“Jangan terlalu sibuk memikirkan siapa yang menyukaimu.
Kembalilah kepada prinsipmu selalu menjadi pribadi yang baik, tulus, dan rendah hati.
Percayalah, orang-orang yang sefrekuensi akan datang sendiri mencari dan mendekatimu.
Karena begitulah semesta bekerja.”
Angin sore menampar wajah Joni lembut di balkon kantor media kecil tempatnya bekerja. Di bawah sana, Jakarta mulai berubah warna oranye, merah, lalu perlahan kelabu. Ia menatap gelas kopinya yang sudah dingin, tapi pikirannya tetap saja panas, mendidih oleh satu hal: Laura.
Laura adalah rekan sekantor yang hampir setiap hari membuat dadanya bergetar seperti sinyal Wi-Fi yang mendadak kuat. Cantik, cerdas, tapi misterius. Kadang ramah, kadang dingin. Ia punya senyum yang bisa membuat siapa pun lupa deadline. Tapi Laura bukan satu-satunya orang yang mengguncang semesta Joni.
Bara adalah teman baik Joni sejak kuliah. Mereka membangun media online kecil ini bersama, tapi di antara kopi, ide, dan tumpukan naskah, terselip hal yang tak pernah mereka bicarakan: persaingan diam-diam.
Dan sore itu, Laura jadi titik pusatnya.
“Lo kelihatan aneh, Jon. Ada apa?” tanya Bara, masuk ke balkon sambil menyalakan rokok.
Joni hanya tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Cuma mikirin tulisan baru buat kolom refleksi.”
Bara terkekeh. “Kolom refleksi, atau Laura?”
Tawa Bara menusuk lebih dalam dari yang ia kira. “Laura itu kayak api, Jon. Lo dekati, lo kebakar.”
Joni menatap Bara, berusaha menebak nada licik di balik ucapannya. “Lo ngomong kayak orang yang udah pernah kebakar.”
Bara membuang abu rokok. “Mungkin.”
Ada hening panjang di antara mereka. Hening yang dipenuhi ego, dan rahasia.
Keesokan harinya, Laura datang lebih awal dari biasanya. Rambutnya dibiarkan tergerai, menutupi sebagian wajahnya. Wangi parfumnya melintas seperti melodi halus di ruang redaksi.
“Jon,” katanya lembut, “bisa bantu aku edit tulisan ini?”
Joni menatap layar laptopnya, lalu ke wajah Laura. “Tentu. Duduk aja di sini.”
Saat mereka menunduk bersama menatap layar, Joni bisa mendengar napas Laura begitu dekat. Hatinya berdegup tak beraturan, seolah seluruh ruangan menyempit.
Namun, saat ia berbalik sedikit, matanya menangkap sesuatu di kaca jendela. Di luar ruang redaksi, Bara sedang berdiri memperhatikan mereka, wajahnya datar. Tatapan itu menusuk, dingin, tapi penuh makna tersembunyi.
Malamnya, Joni menerima pesan di ponselnya:
Bara: “Ngopi di bawah. Sendiri aja.”
Kafe kecil di bawah kantor sepi malam itu. Hanya ada dua cangkir dan dua hati yang saling waspada.
“Lo tahu, Laura itu nggak sesederhana kelihatannya,” kata Bara membuka pembicaraan.
“Apa maksud lo?”
“Dia main di dua sisi. Gue tahu dia deketin lo, tapi dia juga main perasaan sama Cinta.”
Nama itu membuat Joni mengerutkan kening. Cinta jurnalis magang yang baru seminggu lalu masuk. Lugu, sopan, tapi punya aura lembut yang menenangkan. “Lo yakin?”
Bara menyeruput kopinya pelan. “Gue nggak pernah asal ngomong.”
Tapi Joni tahu Bara bukan orang yang bisa dipercaya sepenuhnya. Bara seperti kucing: halus gerakannya, tapi mencakar dalam diam.
Malam itu Joni pulang dengan kepala penuh teka-teki. Di antara desiran angin kota, ia mendengar gema kalimat yang dulu pernah ia tulis sendiri:
“Jangan terlalu sibuk memikirkan siapa yang menyukaimu…”
Namun, kata-kata itu kini terasa seperti sindiran tajam untuk dirinya sendiri.
Hari-hari berikutnya berubah menjadi permainan bisu.
Laura masih tersenyum, tapi kini senyumnya terasa seperti topeng.
