Malam itu, aku tiba di Sewon, sebuah kawasan di Bantul, Yogyakarta, yang terkenal dengan suasana desa tradisionalnya. Aku memutuskan untuk menginap di sebuah guest house di daerah Tembi, yang direkomendasikan oleh seorang sahabat. Katanya, tempat itu menawarkan pengalaman tinggal yang unik seperti kembali ke masa lalu, dengan rumah-rumah joglo dan keramahan khas Jawa.
Begitu sampai, pemilik guest house menyambutku dengan hangat. Namanya Pak De Basiwa, seorang pria berusia sekitar 69 tahun dengan rambut dua warna yang rapi dan sorot mata yang bersahabat. Ia mengenakan surjan lurik dan kain jarik yang membuatnya tampak seperti tokoh dalam buku sejarah.
“Kamu pasti Mas Huntara?” sapanya dengan suara berat, tapi menenangkan.
“Iya, Pak De,” jawabku sambil tersenyum.
“Selamat datang di Tembi. Malam ini hujan mungkin akan turun, tapi jangan khawatir. Di sini aman, dan semoga kamu betah.”
Pak De Basiwa menunjukkan kamarku. Sebuah ruang joglo kecil dengan perabotan kayu jati dan bau khas kayu yang menenangkan. Dindingnya dihiasi kain batik dan foto-foto lawas yang membuatku merasa seperti melangkah ke masa lalu.
Setelah membereskan barang-barangku, aku duduk di serambi, memandangi hamparan sawah yang mulai gelap. Suara gemericik air dari sungai kecil di dekat guest house bercampur dengan suara jangkrik, menciptakan simfoni alam yang menenangkan.
“Sudah makan malam, mas?” suara Pak De Basiwa mengagetkanku.
“Belum, Pak De.”
“Kalau begitu, ikut ke dapur. Kita makan bersama,” ajaknya sambil tersenyum lebar.
Di dapur, aku bertemu seorang perempuan tua yang sedang duduk di dekat tungku. Wajahnya penuh kerutan, tapi matanya berbinar seperti seorang anak kecil. Ia memakai kebaya sederhana dan kain batik yang sudah agak pudar warnanya.
“Nenek siapa ini, Pak De?” tanyaku.
“Oh, ini Mbah Sari,” jawab Pak De sambil menuangkan teh hangat ke cangkirku. “Dia sering datang ke sini. Seperti penjaga tempat ini.”
Mbah Sari menoleh padaku dan tersenyum. “Kamu tamu baru? Selamat datang di Tembi. Semoga malam ini membawa mimpi yang baik.”
Ada sesuatu yang aneh tapi menenangkan dari cara Mbah Sari berbicara. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. Aku mengangguk dan tersenyum, meski sedikit bingung dengan ucapannya.
Kami makan malam bersama. Hidangannya sederhana nasi hangat, sayur lodeh, tempe goreng, dan sambal terasi tapi rasanya luar biasa. Mbah Sari makan dengan lahap, tapi ia terus-menerus memandangku.
“Kamu mau cerita?” tanyanya tiba-tiba.
“Cerita apa, Mbah?”
“Apapun. Tentang hidupmu, tentang kenapa kamu datang ke sini,” jawabnya sambil menatapku dengan mata yang tajam tapi penuh kasih.
Aku terdiam sejenak. Rasanya aneh menceritakan masalah pribadi kepada seseorang yang baru kukenal. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam diri Mbah Sari yang membuatku merasa aman.
“Aku… Aku cuma ingin istirahat, Mbah. Aku sedang capek dengan pekerjaan dan kota besar,” jawabku akhirnya.
Mbah Sari mengangguk pelan. “Tembi adalah tempat yang baik untuk melepas lelah. Tapi ingat, lelah itu bukan hanya soal badan. Kadang hati dan pikiran juga perlu diistirahatkan.”
