Perjalanan dinas kali ini membawaku ke Yogyakarta, lebih tepatnya di daerah Sewon, Bantul. Setelah seharian mengurus pekerjaan, aku memutuskan menginap di sebuah guest house yang terkenal dengan suasananya yang masih asri dan tenang, menghadap langsung ke hamparan sawah yang hijau. Guest house ini jauh dari hiruk-pikuk kota, tepat seperti yang kubutuhkan.
Aku mendapat kamar nomor 124, di ujung lorong. Sore itu, aku duduk di teras kecil di depan kamarku, menikmati angin sore yang membawa aroma padi dan tanah basah. Pemandangan sawah yang membentang di depanku begitu menenangkan. Aku terpekur, mencoba melepaskan kepenatan.
Tiba-tiba, dari sudut mataku, kulihat seseorang mendekat. Seorang nenek, mungkin usianya sekitar 65 tahun, berjalan pelan ke arahku. Rambutnya sudah memutih, tetapi wajahnya masih segar dengan senyum yang hangat. Ia mengenakan kain batik sederhana, tampak seperti orang kampung sekitar.
“Halo, Nak. Lagi duduk-duduk sendirian?” sapa nenek itu dengan ramah, suaranya lembut tapi jelas.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Iya, Nek. Lagi menikmati angin sore. Adem banget di sini.”
Nenek itu tertawa kecil, lalu tanpa diminta duduk di kursi kosong di sebelahku. “Adem, ya? Memang di sini suasananya tenang. Nenek sudah lama tinggal di sekitar sini, dari kecil malah. Sawah-sawah ini sudah jadi pemandangan sehari-hari.”
“Iya, Nek. Enak banget di sini,” jawabku sambil mencoba tetap sopan, meski agak heran karena nenek ini langsung akrab.
“Nak tinggal di sini lama?” tanyanya sambil menatapku dengan mata yang tajam namun penuh rasa penasaran.
“Hmm, nggak lama, Nek. Cuma empat hari, ini juga dinas kerja,” jawabku. Aku berusaha tersenyum, tapi perasaanku mulai tak nyaman.
Nenek itu mengangguk-angguk. “Oh, dinas. Pasti capek ya, makanya cari tempat yang tenang seperti ini.”
“Betul, Nek. Biar bisa istirahat,” jawabku singkat.
Tiba-tiba nenek itu mencondongkan tubuhnya sedikit mendekat, senyumnya berubah sedikit genit. “Nak, udah punya istri belum?”
Pertanyaannya membuatku terkejut. Aku tersenyum kaku. “Belum, Nek. Masih sendiri.”
“Oh, masih sendiri ya? Nak masih muda, pasti banyak yang naksir. Tapi kadang, kesendirian itu bisa bikin hati sepi, ya?” ucapnya dengan nada menggoda.
Aku tertawa kecil, berusaha menutupi kegelisahanku. “Iya, Nek. Tapi ya, dinikmati saja. Mungkin belum waktunya.”
Nenek itu tersenyum lebar, tapi senyumnya semakin aneh di mataku. “Nak pasti suka di sini, ya? Siapa tahu nanti bisa ketemu jodoh di tempat seperti ini,” katanya sambil terkekeh pelan.
Percakapan ini mulai terasa tidak wajar, dan aku mencari cara untuk mengakhirinya dengan sopan. “Nek, Nenek tinggal di sini juga?”
“Ah, tidak. Nenek cuma suka main ke sini. Tempat ini banyak cerita, Nak. Banyak orang yang pernah tinggal di sini, yang punya kenangan masing-masing,” jawabnya samar.
Tak lama kemudian, nenek itu pamit. “Sudah sore. Nenek pulang dulu, ya. Hati-hati di sini, Nak.”
Setelah nenek itu pergi, perasaanku bercampur aduk. Ada sesuatu yang janggal dengan kehadiran nenek tadi. Esok paginya, rasa penasaran membuatku bertanya pada petugas guest house.
“Pak, semalam saya ketemu seorang nenek. Dia cerita sudah lama tinggal di sekitar sini. Apa memang ada nenek yang tinggal di dekat sini?” tanyaku.
Petugas itu tampak bingung. “Nenek? Yang seperti apa?”
Aku menceritakan sosok nenek yang kutemui. Wajah petugas itu mendadak tegang. “Nenek itu… mungkin Nenek Sri yang dulu tinggal di sini. Tapi… beliau sudah meninggal tiga tahun yang lalu.”
Aku terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “Meninggal?”
Petugas itu mengangguk pelan. “Iya, Nak. Beliau memang sering ngobrol dengan tamu-tamu, tapi sekarang sudah tidak ada lagi.”
Aku merasakan bulu kudukku meremang. Terbayang kembali senyum genit nenek itu semalam. Apa yang sebenarnya terjadi di kamar nomor 124 ini?