Pak Sadar duduk di dalam mobilnya, gelisah. Bayangan wajah Bu Ratih wanita yang mirip dengan Mira, istri yang ia nikahi secara siri di Lampung puluhan tahun lalu terus menghantuinya. Ada rasa penyesalan yang semakin besar seiring waktu berlalu, dan perasaan bahwa Momon mungkin adalah anak kandungnya. Namun, semua itu belum pasti. Ia harus memastikan kebenaran ini.
Tak kuat menahan rasa gelisahnya, Pak Sadar memutuskan untuk mengunjungi Pak Sidjabat. Ia ingin memastikan keadaan Momon, meski dalam hatinya, ada keinginan lebih dalam untuk mencari jawaban atas segala kegelisahannya. Dengan hati yang berat, Pak Sadar akhirnya melajukan mobilnya menuju rumah Pak Sidjabat.
Sesampainya di sana, Pak Sidjabat menyambutnya dengan senyum yang sedikit canggung. Pak Sadar tak bisa menahan rasa cemburunya melihat kedekatan antara Pak Sidjabat dan Momon. Ia meneguk ludah, mencoba menenangkan diri.
“Pak Sadar, apa kabar? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Sidjabat, mengundang Pak Sadar masuk ke dalam.
Pak Sadar menatap ke arah rumah, lalu menghela napas berat sebelum menjawab, “Saya… hanya ingin memastikan keadaan Momon. Saya dengar dia sakit.”
Pak Sidjabat mengangguk, merasa heran dengan ketertarikan Pak Sadar yang begitu mendalam terhadap Momon. Namun, ia tidak menunjukkan keheranannya dan mempersilakan Pak Sadar masuk.
Di kamar, Momon masih terbaring lemah di tempat tidurnya. Wajahnya pucat, namun ia terlihat sudah sedikit lebih segar setelah beberapa jam istirahat. Ketika melihat Pak Sadar masuk, Momon terlihat agak terkejut.
“Pak Sadar…,” Momon berkata pelan, suaranya lemah.
Pak Sadar mendekati Momon, duduk di kursi di sebelah tempat tidurnya. Ada tatapan penuh rasa sayang dan penyesalan di matanya. “Kamu bagaimana, Mon? Sudah lebih baik?” tanya Pak Sadar lembut.
Momon mengangguk perlahan. “Sudah agak mendingan, Pak. Terima kasih sudah datang.”
Pak Sidjabat yang berdiri di dekat pintu memperhatikan dengan cermat interaksi di antara mereka berdua. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Pak Sadar, seolah ada perasaan mendalam yang lebih dari sekadar kepedulian biasa.
“Mungkin, Pak Sadar ingin bicara sebentar dengan Momon. Saya ke dapur dulu untuk mengambil air hangat,” kata Pak Sidjabat, mencari alasan untuk memberi mereka ruang.
Setelah Pak Sidjabat meninggalkan kamar, Pak Sadar merasa dadanya semakin berat. Ia memandang Momon, seolah mencari keberanian untuk mengungkapkan perasaannya yang selama ini tertahan.
“Momon, ada sesuatu yang sudah lama ingin saya bicarakan,” kata Pak Sadar dengan suara parau. “Aku… aku merasa kita punya ikatan lebih dari sekadar teman.”
Momon menatap Pak Sadar dengan kebingungan. “Maksud Bapak?”
Pak Sadar terdiam sejenak, berusaha menata kata-katanya. “Aku…,” ia menghela napas panjang. “Aku merasa… mungkin kamu adalah anakku, Momon.”
Mendengar itu, Momon terkejut. Pandangannya segera berubah menjadi waspada. “Bapak bilang apa? Anak?”
Pak Sadar mengangguk. “Ya. Aku pernah menikah dengan seorang wanita di Lampung, puluhan tahun yang lalu. Namanya Mira. Aku meninggalkannya tanpa pernah tahu bagaimana kehidupannya setelah itu. Dan… kamu, Momon, kamu mirip sekali denganku. Aku yakin…,” suaranya serak.
Momon menggelengkan kepala, bingung dan marah. “Bapak salah. Ayah saya bukan Bapak. Ayah saya sudah tiada, sudah lama meninggalkan saya dan Ibu. Namanya bukan Sadar.”
Pak Sadar semakin tertekan mendengar Momon menyangkal kemungkinan itu. Namun, ia tidak bisa membiarkan perasaan ini terpendam lebih lama lagi. Ia harus memastikan kebenaran ini, meskipun harus menghadapi kenyataan yang pahit.
