Hiduplah seorang wanita bernama Siti, seorang lansia yang kini berusia 68 tahun. Siti dikenal oleh semua orang di desanya sebagai wanita dengan hati yang keras dan lidah yang tajam. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mendengar ucapan dari mulut Siti. Sejak muda, ia dikenal sebagai wanita yang sombong, gengsian, dan selalu memandang rendah orang lain.
Siti adalah istri dari Pak Ustad Hadi, seorang ulama yang cukup terkenal di desa tersebut. Sayangnya, ketenaran Hadi tidak membawa kebaikan bagi hubungan mereka. Hadi sendiri memiliki sifat yang sama dengan Siti: sombong dan angkuh. Pasangan ini sering kali memandang rendah orang lain, dan seringkali mempermalukan mereka yang dianggap tidak sepadan.
Sejak dulu, Siti suka berkonflik dengan saudara-saudaranya. Pertengkaran yang awalnya hanya masalah sepele kini telah berlangsung puluhan tahun. Mereka pernah berselisih hanya karena hal kecil seperti perbedaan pendapat tentang warisan keluarga, namun sejak itu, hubungan mereka tidak pernah pulih. Siti selalu menganggap dirinya benar, dan tidak pernah mau mengalah.
Tidak hanya dengan saudara-saudaranya, Siti juga sering kali ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain. Anaknya, Rani, yang sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri, sering kali menjadi korban campur tangan Siti. Rani merasa tertekan dan tidak bebas mengurus rumah tangganya sendiri karena selalu diintervensi oleh ibunya. Tidak hanya Rani, Siti juga sering ikut campur dalam urusan ponakan-ponakannya, bahkan tetangganya. Tidak ada yang luput dari kritik pedas Siti.
Suatu hari, Siti jatuh sakit. Penyakit yang dideritanya cukup parah hingga membuatnya harus berbaring di tempat tidur hampir sepanjang hari. Seiring berjalannya waktu, sakit yang diderita Siti tidak kunjung membaik. Tahun demi tahun berlalu, dan Siti semakin lemah. Di masa-masa sakitnya, ia mulai merasakan kesepian yang mendalam. Anak-anaknya yang dulu sering dikritiknya kini jarang mengunjunginya. Saudara-saudaranya yang dulu sering berdebat dengannya kini menjauh.
Di atas tempat tidurnya, Siti sering kali merenungi kehidupannya. Ia teringat masa-masa muda ketika ia masih memiliki banyak teman dan keluarga yang peduli padanya. Kini, di usianya yang senja, ia hanya ditemani oleh rasa sakit dan kesepian. Dalam heningnya malam, ia mulai menyadari bahwa sifat sombong dan angkuhnya telah menghancurkan banyak hubungan berharga dalam hidupnya.
Siti akhirnya menyadari bahwa tidak ada yang peduli padanya bukan karena mereka jahat, tetapi karena sifatnya sendiri yang membuat mereka menjauh. Ia ingin meminta maaf, namun rasa gengsi dan harga dirinya selalu menahannya untuk melakukannya. Di atas tempat tidur yang dingin, Siti sering kali menangis dalam diam, menyesali semua perbuatannya di masa lalu.
Waktu terus berjalan, dan kondisi Siti semakin memburuk. Hingga suatu pagi yang tenang, Siti menghembuskan napas terakhirnya. Kepergiannya tidak banyak dihadiri oleh orang-orang. Hanya beberapa tetangga dan sanak saudara yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir.
Di pemakaman, suasana hening. Tidak banyak yang berbicara, seolah-olah semua orang tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka mengenang Siti dengan segala kekurangannya. Meski banyak kenangan buruk yang ditinggalkan Siti, beberapa orang masih mendoakannya agar ia mendapatkan kedamaian di alam sana.
Kepergian Siti menjadi pelajaran bagi banyak orang di desa tersebut. Mereka belajar bahwa sifat sombong dan angkuh hanya akan membawa kesepian dan penyesalan di akhir hidup. Kini, desa tersebut lebih damai tanpa kehadiran Siti, namun kenangannya tetap hidup sebagai peringatan bagi mereka yang masih ada.
Hidup Siti menjadi sebuah cerita tentang bagaimana sifat buruk dapat merusak hubungan dan akhirnya membawa kesepian. Meskipun ia sudah tiada, pelajaran dari hidupnya tetap membekas di hati mereka yang mengenalnya. Mereka yang masih hidup bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, berharap dapat menjalani hidup yang lebih baik dan lebih bermakna.