Pagi itu, mentari bersinar cerah di balik gedung-gedung pencakar langit. Fajar, seorang pegawai di sebuah perusahaan ternama di kota metropolitan, sedang memandangi jalanan kota yang sibuk dari jendela kantornya. Kesibukan di luar seolah mencerminkan hidupnya yang juga dipenuhi hiruk-pikuk kesuksesan. Ia merasa telah meraih banyak hal; karier cemerlang, rumah mewah, dan istri yang setia, Aisyah, yang selalu menemaninya sejak masa-masa sulit dahulu.
Pernikahan mereka dulu adalah impian yang dinantikan. Di bawah langit biru dan di hadapan janji sakral, Fajar dan Aisyah bersumpah untuk selalu setia, saling menjaga dalam suka dan duka. Kehidupan rumah tangga mereka awalnya berjalan harmonis, penuh canda dan tawa. Setiap pagi, aroma kopi hangat buatan Aisyah selalu menjadi penghibur bagi Fajar yang hendak berangkat kerja. Kehidupan terasa sempurna.
Namun, roda kehidupan tak selamanya mulus. Ketika karier Fajar menanjak dan tuntutan pekerjaan semakin besar, ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah. Pergaulannya pun meluas, dan tanpa disadari, seorang wanita bernama Maya masuk ke dalam hidupnya. Maya adalah rekan kerjanya, cantik, cerdas, dan selalu hadir di saat Fajar merasa lelah dengan rutinitas. Perasaan Fajar mulai goyah. Ia mulai membandingkan Maya dengan Aisyah, yang kini sering ia anggap membosankan dengan rutinitas rumah tangga yang monoton.
Hubungan Fajar dengan Maya semakin dekat. Meskipun hatinya sesekali merasa bersalah, godaan untuk berselingkuh semakin kuat. Aisyah yang awalnya tidak curiga, mulai merasakan perubahan sikap suaminya. Fajar tak lagi pulang tepat waktu, tak ada lagi obrolan hangat di meja makan, dan pelukan hangat di penghujung hari terasa semakin jauh.
Pada suatu malam, saat Aisyah mencoba berbicara dengan lembut, Fajar justru meledak dalam kemarahan tanpa alasan yang jelas. “Aku lelah, jangan ganggu aku dengan hal-hal kecil!” bentaknya.
Malam itu, Aisyah menangis dalam kesunyian. Doa-doa terucap dari bibirnya yang gemetar. Ia meminta petunjuk dan kekuatan dari Allah, agar keluarganya tidak hancur. Sebagai seorang istri, ia terus berusaha sabar dan menjaga rumah tangganya.
Suatu malam, setelah berbulan-bulan hidup dalam kebingungan, Fajar terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin. Dalam mimpinya, ia melihat Aisyah menangis sendirian di tepi jurang, sementara ia berdiri di sisi lain bersama Maya. Bayangan itu membuatnya takut. Ia mulai tersadar, Maya hanyalah godaan sesaat, sedangkan Aisyah adalah wanita yang setia menemaninya sejak awal, berjuang bersamanya dalam suka dan duka. Hatinya tersentak. Bagaimana mungkin ia bisa mengkhianati wanita yang begitu tulus mencintainya?
Di tengah kegundahannya, Fajar teringat akan pesan Rasulullah SAW: “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. At-Tirmidzi). Juga firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan bergaullah dengan mereka (istri-istrimu) secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19).
Kalimat itu terngiang-ngiang di pikirannya. Fajar mulai menyadari bahwa keluarganya adalah harta paling berharga. Dalam Islam, berbuat baik kepada istri adalah bentuk ibadah. Ia menyesal telah jauh dari kebenaran, telah terbuai dengan gemerlap dunia yang fana. Hatinya berbisik, ia harus kembali.
Esok paginya, dengan tekad bulat, Fajar meminta izin dari kantor untuk cuti beberapa hari. Ia ingin memperbaiki rumah tangganya. Sesampainya di rumah, Fajar langsung memeluk Aisyah erat. Air matanya mengalir deras.
“Maafkan aku, Aisyah. Aku telah salah. Aku telah lalai menjaga keutuhan rumah tangga kita. Aku telah melupakan betapa berharganya dirimu. Izinkan aku memperbaiki semuanya.”
Aisyah yang terkejut mendengar pengakuan suaminya, hanya bisa terisak. Doanya selama ini telah dijawab. Hatinya lega, tetapi ia juga tahu bahwa ini bukanlah akhir dari perjuangan. Mereka harus bersama-sama membangun kembali kepercayaan dan cinta yang sempat hilang.
Fajar perlahan-lahan mulai mengubah sikapnya. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama Aisyah, saling berbagi cerita, seperti masa-masa awal pernikahan mereka. Mereka sering pergi ke masjid bersama, memperdalam ilmu agama, dan mengisi waktu dengan hal-hal bermanfaat. Fajar juga memperbaiki hubungannya dengan Allah, berusaha menjadi suami dan ayah yang baik, sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
Kehidupan rumah tangga mereka pun kembali tenang. Dalam doanya, Fajar selalu bersyukur kepada Allah SWT atas hidayah yang diberikan. Allah telah menyelamatkan keluarganya dari kehancuran, dan kini ia bertekad untuk menjaga cinta itu sepenuh jiwa.
Kini, di setiap pagi, Aisyah kembali menyuguhkan secangkir kopi hangat. Fajar tersenyum bahagia, menikmati momen-momen sederhana yang dulu pernah ia abaikan. Dalam hatinya, ia yakin bahwa keluarga adalah anugerah terindah dari Allah, dan cinta sejati adalah yang dirawat dengan iman dan kasih sayang
Baguss bangett karya pak Nurhadi
Terima kasih
Semangat literasi & Berkarya ya Deky
cerpen ini bbbbbbbbbbbaaaaaaaaaaaaaaaaaaggggggggggggggggggggussssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssss
Terima kasih Wisnu…