Pak Sadar keluar dari kamar Momon dengan wajah yang masam. Rasa cemburu dan kekecewaan menggumpal di hatinya. Dia baru saja mengungkapkan sebuah rahasia yang sudah lama ia pendam, namun Momon menolaknya, bahkan menyebut Pak Sidjabat sebagai ayah. Perasaan tak nyaman itu semakin mengganggunya ketika ia melangkah menuju ruang tamu, tempat Pak Sidjabat sudah menunggu dengan tatapan tenang.
“Pak Sadar, bagaimana keadaan Momon? Sudah lebih baik?” tanya Pak Sidjabat dengan nada ramah, mencoba mencairkan suasana.
Namun, Pak Sadar tidak bisa menahan emosinya. “Sudah,” jawabnya pendek, sambil duduk di kursi dengan kasar. Wajahnya terlihat semakin keruh, matanya memandang Pak Sidjabat dengan tajam.
Pak Sidjabat merasakan ada yang tidak beres. “Ada yang ingin Pak Sadar bicarakan?” tanyanya hati-hati.
Pak Sadar menatap Pak Sidjabat dengan pandangan penuh amarah yang tertahan. “Momon. Dia memanggilmu ‘Papa’,” ucapnya dengan nada rendah namun penuh tekanan.
Pak Sidjabat mengerutkan kening. “Ya, kami sudah dekat selama ini. Mungkin dia merasa lebih nyaman memanggil saya begitu. Saya tidak memaksa, Momon sendiri yang…”
“Bukan itu masalahnya!” potong Pak Sadar dengan nada yang tiba-tiba naik. “Masalahnya, aku merasa Momon adalah anakku. Anak yang kutinggalkan bertahun-tahun lalu di Lampung. Tapi dia lebih memilihmu, menganggapmu sebagai ayahnya. Itu yang membuatku marah!”
Pak Sidjabat terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya. “Maksud Bapak, Momon adalah anak yang Bapak tinggalkan dulu?”
Pak Sadar mengangguk dengan tegas. “Aku yakin dia anakku. Tapi dia menolak mengakuinya! Dan sekarang, kamu—kamu yang mendapat tempat sebagai ayah di hatinya,” suaranya semakin tinggi, cerminan dari kecemburuan yang semakin tak terkendali.
Pak Sidjabat menatap Pak Sadar dengan tenang. “Pak Sadar, kalau Momon memang anak Bapak, bukankah seharusnya Bapak berusaha mendekatinya dengan baik, bukan dengan amarah?”
Pak Sadar mengepalkan tangannya di atas lutut, mencoba menahan emosi yang membara. “Kamu tidak mengerti, Sidjabat. Perasaan seorang ayah yang kehilangan anaknya bertahun-tahun lalu… dan sekarang, anak itu ada di hadapanku tapi dia menolak! Dia bahkan menganggap orang lain sebagai ayahnya!”
Pak Sidjabat mendesah panjang. “Saya paham perasaan Bapak. Tapi Momon sudah dewasa, dan dia punya hak untuk menentukan siapa yang dia anggap sebagai keluarga. Jika memang benar Bapak adalah ayah kandungnya, buktikanlah dengan cinta, bukan dengan marah-marah seperti ini.”
Pak Sadar menunduk, merasakan sebagian amarahnya mulai surut namun cemburu itu masih menguasainya. “Saya hanya ingin dia tahu kebenaran, Sidjabat. Tapi setiap kali melihat kedekatan kalian, saya merasa kehilangan semakin dalam.”
Pak Sidjabat menepuk pundak Pak Sadar pelan. “Kalau begitu, mari kita lakukan dengan cara yang benar. Kita bicarakan ini dengan Momon, dengan tenang, tanpa emosi.”
Pak Sadar terdiam, matanya berkaca-kaca. “Aku takut terlambat. Aku takut dia tidak pernah bisa menerimaku.”
Pak Sidjabat tersenyum kecil. “Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki hubungan. Asalkan Bapak bisa sabar dan memberikan ruang bagi Momon untuk memahami semuanya.”
Pak Sadar mengangguk perlahan, merasa sedikit lebih tenang. Namun, di dalam hatinya, dia masih bergulat dengan ketidakpastian tentang bagaimana Momon akan menerimanya sebagai ayah.
Part 53: Amarah yang Tertahan
Pak Sadar keluar dari kamar Momon dengan wajah masam. Hatinya penuh dengan gejolak cemburu dan kekecewaan. Ia baru saja mencoba mengungkapkan rahasia besar yang telah lama dipendamnya, namun Momon menolak untuk mengakuinya. Bahkan, Momon memanggil Pak Sidjabat sebagai “Papa.” Setiap kali memikirkan itu, hatinya semakin berat.
