Sore itu, Leony dan Hamdan baru saja tiba di rumah orang tua Leony. Rumah sederhana bercat hijau muda itu menyambut mereka dengan aroma tumisan bawang merah yang harum.
Di ruang tengah, Jojon, ayah Leony, sedang duduk dengan kaus oblong putihnya, membaca koran Radar Lampung dengan wajah serius. Sementara Nunung, ibunya, mondar-mandir di dapur sambil sesekali bersuara keras, “Jangan lupa bawa piring tambahan, Yon! panggilan akrab Leony”
Hamdan menelan ludah. Ini pertama kalinya ia ikut makan malam resmi di rumah mertuanya setelah resmi menikah dengan Leony.
Saat semua duduk mengelilingi meja, Jojon membuka percakapan dengan nada yang agak menekan.
“Hamdan,” katanya sambil menaruh sendok dengan keras di meja, “kau kerja apa sekarang?”
Hamdan tersenyum, berusaha tenang. “Saya masih mengembangkan usaha kecil, Pak. Jualan kopi online. Nggak besar, tapi pelan-pelan ada hasilnya.”
Jojon mendengus. “Usaha kecil? Pelan-pelan? Kau pikir perut anakku bisa kenyang dengan cinta dan kopi onlinemu itu?”
Leony langsung menyikut lengannya. “Pak, jangan begitu. Hamdan itu pekerja keras.”
“Pekerja keras?” Jojon menaikkan alisnya. “Kerja keras itu kalau pagi berangkat, sore pulang bawa hasil nyata. Bukan duduk depan laptop sambil ngopi!”
Suasana meja makan jadi kaku. Hamdan menunduk, menahan kata-kata yang ingin keluar. Ia tahu, membantah hanya akan memperburuk keadaan.
Nunung mencoba mencairkan suasana. “Sudah, sudah. Ayo makan dulu. Jangan perang di meja makan.” Ia menyodorkan semangkuk sup hangat ke arah Hamdan.
Namun, Jojon belum berhenti. “Aku ini bukan mau jahat. Aku cuma nggak mau anakku kelaparan karena laki-laki yang pikir cinta bisa menggantikan nasi.”
Hamdan mendongak, menatap mertua laki-lakinya dengan mata berkilat. Tapi sebelum ia sempat bicara, Leony menyela.
“Pak, aku menikah sama Hamdan bukan karena hartanya. Aku percaya dia bisa bikin aku bahagia. Kalau cuma soal kenyang, gorengan depan rumah juga bisa bikin kenyang. Tapi aku butuh suami yang bikin hidupku penuh makna.”
Hening. Semua menatap Leony yang jarang berbicara setegas itu.
Hamdan meraih tangan istrinya di bawah meja, menggenggamnya erat. Senyum kecil muncul di wajahnya, meski jantungnya berdegup kencang.
Hamdan akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang tapi penuh keyakinan.
“Pak , saya tahu cinta memang tidak bisa bikin perut kenyang. Tapi justru karena itu saya berusaha keras. Bukan untuk membuktikan pada orang lain, tapi supaya Leony tetap tersenyum setiap hari. Kalau perlu, saya rela makan seadanya, asal dia tidak kekurangan.”
Leony menunduk, matanya basah. Ia tak menyangka Hamdan berani bicara begitu di hadapan ayahnya.
Nunung tersenyum samar, lalu berbisik, “Dulu kamu juga begitu, pak. Ingat nggak? Waktu masih ngejar-ngejar aku, kita sering cuma makan cilok sepiring berdua. Tapi rasanya bahagia sekali, kan?”
Jojon tersipu, meski mencoba menahan gengsi. “Ya… tapi itu dulu. Sekarang zaman sudah lain.”
“Zaman boleh berubah,” jawab Nunung cepat, “tapi cinta tetap sama. Nggak usah selalu dihitung dengan isi dompet.”
Makan malam berlanjut dengan lebih tenang. Jojon masih tampak kesal, tapi diam-diam ia memperhatikan bagaimana Hamdan selalu lebih dulu menyendok lauk untuk Leony sebelum dirinya. Bagaimana matanya penuh perhatian setiap kali Leony bicara.
Sudah seminggu sejak makan malam yang menegangkan itu. Hamdan berusaha keras membuktikan pada Jojon bahwa ia bukan sekadar “penjual kopi online yang mengandalkan cinta.”
