya, seperti dirinya, tak lagi sekuat dulu.
Namun justru di hari itu, Fia melakukan sesuatu yang tak disangka. Bersama Padjri, ia membersihkan perahu kakeknya, menggosok lambungnya dengan sabut kelapa.
“Kakek bilang perahu itu jangan diam di dermaga. Jadi kita bantu siapin, siapa tahu besok bisa berlayar lagi,” ujar Fia penuh semangat.
Pak Sudibyo tersenyum haru. Ia berdiri di samping mereka, menatap cucu-cucunya yang berlumur sabun tapi tertawa lepas.
“Kalau laut ini punya masa muda, mungkin sekarang dia tersenyum,” katanya.
Akhir yang Hangat
Beberapa hari kemudian, cuaca kembali cerah. Langit biru, angin lembut bertiup dari selatan. Pagi itu, Pak Sudibyo, Bu Aminah, Fia, dan Padjri turun ke dermaga.
“Sekarang waktunya berlayar,” ucap Pak Sudibyo mantap.
Bu Aminah sempat ragu. “Mas, apa tidak terlalu berisiko?”
Pak Sudibyo tersenyum lembut. “Tidak jauh, Minah. Hanya sampai di teluk sana. Aku ingin cucu-cucu kita tahu rasanya mengarungi kehidupan, bukan hanya menatapnya dari jauh.”
Mereka pun naik ke perahu Melati Laut. Angin mendorong layar perlahan, perahu bergerak ke tengah. Fia tertawa bahagia, Padjri menatap ombak dengan mata berbinar.
“Kakek,” seru Fia, “sekarang aku tahu kenapa perahu harus ke laut. Karena kalau diam terus, dia nggak akan tahu indahnya dunia.”
Pak Sudibyo mengangguk, menatap ke cakrawala. “Begitulah, Nak. Manusia pun begitu. Kita diciptakan bukan untuk berdiam dan menunggu sampai hidup ini berakhir. Tapi untuk bekerja, berusaha, berdoa, dan berlayar meski ombak datang menghadang.”
Bu Aminah menatap laut yang berkilau di bawah sinar matahari. “Dan selama kita berlayar bersama, tak ada badai yang terlalu menakutkan.”
Perahu tua itu meluncur perlahan di atas air, meninggalkan jejak buih putih yang berkilau. Empat jiwa di atasnya dua yang telah melewati banyak badai, dan dua yang baru belajar menantang angin bersama mengarungi laut kehidupan.
Di kejauhan, langit cerah dan laut berwarna biru muda, seolah ikut berdoa:
Semoga perahu kehidupan ini tak pernah berhenti berlayar.