Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela, menandai awal perjalanan Pak Huntara. Ia bersiap-siap untuk mengantar siswa-siswanya ke Solo untuk PKL. Setelah memastikan mereka semua siap, Pak Huntara mengantar mereka dengan bus Rosalia. Perjalanan panjang dari kota menuju tempat magang melelahkan, tetapi Pak Huntara merasa puas saat melihat semangat para siswa. Setelah tugasnya selesai, ia memiliki satu tujuan pribadi yang telah lama dinantikannya—mengunjungi neneknya di Desa Sambirejo, Kecamatan Slogohimo, Wonogiri.
Pak Huntara telah lama tidak mengunjungi desa ini. Saat ia kecil, ia sering bermain di sekitar rumah neneknya, mendengarkan cerita-cerita mistis dari para tetua desa. Rumah neneknya, yang terbuat dari kayu jati, berdiri kokoh di tengah perbukitan. Meski tua dan berkesan angker, rumah itu memancarkan kehangatan bagi Pak Huntara, penuh dengan kenangan masa kecil.
Sesampainya di Sambirejo, Pak Huntara disambut oleh suara ayam berkokok dan udara pegunungan yang segar. Jalan menuju rumah neneknya tampak sepi, hanya dihiasi oleh deretan pohon-pohon besar. Pak Huntara berhenti sejenak, menghirup dalam-dalam aroma alam yang khas. Di kejauhan, Hutan Wigati menjulang, menyimpan misteri yang tak pernah terungkap sepenuhnya.
“lee, akhirnya kamu datang,” suara nenek terdengar lembut dari pintu rumah.
“Nenek, aku rindu sekali,” jawab Pak Huntara sambil memeluk neneknya.
Pak Huntara memandangi rumah itu. Meskipun tampak usang, rumah itu masih seperti yang ia ingat. Dindingnya yang tebal, lantai kayu yang berderit, dan perabotan antik yang tertata rapi. Di satu sudut ruang tamu, ada sebuah pintu yang selalu membuatnya penasaran saat kecil—pintu menuju kamar istimewa.
Sejak dulu, kamar itu selalu menjadi topik pembicaraan keluarga. Dikatakan bahwa kamar itu menyimpan sejarah penting keluarga mereka. Malam itu, setelah makan malam yang hangat, Pak Huntara duduk bersama neneknya di ruang tamu. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari cerita masa kecil hingga kabar terbaru keluarga.
“Nek, kenapa kamar itu selalu ditutup? Apa yang sebenarnya ada di dalam?” tanya Pak Huntara dengan penasaran.
Nenek tersenyum tipis. “Itu bukan kamar biasa, lee. Di situ kakekmu sering mengadakan pertemuan dengan orang-orang penting. Tapi, ada lebih dari itu. Kamar itu punya hubungan khusus dengan leluhur kita dan Hutan Wigati.”
Hutan Wigati dikenal sebagai tempat angker oleh penduduk desa. Banyak cerita tentang makhluk gaib dan peristiwa aneh yang terjadi di sana. Dulu, ketika Pak Huntara masih kecil, teman-temannya sering menakut-nakutinya dengan cerita tentang hantu yang berkeliaran di hutan itu pada malam hari. Namun, tidak ada yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Malam semakin larut, dan Pak Huntara merasa semakin penasaran. Setelah neneknya pergi tidur, ia memutuskan untuk melihat kamar istimewa itu. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati pintu kamar yang berderit ketika dibuka. Hawa dingin langsung menyambutnya, berbeda dari suhu ruangan lainnya. Kamar itu penuh dengan perabotan kuno: ranjang kayu besar, lemari antik, dan meja tulis yang berdebu. Di atas meja, ada sebuah buku catatan tua.
Pak Huntara mengambil buku itu dan duduk di kursi tua yang ada di sudut kamar. Halaman-halamannya menguning, dan tulisannya tampak pudar. Namun, ketika ia mulai membaca, ia menemukan catatan-catatan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Buku itu milik kakeknya, berisi tentang perjanjian-perjanjian dan ritual-ritual yang dilakukan untuk melindungi desa mereka dari kekuatan jahat di Hutan Wigati.
Menurut catatan itu, kakeknya telah berkomunikasi dengan kekuatan gaib di hutan untuk menjaga keamanan desa. Hutan Wigati dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh-roh kuno yang bisa mendatangkan malapetaka jika tidak dihormati. Kakeknya telah membuat perjanjian dengan mereka untuk menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib.