Pagi-pagi sekali, ia sudah bangun, menyiapkan pesanan kopi, mengemas dengan rapi, dan mengantarkannya sendiri. Leony selalu mendampinginya, terkadang ikut menempelkan label dengan tulisan tangan, “Semoga harimu sehangat kopi ini.”
“Dan semanis cintaku padamu,” Leony menambahkan sambil terkikik.
Hamdan tertawa. “Kalau pelanggan tahu ini tulisanmu, bisa-bisa mereka minta bonus hatimu juga.”
Suatu siang, saat Hamdan sibuk menata paket, terdengar suara berdehem keras di depan rumah.
“Ehem!”
Hamdan mendongak. Di sana berdiri Jojon dengan wajah datar, kedua tangan di pinggang.
“Ini yang kau sebut kerja keras?” tanya Jojon. “Cuma bungkus-bungkus kopi begitu?”
Hamdan gugup, tapi mencoba tetap sopan. “Iya, Pak. Pesanan hari ini lumayan banyak. Ada tiga puluh bungkus.”
“Hemm.” Jojon mendengus. “Tiga puluh bungkus? Itu paling cuma cukup buat beli bensin motor dan gorengan. Istrimu mau dikasih makan apa? Cinta sama kantong plastik?”
Leony yang baru keluar membawa teh langsung menyahut, “Pak, jangan diremehkan. Ini usaha. Dari kecil bisa jadi besar. Lagian, Hamdan serius kok.”
“Serius?” Jojon menyipitkan mata. “Kalau serius, coba buktikan. Bapak kasih tantangan. Minggu depan, bawa Bapak hasil nyata. Kalau tidak… Bapak sendiri yang turun tangan urus Leony!”
Hamdan terdiam, tapi sorot matanya berubah tegas. “Baik, Pak. Saya terima tantangan itu.”
Malamnya, Leony gelisah. Ia duduk di samping Hamdan yang masih menulis catatan pesanan di buku kecil.
“Dan, kau yakin bisa penuhi tantangan Bapak?” suaranya lirih, penuh khawatir.
Hamdan menutup buku, lalu menggenggam tangan istrinya. “Sayang, kau pikir cinta bisa bikin perut kenyang? Tidak. Tapi justru karena itu, aku akan buktikan bahwa cinta memberiku tenaga untuk kerja lebih keras. Bukan untuk mengenyangkan diriku, tapi untuk membahagiakanmu.”
Leony menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku percaya. Apapun yang terjadi, aku tetap di sampingmu.”
Hamdan tersenyum, lalu mengusap lembut pipi istrinya. “Kalau begitu, minggu depan kita bukan cuma bawa kopi untuk Bapak. Kita bawa juga bukti bahwa cinta bisa jadi energi paling kuat.”
Nunung, yang diam-diam mendengar percakapan itu dari dapur, tersenyum sendiri.
“Halah, bapakmu itu memang gengsinya setinggi langit,” gumamnya. “Padahal dulu waktu ngejar aku, modalnya cuma gitar butut dan suara fals. Tapi ya aku pilih dia karena hati, bukan isi kantong.”
Ia pun memutuskan, diam-diam akan membantu Hamdan.
Keesokan harinya, Hamdan mulai mencoba hal baru: membuat varian kopi dingin botolan. Leony yang kreatif mendesain label lucu dengan tulisan, “Kopi Sayang bikin hidupmu manis tanpa bikin gendut.”
Nunung bahkan ikut membantu dengan menyumbang resep rahasia: menambahkan sedikit jahe agar hangat di perut.
“Biar bapak tahu, cinta memang nggak bisa digoreng,” kata Nunung sambil terkekeh, “tapi cinta bisa dicampur ke dalam kopi.”
Seminggu terasa cepat. Pesanan kopi botolan ternyata meledak, terutama setelah Leony mempromosikannya lewat media sosial.
Hamdan tercatat menjual seratus botol hanya dalam tiga hari.
Leony melompat kegirangan saat melihat catatan penjualan. “Dan! Kita berhasil! Bapak pasti nggak bisa ngomel lagi.”
Hamdan menarik napas dalam. “Semoga saja. Tapi aku yakin, meskipun Bapak tetap keras kepala, setidaknya dia tahu aku tidak main-main.”
Leony memeluknya erat. “Aku bangga padamu.”
Dan malam itu, Hamdan tidur dengan pikiran campur aduk antara deg-degan menghadapi Jojon,bapak mertua nya dan bahagia karena Leony selalu di sisinya.
