Malam itu, hujan turun dengan deras. Angin yang dingin menusuk tulang, membawa suasana yang sunyi dan hampa di sekitar. Kirani duduk termenung di depan jendela rumah kecilnya di pinggiran kota, menatap tetesan air yang menari di kaca. Setiap tetes hujan terasa seolah menyuarakan kerinduannya yang tak tersampaikan, menambah berat beban yang telah lama ia pikul sendiri.
Kirani, seorang ibu muda, telah menjalani hidup yang penuh perjuangan sejak suaminya, Raka, pergi merantau untuk bekerja di luar negeri. Kepergiannya diiringi dengan janji-janji indah: “Aku akan kembali dengan kehidupan yang lebih baik untuk kita, sayang.” Kata-kata itu selalu terngiang di telinga Kirani. Setiap malam, sebelum memejamkan mata, janji itu menjadi penghiburnya, penguat hati saat kesepian merayap. Namun, semakin lama, janji itu terasa semakin samar, seiring berjalannya waktu dan komunikasi mereka yang semakin jarang.
Pada awalnya, mereka rutin berkomunikasi. Raka sering menelepon, menyampaikan kabar baik tentang pekerjaannya dan rencana untuk pulang dalam beberapa bulan. Kirani selalu antusias mendengarnya, membayangkan hari di mana suaminya akan pulang membawa kebahagiaan dan mengakhiri kerinduannya. Namun, seiring waktu berlalu, panggilan telepon dari Raka semakin berkurang. Dari yang tadinya setiap hari, menjadi seminggu sekali, lalu sebulan sekali, hingga akhirnya hanya menjadi pesan singkat yang terkadang tak dibalas selama berminggu-minggu.
Rasa khawatir mulai merasuki hati Kirani. Apakah Raka masih sehat? Apakah ia baik-baik saja di negeri orang? Setiap kali ia mencoba bertanya, jawabannya selalu sama, “Aku sibuk, nanti kita bicara lagi.” Namun, di balik kata-kata itu, Kirani merasakan jarak yang semakin melebar, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.
Kirani tahu bahwa hidup tidak bisa hanya diisi dengan menunggu. Setiap hari ia bangun pagi, menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya yang masih kecil, lalu mengantar mereka ke sekolah. Setelah itu, ia bekerja sebagai buruh cuci di rumah-rumah tetangganya untuk menghidupi keluarga. Upah yang ia terima sering kali tak cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Namun, Kirani tetap bertahan, meski hatinya semakin gundah.
Hidup Kirani kini tidak lagi diisi oleh cinta dan kebahagiaan, melainkan kesibukan yang tak berujung. Setiap malam, setelah anak-anaknya terlelap, Kirani kembali duduk di depan jendela, mengingat-ingat saat-saat indah bersama Raka. Mereka dulu adalah pasangan yang penuh cinta, saling mendukung di kala susah dan senang. Tapi sekarang, cinta itu terasa jauh, seakan hanya bayangan masa lalu yang mulai memudar. Kirani bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah aku bisa terus bertahan seperti ini? Apakah Raka akan benar-benar kembali?”
Hujan semakin deras, mengiringi gemuruh pikirannya. Kirani mulai meragukan harapan yang selama ini ia pegang erat. Harapan bahwa suaminya akan kembali membawa kebahagiaan seolah hanya sebuah ilusi yang kian pudar. Sementara kenyataan di depannya begitu jelas: ia harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi anak-anaknya. Ia harus menjadi ibu sekaligus ayah bagi mereka, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Raka.
Di tengah kebingungan dan kesedihan, Kirani mulai menyadari sesuatu. Selama ini, ia terlalu bergantung pada janji yang tak pasti. Ia menggantungkan hidupnya pada harapan yang semakin lama semakin tidak nyata. “Aku harus melakukan sesuatu,” bisik hatinya. Harapan memang penting, tapi harapan saja tidak cukup untuk mengisi perut anak-anaknya atau membayar kebutuhan sehari-hari. Kirani sadar, ia tidak bisa hanya menunggu dan berharap. Ia harus bergerak.
Keputusan itu membuat hatinya terasa lebih ringan. Keesokan harinya, Kirani bangun dengan tekad yang baru. Ia mendengar kabar bahwa di desa seberang sedang diadakan kursus menjahit untuk para wanita. Meski tidak punya pengalaman, Kirani memutuskan untuk ikut. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang bisa membawanya pada perubahan. Dengan penuh semangat, ia mendaftar dan mulai belajar dari awal.
Hari-hari pertama di kursus tidak mudah bagi Kirani. Ia sering merasa frustasi saat jarum jahitannya tidak bekerja dengan benar atau ketika potongan kainnya tidak simetris. Namun, ia tidak menyerah. Setiap malam setelah anak-anaknya tidur, Kirani berlatih sendiri di rumah. Ia terus berusaha, meski tangannya lecet dan matanya lelah. Kirani tahu, ini adalah jalan yang harus ia tempuh untuk masa depan yang lebih baik.
Setelah beberapa bulan belajar, Kirani akhirnya mulai mahir. Ia mampu menjahit pakaian dengan rapi dan mulai menerima pesanan dari tetangga dan teman-temannya. Dari situlah, ia memulai usaha kecil-kecilan di rumah. Meski penghasilannya belum besar, Kirani merasa bangga karena ia tidak lagi hanya mengandalkan upah dari buruh cuci. Ia memiliki keterampilan baru yang memberinya harapan baru.
Dengan setiap jahitan yang ia buat, Kirani semakin yakin bahwa hidupnya kini berada di tangannya sendiri. Ia tidak lagi hanya menunggu kabar dari Raka. Harapannya pada suaminya mungkin masih ada, tapi harapan itu kini bukan lagi satu-satunya hal yang ia andalkan. Kirani telah menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri untuk bertahan dan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Waktu terus berlalu. Hidup Kirani perlahan tapi pasti berubah. Meski suaminya belum kembali, Kirani tidak lagi merasa terjebak dalam penantian yang tak pasti. Ia telah menciptakan kebahagiaan dari perjuangannya sendiri, kebahagiaan yang lahir dari kerja keras dan keberaniannya untuk berubah. Kirani menyadari, harapan yang dulunya hanya angan-angan kini telah menjadi kekuatan yang nyata dalam hidupnya.
Malam itu, ketika hujan turun dengan deras, Kirani kembali duduk di depan jendela. Tapi kali ini, pikirannya tidak lagi dipenuhi dengan keraguan dan kesedihan. Ia tersenyum sambil memandang ke luar, menatap masa depan dengan penuh keyakinan. Kini, ia tahu bahwa hidup tidak hanya soal menunggu. Hidup adalah soal berjuang, dan Kirani telah menjadi pemenangnya.