Bara masih bersikap ramah, tapi tatapannya menyimpan rencana.
Dan Cinta yang dulu hanya diam di pojok ruang redaksi mulai sering memandang Joni dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Suatu sore, setelah rapat mingguan, Cinta menghampiri Joni di pantry.
“Mas Joni…” katanya ragu, “aku boleh jujur sesuatu?”
“Boleh. Ada apa?”
Cinta menggigit bibirnya, lalu berkata pelan, “Aku dengar dari Mbak Laura… katanya Mas Joni suka sama dia.”
Joni hampir tersedak kopinya. “Apa?”
Cinta menunduk. “Dia bilang… Mas Joni orang baik, tapi terlalu percaya sama teman sendiri. Aku nggak ngerti maksudnya.”
Joni diam. Tapi dalam diam itu, bara kecil dalam dadanya menyala.
Malam itu Joni memutuskan satu hal: ia akan mencari tahu kebenarannya.
Ia menunggu hingga semua pulang, lalu membuka laptop Laura yang tertinggal di meja kerja. Tak sulit menebak password-nya nama kucingnya sendiri: Milo21.
Inbox email terbuka. Di sana, ia menemukan percakapan antara Laura dan Bara.
Laura: “Kita harus pastikan Cinta nggak deket sama Joni. Dia bisa ganggu permainan ini.”
Bara: “Tenang. Gue yang urus. Kalau Joni sadar, kita balikkan semuanya ke dia.”
Joni menutup laptop dengan tangan gemetar. Dunia seolah berhenti berputar.
Dua orang yang ia percayai justru sedang mempermainkannya bukan soal cinta, tapi gengsi, posisi, dan siapa yang akan jadi pemimpin redaksi baru.
Ia tak tahu harus marah, atau tertawa. Tapi malam itu ia memutuskan: semesta mungkin bekerja dengan caranya sendiri, tapi kali ini, ia akan membantu semesta sedikit.
Keesokan paginya, Joni datang dengan senyum yang berbeda. Tenang, tapi tajam. Ia menulis artikel baru untuk kolom refleksi mingguan, judulnya:
“Tentang Frekuensi dan Kejujuran.”
Tulisan itu bercerita tentang bagaimana manusia sering berpura-pura untuk mendapatkan yang mereka mau padahal, orang yang benar-benar sefrekuesi akan datang sendiri tanpa manipulasi.
Ia menulis dengan gaya lembut, tapi setiap paragraf adalah peluru berlapis madu.
Saat artikel itu terbit, kantor langsung gempar. Semua orang tahu tulisan itu menyindir seseorang tapi tak ada yang berani menuduh langsung.
Laura menatap Joni dari seberang meja, rahangnya mengeras. Bara pura-pura tak peduli, tapi matanya menunjukkan kekalahan.
Cinta menghampiri Joni diam-diam, membawa dua gelas kopi. “Mas… aku suka tulisannya.”
Joni tersenyum kecil. “Terima kasih, Cin. Kadang semesta cuma butuh waktu buat menyaring orang-orang yang sefrekuensi.”
Cinta menatapnya lama, lalu berkata, “Mungkin aku salah frekuensi selama ini.”
Joni menatap matanya mata yang jujur, polos, tanpa intrik. Untuk pertama kalinya, ia merasa tenang.
Seminggu kemudian, Bara mengundurkan diri. Laura menyusul. Tak ada yang tahu alasan pasti, tapi gosip beredar cepat: mereka bertengkar karena saling menuduh satu sama lain.
Joni tak tertarik memperjelas. Ia sibuk menulis naskah baru, kali ini untuk edisi cinta dan prinsip hidup.
Di akhir tulisannya, ia menambahkan kalimat yang kini benar-benar ia pahami:
“Jangan terlalu sibuk memikirkan siapa yang menyukaimu.
Kembalilah kepada prinsipmu jadilah pribadi yang baik, tulus, dan rendah hati.
Karena orang yang benar-benar sefrekuensi… akan datang sendiri mencari dan mendekatimu.
Begitulah semesta bekerja.”
Dan sore itu, saat matahari menembus jendela kaca, Cinta muncul membawa dua cangkir kopi yang satu untuknya.
Joni tersenyum.
Akhirnya, semesta bekerja seperti yang dijanjikan.
Tanpa rencana. Tanpa tipu. Tanpa licik.
Hanya… frekuensi yang sama.