Hari Minggu sore, Hamdan dan Leony kembali ke rumah orang tua Leony. Nunung sudah menyiapkan meja makan, lengkap dengan gorengan kesukaan suaminya Jojon.
Hamdan membawa dua kardus besar berisi kopi botolan buatannya. Tangannya sedikit bergetar, tapi matanya penuh keyakinan.
Jojon duduk di kursi dengan wajah serius, tangan terlipat di dada. “Nah, mana buktinya? Jangan cuma kata-kata manis.”
Hamdan mengangguk, lalu membuka kardus. “Ini, Pak. Minggu ini kami menjual 100 botol kopi. Laba bersihnya cukup untuk kebutuhan rumah selama sebulan. Dan… ada yang lebih penting. Saya ingin Bapak tahu, saya tidak main-main menjaga Leony.”
Jojon mengambil sebotol kopi, menatapnya lama. Ia membuka tutupnya, mencium aroma, lalu menyeruput sedikit.
“Hmmm…” gumamnya.
Leony menatap cemas. “Bagaimana, Pak?”
Jojon menaruh botol di meja. “Rasanya… lumayan. Tidak buruk.”
Hamdan menelan ludah.
“Tapi!” Jojon mengetuk meja dengan jari. “Bisakah rasa kopi ini bertahan lama? Usaha kecil itu gampang naik, gampang juga jatuh. Kau siap kalau suatu saat gagal? Apa kau sanggup tetap memberi makan anakku?”
Hamdan berdiri tegak. “Pak, saya tidak bisa janji hidup akan selalu manis. Tapi saya janji, selama saya bernapas, saya tidak akan berhenti berusaha. Kalau jatuh, saya bangkit lagi. Kalau gagal, saya coba lagi. Karena bagi saya, menjaga Leony bukan sekadar kewajiban tapi alasan saya untuk terus berjuang.”
Leony terisak, menggenggam tangan suaminya. “Pak, bukankah itu yang Ibu selalu bilang? Hidup tidak selalu gampang, tapi kalau ada yang mau berjuang bersama, itu sudah lebih dari cukup.”
Nunung mengangguk setuju. “Betul, pak. Jangan terlalu keras pada anak muda. Ingat dulu, bapak juga sempat gagal berkali-kali. Tapi aku tetap mendampingi, sampai akhirnya kita bisa hidup seperti sekarang.”
Jojon terdiam. Wajah kerasnya perlahan melunak. Ia menatap Leony, lalu Hamdan.
“Aku hanya takut kehilangan anakku,” katanya lirih. “Leony itu permata Bapak. Kalau kau hanya main-main, Bapak tidak akan pernah maafkan.”
Hamdan menunduk hormat. “Saya tahu, Pak. Justru karena itu, saya akan jaga Leony seumur hidup saya.”
Hening sesaat, lalu Jojon menghela napas panjang. “Baiklah, Hamdan. Mulai hari ini, kau resmi jadi bagian keluarga ini. Jangan kecewakan Bapak.”
Hamdan tersenyum lega, lalu menyalami Jojon dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Pak. Saya janji tidak akan mengecewakan.”
Leony menempelkan kepalanya ke bahu Hamdan, matanya berbinar penuh cinta.
Nunung tersenyum sambil menyodorkan piring gorengan. “Sudah cukup dramanya. Ayo makan. Ingat, cinta memang penting… tapi gorengan tetap yang paling cepat bikin kenyang!”
Mereka semua tertawa, termasuk Jojon yang akhirnya tersenyum tipis.
Cinta memang tidak bisa bikin perut kenyang, tapi cinta bisa membuat setiap perjuangan terasa berarti. Dan di meja makan sederhana itu, Hamdan dan Leony tahu, mereka akhirnya benar-benar diterima.
Cinta memang tidak pernah bisa disajikan di atas piring seperti nasi dan lauk-pauk. Ia tidak bisa digoreng, tidak bisa direbus, apalagi ditakar dengan sendok.
Namun, cinta adalah bumbu yang membuat semua terasa lebih nikmat. Tanpa cinta, nasi hanyalah butir padi yang direbus. Tapi dengan cinta, bahkan tempe gosong pun bisa terasa seperti hidangan istimewa.
Leony dan Hamdan telah membuktikan satu hal sederhana:
Bahwa perut bisa kenyang dengan makanan, tapi hati hanya bisa kenyang dengan ketulusan dan kesetiaan.
Dan pada akhirnya, bukankah hidup ini adalah tentang menemukan orang yang rela berjuang bersama kita, baik dalam kenyang maupun lapar.