Robby baru saja lulus S1 Teknik Informatika . Dalam hidupnya, segala hal terasa berjalan sesuai harapan. Lahir dari keluarga berada, wajah tampan, sopan, dan pandai bergaul, membuatnya mudah diterima di mana saja. Apalagi, ia memiliki kekasih bernama Sinta, gadis yang selama bertahun-tahun setia di sisinya. Bersama Iqbal, sahabat karibnya, mereka menjadi trio yang tak terpisahkan. Namun, semua itu runtuh ketika Robby mengetahui bahwa Sinta menjalin hubungan dengan Iqbal di belakangnya.
Sore itu, saat Robby melihat Sinta dan Iqbal berjalan bersama, hatinya terasa hancur. Rasa percaya yang selama ini ia pegang erat lenyap begitu saja. Ia pulang tanpa sepatah kata, langsung mengurung diri di kamar. Empat hari penuh ia menghindari kontak dengan siapa pun, termasuk keluarganya. Ponselnya berkali-kali berdering, namun ia tidak punya tenaga untuk menjawab. Rasa sakit itu terlalu dalam, terlalu menghimpit.
Pada hari keempat, menjelang Isya, ponselnya kembali berdering. Kali ini dari Pak De Anwar, pamannya yang tinggal di Sewon.
“Rob, kamu baik-baik aja, nggak?” suara Pak De terdengar dari telepon, hangat dan penuh perhatian.
Robby terdiam sejenak, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. “Nggak, Pak De… aku lagi… susah.”
“Nah, kebetulan. Kenapa nggak ke sini dulu aja? Udah lama nggak main ke Sewon. Ganti suasana mungkin bisa bantu. Di sini sejuk, tenang,” ajak Pak De dengan nada ramah.
Robby terdiam beberapa saat, berpikir. Suara pamannya seolah memberi sedikit cahaya di tengah gelap yang ia rasakan. “Baik, Pak De. Aku ke sana besok.”
Esok paginya, Robby berkemas dan memutuskan berangkat ke Sewon. Sepanjang perjalanan, ia menyadari betapa berat beban yang selama ini ia bawa. Sewon, dengan suasana pedesaan yang tenang, mungkin bisa menjadi tempat untuk merenung dan melupakan semua rasa sakit.
Ketika tiba di rumah Pak De, senyum ramah menyambutnya di pintu.
“Robby! Wah, makin dewasa kamu sekarang. Tapi, kok, pucat banget, ya?” Pak De menyambutnya dengan pelukan hangat. “Ayo masuk, kita ngobrol sambil minum teh.”
Di dalam rumah sederhana nan nyaman itu, Robby mulai bercerita tentang apa yang terjadi. Pak De mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk dan memberi nasihat bijak.
“Kamu tahu, Rob,” ujar Pak De sambil menyeruput teh, “hidup ini memang kadang nggak adil. Tapi, kita selalu punya pilihan. Tetap tenggelam di rasa sakit, atau bangkit dan lanjutkan hidup.”
Robby hanya mengangguk pelan. Kata-kata Pak De terasa masuk akal, tapi ia belum siap benar-benar bangkit. Ia butuh waktu.
Beberapa hari berlalu di Sewon, Robby mulai menikmati ketenangan di sana. Namun, rasa hampa itu masih menghantui. Pada suatu malam, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Angin malam yang sejuk membelai wajahnya, sedikit menenangkan pikirannya yang kacau.
Di sudut jalan, Robby melihat sebuah gerobak kecil yang menjual jagung bakar. Di samping gerobak itu berdiri seorang gadis muda, cantik dengan wajah yang hangat. Rambutnya diikat sederhana, dan ia terlihat sibuk memanggang jagung. Gadis itu tersenyum ketika menyadari kehadiran Robby.
“Halo, Mas. Mau pesan jagung bakar?” sapanya dengan lembut.
“Oh, iya… satu jagung bakar manis, ya,” jawab Robby, sedikit terkejut dengan sapaan hangat itu.
“Sebentar, ya,” gadis itu segera menyiapkan pesanan Robby. Ia bekerja dengan cekatan, tangan kecilnya lincah membolak-balik jagung di atas arang.
“Aku Maulidya, biasanya aku jualan di sini setiap malam. Kalau Mas sering lewat sini, mampir saja,” katanya ramah.
“Robby,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Aku baru pertama kali ke sini, sebenarnya. Lagi tinggal di rumah paman.”
Maulidya tersenyum lagi, seolah memahami sesuatu. “Oh, tamu dari luar kota ya, Mas?”
“Iya, dari Jakarta.”
“Wah, pasti beda banget suasana di sini, ya. Di desa kayak gini, semua lebih sederhana.”
Robby mengangguk. “Benar. Tapi, justru itu yang bikin aku merasa lebih tenang.”
Obrolan sederhana itu berlanjut, diiringi aroma jagung bakar yang menguar. Setelah mendapatkan jagungnya, Robby duduk di bangku kayu di dekat gerobak, sambil mengobrol lebih banyak dengan Maulidya. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai merasa nyaman, seolah berbicara dengan Maulidya adalah pelarian yang ia butuhkan.
Malam-malam berikutnya, Robby tak lagi hanya berdiam diri di rumah Pak De. Ia kembali ke gerobak Maulidya, bukan hanya untuk menikmati jagung bakar, tetapi juga untuk berbicara dengan gadis itu. Ada sesuatu yang menarik dari kesederhanaan Maulidya. Meski hidupnya tidak semewah hidup Robby, Maulidya tampak bahagia dengan apa yang dimilikinya.
Suatu malam, ketika suasana cukup sepi, Robby memberanikan diri untuk bertanya.
“Maulidya, kenapa kamu jualan jagung bakar sendirian di malam hari? Nggak takut?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Maulidya tertawa kecil, “Udah biasa, Mas. Lagi pula, di sini orang-orangnya baik. Nggak ada yang perlu ditakuti.”
Robby tersenyum mendengar jawaban itu. “Hebat kamu. Berani banget.”
Maulidya tersipu malu. “Bukan masalah berani, Mas. Kadang, kalau kita punya tujuan, rasa takut itu hilang dengan sendirinya.”
Kata-kata Maulidya membuat Robby merenung. Mungkin benar. Mungkin yang ia butuhkan sekarang adalah tujuan baru dalam hidup. Dan, entah mengapa, ia merasa Maulidya bisa menjadi bagian dari tujuan itu.
Semakin sering mereka berbicara, semakin kuat pula ketertarikan Robby pada Maulidya. Gadis itu memiliki pesona yang tak pernah Robby temukan sebelumnya. Kesederhanaan, ketulusan, dan keteguhan hati yang membuatnya kagum.
Suatu malam, Robby tak lagi bisa menahan perasaannya. Di tengah obrolan yang hangat, ia berkata dengan serius, “Maulidya, aku tahu mungkin ini terlalu cepat, tapi aku merasa ada yang berbeda saat aku bersamamu. Boleh nggak kalau kita lebih serius?” Aku Terbakar cinta dengan tukang jagung bakar yang cantik jelita.
Maulidya menatapnya sejenak, terkejut dengan pertanyaan itu. Namun, senyum manis segera menghiasi wajahnya. “Aku juga merasa begitu, Robby.”
Dan begitu saja, di bawah langit Sewon yang cerah, di antara aroma jagung bakar dan angin malam yang sejuk, Robby menemukan kembali alasan untuk tersenyum. Bersama Maulidya, ia memulai babak baru dalam hidupnya. Sebuah awal yang tak pernah ia bayangkan, tetapi terasa lebih indah dari yang pernah ia impikan.