Di bawah langit senja yang mulai berwarna jingga, angin sore semilir membelai pepohonan yang mengitari jalan kecil di kampung. Wangi khas kuah ayam berkaldu menyebar dari gerobak sederhana milik Pak Darto, tukang mie ayam bakso yang sudah puluhan tahun menggeluti profesinya. Meski usianya sudah 67 tahun, Pak Darto tetap tampak bugar. Wajahnya yang tampan seperti aktor-aktor zaman dulu masih memikat perhatian, bahkan meski rambutnya mulai memutih. Banyak orang yang sering bercanda bahwa Pak Darto masih bisa menjadi idola kampung.
Setiap sore, gerobak biru itu berhenti di sudut jalan yang tak jauh dari pasar. Orang-orang berdatangan, mulai dari anak sekolah yang masih lengkap dengan seragam, ibu-ibu yang baru selesai berbelanja, hingga para pekerja yang hendak pulang ke rumah. Namun, ada satu pelanggan setia yang selalu menarik perhatian Pak Darto, seorang gadis muda bernama Netty.
Netty adalah seorang mahasiswi yang tinggal di kos-kosan dekat kampung itu. Setiap kali pulang dari kampus, dia selalu mampir ke gerobak mie ayam bakso Pak Darto. Wajahnya selalu ceria meski lelah kuliah dan bekerja part-time. Tanpa banyak kata, Netty duduk di bangku kayu kecil di depan gerobak dan memesan semangkok mie ayam bakso.
Namun, sore itu, suasananya berbeda. Wajah Netty tampak murung, matanya sembab seperti habis menangis. Pak Darto memandangnya dengan cemas, berusaha membaca situasi.
“Kamu kenapa, Nak? Biasanya senyum ceriamu yang bikin suasana di sini ramai,” Pak Darto memulai percakapan sambil mengaduk mie ayam pesanan Netty.
Netty tersenyum tipis. “Nggak ada apa-apa, Pak. Lagi banyak pikiran aja.”
Pak Darto mengangguk pelan, tanpa bertanya lebih lanjut. Dia menyelesaikan racikan mie ayam dengan hati-hati, menambahkan beberapa potong bakso besar yang ia simpan khusus untuk Netty. Ketika mangkok itu disajikan, Netty memandangnya dalam-dalam, seolah sedang memikirkan sesuatu yang lebih dari sekadar mie ayam.
Setelah beberapa suap, air mata kembali mengalir di pipi Netty. Pak Darto hendak membuka mulut, namun Netty lebih dulu berbicara.
“Pak Darto, aku sudah lama ingin bicara,” ucap Netty tiba-tiba, suaranya serak. “Aku… aku sudah nggak bisa lagi menyimpan ini sendiri.”
Pak Darto terdiam, merasa ada sesuatu yang lebih berat dari biasanya di hati gadis muda itu.
“Aku tahu ini mungkin nggak masuk akal. Aku masih muda, dan Bapak sudah jauh lebih tua. Tapi… entah sejak kapan, aku mulai merasa ada yang berbeda setiap kali aku ke sini. Aku bukan cuma datang karena mie ayamnya yang enak, Pak,” suara Netty semakin lirih, namun penuh ketegasan. “Aku datang karena aku ingin ketemu sama Bapak.”
Pak Darto menghentikan tangannya yang sedang membersihkan meja. Ia menatap Netty dengan bingung, tak menyangka arah pembicaraan ini.
“Netty, kamu…” Pak Darto terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Bapak ini sudah seperti ayahmu sendiri. Kamu tahu itu, kan?”
Netty menggeleng pelan, air mata semakin deras mengalir di pipinya. “Nggak, Pak. Aku… aku suka sama Bapak. Aku nggak bisa lagi bohongin perasaan ini. Mungkin aneh, mungkin Bapak nggak percaya. Tapi itulah kenyataannya.”
Pak Darto tertegun. Ia tak pernah menyangka gadis yang selama ini ia anggap seperti anak sendiri memiliki perasaan seperti itu. Di hatinya, ada rasa hangat dan perasaan simpati yang mendalam. Namun, ia tahu, cinta yang Netty ungkapkan adalah cinta yang tak mungkin ia balas dengan cara yang sama.
“Netty,” Pak Darto berkata dengan lembut, “Bapak sangat menghargai perasaanmu. Kamu gadis yang baik, cerdas, dan luar biasa. Tapi, cinta yang kamu rasakan ini mungkin hanya sementara, seperti fase dalam hidup yang datang dan pergi.”
Netty menunduk, air matanya jatuh ke dalam mangkok mie ayam yang belum habis. “Aku tahu, Pak. Aku tahu ini salah. Tapi perasaan ini nggak bisa aku sembunyikan lagi.”
Pak Darto menarik napas dalam-dalam. “Kamu masih muda, Nak. Di depanmu masih banyak kesempatan untuk bertemu orang yang seumuranmu, yang bisa mencintaimu dengan cara yang sesuai. Bapak hanya ingin yang terbaik buat kamu.”
Netty menghapus air matanya dengan cepat, berusaha kuat meski hatinya sakit. “Aku mengerti, Pak. Mungkin Bapak benar. Tapi yang jelas, perasaan ini nyata. Terima kasih sudah mendengarku.”
Pak Darto tersenyum lembut, lalu menepuk bahu Netty pelan. “Kamu selalu punya tempat di hati Bapak, Netty. Tapi, sebagai seorang yang lebih tua, Bapak harus bijak. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari ini.”
Netty tersenyum, meski masih terasa getir. Dia tahu, Pak Darto berkata benar. Cinta itu, meski dalam, terkadang tak bisa terwujud seperti yang kita inginkan.
Sore itu, Netty menyantap sisa mie ayamnya dengan hati yang sedikit lebih lega. Mungkin cinta yang ia rasakan tak terbalas seperti harapannya, tapi setidaknya ia telah jujur. Dan dalam semangkok mie ayam itu, ia menemukan pelajaran berharga—bahwa cinta tak melulu tentang memiliki, melainkan tentang memahami.