Eps. Komisaris Cilik: Jembatan Menuju Damai
Tiga hari setelah obrolanku dengan Huntara sore itu, hidup terasa lebih tenang. Aku mulai terbiasa dengan rutinitas sederhana: menyapu halaman, menyiram bunga jambu, dan menyiapkan sarapan sendiri. Tapi dalam hati, ada ruang yang masih kosong bukan karena sepi, tapi karena ingin belajar berdamai dengan masa lalu.
Sabtu sore, 18 Oktober 2025, udara hangat menyapa lembut. Setelah menjemput cucuku Abiya Maisan Huntara, pelajar SMP kelas 8, pulang sekolah, si kecil yang kupanggil Calon Komisaris tiba-tiba berseru,
“Eyang, ayo ke Masjid Al Bakrie di Bandar Lampung!”
Nada suaranya seperti perintah kecil dari seorang bos besar. Aku hanya bisa tersenyum. “Baik, Tuan Komisaris,” jawabku sambil tertawa kecil. Tak lama kemudian kami berangkat aku, anakku Huntara, cucuku Abiya, dan Mang Toha menuju Bandar Lampung lewat jalan tol. Perjalanan 67 kilometer terasa cepat, karena sepanjang jalan kami tertawa dan bernyanyi mengikuti irama lagu-lagu nostalgia dari radio mobil.
Sesampainya di Masjid Al Bakrie, suasana ramai dan indah. Angin sore membawa aroma wangi dari taman, dan suara azan bergema lembut di langit berawan. Aku duduk di serambi, memandangi menara masjid yang menjulang, sambil sesekali melirik cucuku yang berlari kecil di halaman. Ada kedamaian yang sulit dijelaskan.
Usai salat isya, kami makan malam di Rumah Makan Padang Begadang V. Aroma nasi panas bercampur wangi rendang yang menggoda memenuhi ruangan. Pelayan berseragam merah marun hilir mudik membawa piring-piring besar berisi ayam pop, sambal ijo, gulai tunjang, dan sayur daun singkong rebus. Abiya makan dengan lahap, sesekali menatapku sambil tersenyum lebar.
“Eyang, rendangnya juara!”
Aku tertawa kecil sambil menatap Huntara yang juga tersenyum. Di momen itu, aku merasa bahagia bukan karena makanannya, tapi karena kami masih bisa duduk satu meja, tertawa, dan saling berbagi cerita tanpa beban.
Tapi rupanya, malam itu belum selesai.
“Eyang, ke Chandra Department Store dulu ya, mau beli baju,celana, Kaos dan Jas,”
“Sekalian nginap di kota Bandar Lampung aja, Eyang. Biar kayak liburan!”
Aku dan Huntara saling pandang, lalu tertawa. Ya sudahlah sekali-kali menuruti si kecil tidak apa-apa.
Di Chandra Department Store, suasananya ramai dan terang. Musik lembut mengalun dari pengeras suara, anak-anak berlarian sambil memegang balon promosi. Saat menunggu cucuku memilih baju, aku berdiri di dekat eskalator, memandangi orang-orang berlalu lalang. Anehnya, beberapa perempuan ada yang paruh baya, ada yang muda tampak melirik ke arahku. Ada yang tersenyum sopan, ada pula yang berbisik pelan sambil memperhatikanku dari jauh. Aku hanya tersenyum kecil. Dalam hati aku tertawa, mungkin karena aku ini Duda Lansia berusia 68 tahun yang masih rapi dan beraroma minyak kayu putih. Dunia memang lucu: dulu dicuekin, sekarang malah diperhatikan.
Tak lama kemudian, seorang perempuan paruh baya mendekat. Wajahnya ramah, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Maaf, Bapak sendirian, ya? Dari mana, Pak? Bapak kayaknya bukan orang sini, ya?”
Aku tersenyum kikuk, tak sempat menjawab satu pun pertanyaannya. Dalam hati aku berbisik, wah, ini reporter dadakan atau calon tetangga baru? Untung saja, Abiya datang menghampiri sambil memegang kantong belanja. Dengan wajah datar tapi nada sopan, ia berkata,
“Maaf, Bu, Eyang saya sudah ditunggu Papa.”