Malam itu, setelah makan malam, aku kembali ke kamarku. Hujan turun dengan deras, mengguyur atap joglo dan menciptakan irama yang menenangkan. Aku mencoba tidur, tapi kata-kata Mbah Sari terus terngiang di kepalaku.
Sekitar tengah malam, aku terbangun. Ada suara langkah kaki di luar kamarku, pelan tapi jelas terdengar. Aku membuka pintu dan melihat seorang perempuan berdiri di serambi, menghadap ke arah sawah.
“Mbah Sari?” panggilku.
Perempuan itu menoleh, dan benar, itu adalah Mbah Sari. Tapi wajahnya tampak berbeda. Ia terlihat lebih muda, kulitnya lebih halus, dan kerutannya menghilang.
“Mbah?” tanyaku lagi, bingung.
“Tenang, lee. Aku hanya sedang berjalan-jalan,” jawabnya dengan senyum.
“Tapi… Mbah…”
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar aku diam.
“Dengar,” katanya.
Aku mengikuti arah pandangannya dan mendengar suara-suara lembut di kejauhan. Itu bukan suara jangkrik atau hujan. Suara itu seperti nyanyian merdu, tapi juga melankolis.
“Itu suara siapa, Mbah?”
“Itu suara orang-orang yang sudah lama pergi, tapi masih menjaga tempat ini. Mereka baik. Tidak usah takut,” jawabnya.
Aku merasa bulu kudukku berdiri, tapi entah kenapa, aku tidak merasa takut. Ada rasa damai yang aneh menyelimuti malam itu.
Mbah Sari berjalan mendekatiku dan berkata, “Kamu punya banyak beban di hatimu, lee. Jangan simpan sendiri. Ceritakan, dan biarkan angin Sewon membawanya pergi.”
Air mataku tiba-tiba mengalir. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasa lelah, kesepian, dan beban yang kupendam selama ini seperti membludak keluar. Aku menceritakan semuanya pekerjaanku yang melelahkan, hubungan yang kandas, dan perasaan hampa yang kurasakan belakangan ini.
Mbah Sari mendengarkan dengan sabar. Setelah aku selesai, ia hanya berkata, “Semua akan baik-baik saja. Hidup ini seperti sawah. Kadang ada musim kering, kadang ada musim panen. Tapi selama kamu menjaga hatimu tetap subur, semuanya akan tumbuh kembali.”
Ia tersenyum lagi, lalu perlahan berjalan menjauh, menghilang di balik kegelapan malam.
Pagi harinya, aku terbangun dengan perasaan yang jauh lebih ringan. Matahari bersinar cerah, dan suara ayam berkokok terdengar dari kejauhan. Aku keluar kamar dan menemukan Pak De Basiwa sedang duduk di serambi, menikmati secangkir kopi.
“Selamat pagi, Mas Huntara,” sapanya.
“Selamat pagi, Pak De. Eh, Mbah Sari di mana?” tanyaku.
Pak De Basiwa terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Mbah Sari? Kamu bertemu dia tadi malam?”
“Iya. Kami sempat ngobrol di serambi. Dia orang yang baik,” jawabku.
Pak De tertawa kecil. “Kamu tahu, Mbah Sari sebenarnya sudah lama meninggal. Dia adalah salah satu pemilik tanah ini. Tapi banyak tamu yang mengaku bertemu dengannya, terutama yang hatinya sedang lelah.”
Aku tertegun. Kenangan tentang Mbah Sari semalam terasa begitu nyata. Tapi entah kenapa, aku tidak merasa takut.
“Kalau begitu, mungkin dia memang penjaga tempat ini, seperti yang Pak De bilang,” ujarku sambil tersenyum.
Pak De Basiwa mengangguk. “Mungkin.”
Hari itu, aku meninggalkan Sewon dengan perasaan yang jauh lebih baik. Semalam di Tembi telah memberiku pelajaran berharga bahwa kadang kita hanya perlu berhenti sejenak, mendengarkan hati, dan membiarkan alam menyembuhkan luka-luka yang tidak terlihat.