Di lembaran terakhir buku catatan, kakeknya menulis pesan yang ditujukan kepada keluarga yang akan datang. “Jika suatu saat kalian menemukan buku ini, ketahuilah bahwa tugas menjaga desa ini akan menjadi tanggung jawab kalian. Hormatilah perjanjian ini, dan jangan biarkan kekuatan jahat dari Hutan Wigati keluar.”
Saat menutup buku itu, Pak Huntara merasa beban tanggung jawab yang baru. Ia tidak pernah percaya pada hal-hal gaib, tetapi apa yang ia baca membuatnya berpikir ulang. Apakah benar desa mereka terlindungi oleh kekuatan gaib? Apakah kamar ini benar-benar memiliki kekuatan khusus?
Malam itu, Pak Huntara sulit tidur. Ia memikirkan tentang cerita neneknya dan catatan kakeknya. Pagi harinya, ia berbicara kepada neneknya tentang apa yang ia temukan.
“Nenek, aku menemukan buku catatan kakek. Apakah benar semua itu?” tanya Pak Huntara dengan cemas.
Neneknya mengangguk pelan. “Ya, lee. Itu adalah bagian dari sejarah keluarga kita. Kakekmu melakukan semua itu demi melindungi kita. Mungkin ini saatnya kamu mengetahui semuanya.”
Pak Huntara merasa ada beban tanggung jawab yang harus dipikulnya. Setelah sarapan, neneknya mengajak Pak Huntara ke Hutan Wigati. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui orang. Semakin dalam mereka masuk ke hutan, semakin terasa aura mistis di sekelilingnya.
“Hutan ini menyimpan banyak rahasia. Dulu, kakekmu sering datang ke sini untuk melakukan ritual. Ia berbicara dengan penjaga hutan, meminta perlindungan dan keselamatan bagi desa,” cerita neneknya sambil menunjuk ke sebuah batu besar di tengah hutan.
Batu itu tampak seperti altar dengan ukiran-ukiran aneh di permukaannya. Di sekelilingnya, tumbuh tanaman yang tidak biasa. Neneknya memegang tangan Pak Huntara dan mengajaknya berdoa di depan batu itu. Meski Pak Huntara tidak sepenuhnya memahami, ia ikut berdoa, berharap semoga semua baik-baik saja.
Setelah kembali ke rumah, Pak Huntara merasa perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa bingung dan takut dengan apa yang baru saja dialaminya. Di sisi lain, ia merasakan koneksi yang lebih kuat dengan leluhurnya dan tanggung jawab untuk menjaga desa.
Hari-hari berikutnya, Pak Huntara berusaha untuk memahami lebih dalam tentang tradisi dan perjanjian keluarga mereka. Ia berbicara dengan penduduk desa, mendengarkan cerita-cerita lama, dan mencari tahu lebih banyak tentang Hutan Wigati. Meski banyak dari mereka merasa takut membicarakan hutan itu, Pak Huntara belajar bahwa hutan itu memang memiliki kekuatan khusus yang tidak bisa diabaikan.
Ketika tiba waktunya untuk kembali ke Kalianda, Pak Huntara berjanji pada neneknya bahwa ia akan kembali lagi dan melanjutkan tradisi keluarga mereka. Neneknya tersenyum dan memeluknya erat. “Jangan takut, lee. Kamu tidak sendirian. Leluhur kita akan selalu menjaga kita.”
Di perjalanan pulang, Pak Huntara merenung. Perjalanan ke Desa Sambirejo kali ini mengubah pandangannya tentang banyak hal. Ia tidak hanya mendapatkan kembali kenangan masa kecil, tetapi juga menemukan makna baru tentang keluarga dan tanggung jawab. Rumah neneknya, dengan kamar istimewa itu, akan selalu menjadi tempat yang penuh rahasia dan makna, sebuah warisan yang harus dijaga dan dihormati.
Sesampainya di Kalianda, Pak Huntara merasa ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya. Ia merasa lebih kuat dan lebih terhubung dengan masa lalunya. Cerita-cerita tentang Hutan Wigati dan kamar istimewa itu sekarang menjadi bagian dari dirinya, sesuatu yang akan ia jaga dan hargai sepanjang hidupnya.
Dari cerpen ini yg dapat kita ambil adalah kita dapat menemukan makna baru tentang keluarga dan tanggung jawab, dan kita akan merasa lebih kuat karna terhubung dengan masa lalu nya.
Dari cerpen ini yg dapat kita ambil adalah kita dapat menemukan makna baru tentang keluarga dan tanggung jawab, dan kita akan merasa lebih kuat karna terhubung dengan masa lalu nya.