Perempuan itu tersenyum kaku, lalu perlahan menjauh. Aku menatap cucuku dan tak bisa menahan tawa kecil.
“Calon Komisaris memang sigap,”
kataku sambil mengusap kepala Abiya. Ia menjawab santai,
“Eyang kan udah tobat, jangan diinterogasi lagi sama perempuan tidak jelas.”
Kami pun tertawa bersama.
Setelah urusan belanja selesai, kami melanjutkan perjalanan dan check-in di hotel yang dipilih cucuku. Dua kamar: satu untuk Mang Toha, satu lagi untuk kami bertiga.
Tapi di lobi hotel itulah, kejadian unik terjadi.
Saat aku hendak menyerahkan KTP ke resepsionis, seorang wanita paruh baya menatapku tajam. Matanya berbinar, bibirnya merah menyala seperti lampu hazard.
“Pak Yosowilangun, ya?”
Aku menoleh, sedikit kaget. “Iya, betul, ibu siapa ya?” Dia tertawa kecil, suaranya lembut tapi menggoda.
“Saya yang bapak blokir di Facebook.”
Aku hampir menjatuhkan dompet. Dalam hati aku menjerit, Ya Tuhan, dunia sekecil ini kah dunia, aku tinggal di Jakarta ? Biasanya yang aku blokir itu orang-orang yang suka kirim gambar aneh atau minta hal-hal aneh. Tapi wajah wanita ini… tidak asing, tapi aku benar-benar tak ingat.
Dia mendekat sedikit.
“Saya kan dulu sering chat sama bapak. Saya suka sama gaya tulisan bapak humoris tapi bijak. Cuma waktu itu bapak tiba-tiba blokir saya. Saya sempat sedih, lho.”
Aku bingung mau jawab apa. Hanya bisa nyengir kaku seperti tembok bata.
“Maaf ya, Bu. Mungkin waktu itu saya lagi banyak pikiran,”
ujarku sopan.
Dia tersenyum. “Tak apa. Yang penting sekarang kita ketemu. Dunia memang ajaib.”
Aku tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Hehe, iya, ajaib sekali. Tapi kalau boleh jujur, saya ini sudah tobat, Bu. Kata anak saya, jangan seperti keledai yang jatuh di lubang yang sama.”
Wanita itu tertawa, menatapku lebih lembut.
“Kalau begitu, mungkin saya bukan lubang, tapi jembatan menuju damai.”
Waduh. Kalimatnya bikin jantungku agak tersentak. Aku tak sempat menanggapi karena Huntara datang, menepuk bahuku.
“Papa, kunci kamar udah diambil. Ayo naik.”
Wanita itu menatapku sambil melambaikan tangan.
“Sampai jumpa lagi, Pak Yosowilangun.”
Malam itu, setelah semua tidur, aku duduk di balkon hotel memandangi lampu-lampu kota. Suara kendaraan samar-samar terdengar dari jalan di bawah sana. Aku mengingat kata-kata wanita tadi: “Mungkin saya bukan lubang, tapi jembatan menuju damai.”
Entah kenapa, kalimat itu menenangkan. Bukan karena aku sedang mencari cinta baru, tapi karena aku merasa… mungkin Tuhan sedang mengajarkanku cara lain untuk memaafkan masa lalu dengan tersenyum pada yang pernah salah, dan tetap berjalan tanpa beban.
Keesokan paginya, saat bersiap pulang, aku membuka ponsel. Tidak ada pesan baru tentu saja, karena Facebook wanita itu sudah lama aku blokir. Tapi di pikiranku masih terngiang senyumnya di lobi hotel semalam.
Aku tersenyum kecil, lalu berkata dalam hati,
“Sudahlah, cukup sampai di situ. Yang lalu biarlah jadi pelajaran.”
Aku menatap langit Bandar Lampung yang cerah dan berbisik pelan,
“Terima kasih, Ya Alah. Aku benar-benar belajar. Aku bukan keledai lagi.”