Pak Sadar berjalan menuju ruang tamu, di mana Pak Sidjabat sudah menunggu dengan raut wajah tenang. Pak Sidjabat menyambutnya dengan ramah.
“Pak Sadar, bagaimana keadaan Momon? Sudah lebih baik?” tanya Pak Sidjabat dengan nada bersahabat, berharap bisa mencairkan suasana.
Namun, respons Pak Sadar tidak sehangat itu. “Sudah,” jawabnya pendek, sambil duduk di kursi dengan kasar. Wajahnya dipenuhi rasa tidak suka, matanya menatap tajam pada Pak Sidjabat.
Pak Sidjabat bisa merasakan ada ketegangan yang mengisi ruangan. “Ada yang ingin Bapak bicarakan?” tanyanya lembut namun penuh perhatian.
Pak Sadar menatapnya dengan pandangan yang penuh dengan amarah yang tertahan. “Momon… dia memanggilmu ‘Papa’,” ucap Pak Sadar dengan suara yang rendah tapi penuh dengan tekanan.
Pak Sidjabat mengernyitkan dahi, sedikit bingung. “Ya, kami memang sudah dekat. Dia yang memilih memanggil saya begitu, bukan karena saya memintanya.”
“Bukan itu masalahnya!” bentak Pak Sadar, nadanya tiba-tiba meledak. “Masalahnya, aku yakin Momon adalah anakku! Anak yang kutinggalkan bertahun-tahun lalu di Lampung. Tapi sekarang dia menolak mengakuinya, dan malah menganggapmu sebagai ayahnya!”
Pak Sidjabat tertegun mendengar pengakuan itu. “Maksud Bapak, Momon adalah anak yang Bapak tinggalkan dulu?”
Pak Sadar mengangguk dengan tegas, emosinya mulai menguasai. “Aku yakin dia anakku! Tapi dia menolak mengakuinya! Dan sekarang, kamu yang menjadi ayah baginya!”
Pak Sidjabat menghela napas panjang, mencoba bersikap tenang. “Pak Sadar, kalau Momon memang anak Bapak, bukankah lebih baik mendekatinya dengan cara yang baik, tanpa memaksa?”
Pak Sadar mengepalkan tangan, jelas sekali bahwa ia sedang berjuang menahan amarah. “Kamu tidak mengerti, Sidjabat. Perasaan seorang ayah yang kehilangan anaknya bertahun-tahun lalu… dan sekarang, dia ada di hadapanku, tapi menolakku! Menyebutmu ayahnya!”
Pak Sidjabat menatapnya dengan empati. “Saya paham perasaan Bapak. Tapi Momon sudah dewasa. Dia punya hak untuk menentukan siapa yang dia anggap sebagai keluarganya. Jika memang benar Bapak adalah ayah kandungnya, tunjukkan itu dengan kasih sayang, bukan dengan amarah.”
Pak Sadar menunduk, amarahnya sedikit mereda namun rasa cemburu masih menguasai dirinya. “Aku hanya ingin dia tahu kebenaran, Sidjabat. Tapi setiap kali melihat kedekatan kalian, aku merasa semakin jauh dari anakku sendiri.”
Pak Sidjabat menepuk bahu Pak Sadar dengan lembut. “Kalau begitu, kita harus bicara dengan Momon, dengan tenang. Tidak ada gunanya memaksanya. Bapak harus memberinya waktu untuk menerima semuanya.”
Pak Sadar mengangguk perlahan, merasa sedikit lebih tenang. Namun, di dalam hatinya masih ada ketakutan bahwa Momon tidak akan pernah bisa menerimanya.
Saat itu, tanpa diduga, Momon keluar dari kamarnya. Dia berjalan pelan ke arah mereka berdua, lalu tanpa ragu memeluk Pak Sidjabat erat-erat. “Maaf, Pak Sadar,” ucap Momon dengan tenang tapi tegas, “Ini papa saya, Pak Sidjabat. Bapak bukan ayah saya.”
Kata-kata Momon seperti palu yang menghantam perasaan Pak Sadar. Wajahnya pucat seketika, napasnya tertahan. “Mon… aku ayahmu, Mon,” ucap Pak Sadar lemah, suaranya hampir tak terdengar.
Momon menoleh, masih dalam pelukan Pak Sidjabat. “Ayah saya sudah tiada. Ayah saya meninggalkan saya dan ibu bertahun-tahun lalu, tanpa peduli. Bapak bukan bagian dari hidup saya.”
Pak Sadar lemas. Ia jatuh duduk di sofa, wajahnya terlihat tak berdaya. Semua kekuatan dan keyakinan yang ia bawa selama ini seakan runtuh dalam sekejap. Pak Sidjabat, yang masih memeluk Momon, menatap Pak Sadar dengan penuh simpati, namun tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan rasa sakit di hati pria itu.
Setelah beberapa saat berbicara tanpa hasil, Pak Sadar akhirnya berpamitan untuk pulang. Wajahnya tegang, matanya memancarkan rasa sakit yang dalam. Momon tidak menganggapnya sebagai ayah, dan kedekatan antara Momon dan Pak Sidjabat membuat perasaannya semakin tertekan. Dengan langkah berat, ia meninggalkan rumah Pak Sidjabat, mencoba menyembunyikan emosinya di balik wajahnya yang dingin.
Di sepanjang perjalanan pulang, pikirannya berputar-putar tanpa henti. Rasa cemburu kepada Pak Sidjabat semakin membesar. “Kenapa harus dia?” batinnya berteriak. Sementara Momon, anak yang diyakininya sebagai darah dagingnya sendiri, menolak untuk mengakui keberadaannya sebagai ayah. Itu bukan hanya menyakitkan itu menghancurkan.
Mobil yang ia kendarai melaju tanpa tujuan jelas. Tangannya menggenggam kemudi dengan erat, sementara dadanya terasa sesak. Pikirannya berkecamuk, berperang antara amarah dan kesedihan. “Apakah ini karma karena aku meninggalkan mereka dulu? Apakah ini harga yang harus kubayar?” gumamnya pelan sambil terus menatap lurus ke jalan.
Sampai di rumah, Pak Sadar menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan berat. Kepalanya berdenyut karena tekanan emosional yang tak kunjung reda. Istrinya, yang melihat perubahan drastis pada suaminya, mendekat dengan penuh perhatian.
“Ada apa, Pak? Bapak kelihatan suntuk sekali,” tanya istrinya dengan suara lembut, mencoba meraba apa yang sedang terjadi.
Pak Sadar menutup matanya, berusaha menenangkan diri. Namun, percikan emosi di dalam dirinya terlalu kuat untuk diabaikan. “Aku baru saja bertemu dengan Momon… anakku,” ucapnya pelan, hampir berbisik.
Istrinya tertegun. “Momon? Anakmu? Maksud Bapak… anak yang dulu Bapak tinggalkan di Lampung itu?”
Pak Sadar mengangguk lemah, tidak bisa menutupi perasaannya lagi. “Iya, Mon… dia tidak mau mengakuiku sebagai ayahnya. Malah, dia lebih dekat dengan Pak Sidjabat. Momon memanggilnya ‘Papa’… dan menolakku mentah-mentah.”
Istrinya duduk di sampingnya, meletakkan tangannya di bahu Pak Sadar. “Bapak… mungkin Momon butuh waktu. Dia pasti punya luka dari masa lalu. Tidak mudah bagi seorang anak untuk menerima kembali ayah yang pernah meninggalkannya.”
Pak Sadar menarik napas panjang, menahan emosi yang hampir meledak lagi. “Tapi aku cemburu… aku melihat mereka seperti ayah dan anak yang sangat dekat. Aku yang seharusnya ada di sana, bukan Sidjabat! Aku yang seharusnya dipanggil ‘Papa’, bukan dia…”
Istrinya menatap suaminya dengan penuh empati. “Pak, mungkin cara Bapak mendekati Momon terlalu keras. Dia perlu merasakan kasih sayang Bapak, bukan tekanan atau tuntutan. Kalau Bapak ingin hubungan itu terjalin lagi, cobalah pendekatan yang lebih lembut. Jangan memaksa.”
Pak Sadar terdiam, merenungkan kata-kata istrinya. Ia tahu, apa yang dikatakan benar. Namun, rasa sakit dan amarah di dalam dirinya terlalu besar untuk diabaikan. “Aku hanya ingin Momon tahu… aku menyesal telah meninggalkannya dulu.”
“Jika Bapak benar-benar menyesal, tunjukkan dengan tindakan. Berikan Momon ruang, biarkan dia datang kepada Bapak dengan sendirinya. Dan yang terpenting, jangan biarkan cemburu merusak semuanya. Bapak harus sabar.”
Pak Sadar mengangguk pelan, meskipun hatinya masih bergejolak. “Sabar…” kata itu terasa begitu sulit di tengah badai emosi yang ia rasakan. Tapi, mungkin itu satu-satunya jalan yang tersisa.