Yusuf, seorang anak kelas 7 MTS di daerah Lampung Selatan, dikenal sebagai anak yang pendiam, tetapi selalu ramah dengan senyum manisnya. Suatu pagi, saat bersiap untuk berangkat sekolah, ia berbicara dengan ayahnya yang sedang sibuk menyiapkan motornya di halaman rumah.
“Pak, kalau Yusuf sudah besar nanti, Yusuf mau ajak Bapak sama Mamah pergi naik haji,” ucap Yusuf polos namun penuh harapan.
Ayahnya menoleh, menatap anak lelakinya dengan lembut, lalu tersenyum tipis. “Iya, Suf. Tapi kamu harus sekolah yang tinggi dulu, ya. Sekolah yang rajin, belajar yang giat,” balas ayahnya dengan suara pelan namun penuh keyakinan.
Yusuf mengangguk penuh semangat. “Iya, Pak. Yusuf janji akan rajin sekolah dan belajar.”
Setelah itu, mereka berangkat. Di sepanjang perjalanan, Yusuf terlihat sangat ceria, seakan dunia di sekelilingnya begitu indah. Senyum tak lepas dari wajahnya, dan ayahnya hanya bisa tersenyum sambil mengendarai motor. Setelah mengantar Yusuf ke sekolah, seperti biasa, ayahnya melanjutkan perjalanan ke pasar untuk bekerja.
Namun, hari itu, ada yang berbeda. Ayah Yusuf tampak sedikit termenung saat kembali ke rumah. Setelah melepas lelah di sofa, ia memandang kosong ke arah jendela, pikirannya jauh melayang. Ibu Yusuf yang menyadari kegelisahan suaminya pun menghampiri.
“Bapak, kenapa? Kok kelihatannya banyak pikiran?” tanya ibu dengan nada penuh perhatian.
Ayah Yusuf menghela napas pelan. “Enggak, Bu. Bapak cuma kepikiran omongan Yusuf tadi pagi.”
Ibu Yusuf mengerutkan dahi, penasaran. “Emang tadi pagi Yusuf bilang apa?”
“Dia bilang, kalau sudah besar nanti, dia mau ajak kita naik haji,” jawab ayahnya, suaranya mulai melemah. “Bapak takut, kalau saat dia sudah sukses nanti, Bapak enggak ada.”
Ibu Yusuf segera menenangkan suaminya dengan nada tegas namun lembut. “Hush, jangan ngomong gitu, Pak. Jangan dipikirin yang berat-berat. Doa saja, semoga umur kita panjang dan keluarga kita selalu sehat.”
Ayah Yusuf tersenyum tipis, meski bayang-bayang kekhawatiran masih menghantui pikirannya. Namun, mendengar kata-kata istrinya membuat hatinya sedikit lebih tenang.
Hari berganti, dan rutinitas berjalan seperti biasa. Hingga suatu hari, saat Ayah Yusuf pergi bekerja, kondisinya tampak berbeda. Ia tampak pucat dan lemas, namun tetap memaksakan diri bekerja. Salah satu temannya memperhatikannya dan bertanya.
“Kamu sehat, Pak?” tanya temannya dengan nada khawatir.
“Enggak apa-apa, cuma agak lemes,” jawab Ayah Yusuf sambil berusaha tersenyum.
“Kalau sakit, pulang aja. Enggak usah dipaksain,” saran temannya lagi.
Namun, Ayah Yusuf menggeleng. “Enggak papa, kok. Saya masih bisa kerja.”
Sepulang kerja, kondisi Ayah Yusuf semakin memburuk. Wajahnya pucat pasi, dan tenaganya seakan habis. Ibu Yusuf yang melihat keadaan suaminya langsung panik. “Pak, Bapak kenapa? Kok pucat banget?” tanyanya cemas, namun sebelum suaminya sempat menjawab, ia tiba-tiba jatuh pingsan.
Tanpa berpikir panjang, Ibu Yusuf segera meminta bantuan tetangga untuk membawa suaminya ke rumah sakit. Namun, sesampainya di sana, mereka diperlakukan dengan kurang baik. Ayah Yusuf dipindah-pindahkan dari satu ruangan ke ruangan lain tanpa alat bantu yang memadai. Ibu Yusuf dan paman Yusuf harus menggendongnya sendiri.
Akhirnya, Ayah Yusuf ditempatkan di ruang ICU. Nafasnya tersengal-sengal, dengan tambahan oksigen yang terpasang di hidungnya. Darah mulai terlihat di bajunya. Ibu Yusuf hanya bisa duduk di sampingnya, berdoa dalam hati.
“Ya Allah, sembuhkanlah suamiku…” lirihnya sambil menahan tangis.
Sementara itu, di rumah, Yusuf yang sedang tertidur, terbangun oleh suara telepon dari ibunya.
“Bu, ayah sama ibu di mana?” tanya Yusuf, masih setengah terbangun.
Di ujung telepon, suara ibunya terdengar lelah. “Nak, ayah di rumah sakit. Sedang dirawat.”
Yusuf yang polos hanya bisa merespon dengan doa. “Yusuf doain biar ayah cepat sembuh, ya, Bu.”
“Iya, Nak. Kamu jaga rumah dulu, ya. Kalau mau makan, minta sama om atau bibi,” pesan ibunya sebelum menutup telepon.
Di rumah sakit, Ayah Yusuf mulai sadar dari pingsannya, meskipun kondisinya masih lemah. Ia berusaha mengumpulkan tenaga untuk berbicara kepada istrinya.
“Bu… jagain Yusuf baik-baik, ya… kasih dia teman,” ucapnya lirih.
Ibu Yusuf menahan isak. “Iya, Pak. Bapak harus kuat, ya. Nanti kita pulang bareng.”
Ayah Yusuf tersenyum kecil, namun suaranya semakin lemah. “Kalau nanti Bapak sudah enggak ada… sampaikan ke Yusuf, dia harus wujudkan impiannya.”
Ibu Yusuf menangis, menahan perasaan yang campur aduk. “Iya, Pak… Bapak jangan ngomong begitu…” Tapi Ayah Yusuf hanya terus mengucapkan istigfar hingga akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.
Tangis Ibu Yusuf pecah. Ia menjerit dalam kesedihan, hingga suaranya terdengar sampai ke ruangan lain. Dalam kondisi hancur, ia menelepon Yusuf yang masih tertidur di rumah.
“Nak…” suaranya serak.
Yusuf, yang baru terbangun, segera merespons. “Kenapa, Bu? Apa Ayah sudah sadar? Yusuf mau ke sana lihat ayah.”
Dengan suara berat dan penuh air mata, Ibu Yusuf akhirnya berkata, “Nak… Ayah sudah enggak ada.”
Mendengar kabar itu, dunia seakan runtuh bagi Yusuf. Ponsel yang dipegangnya terjatuh, dan ia menangis terisak-isak. Tetangga yang datang hanya bisa menenangkannya, tapi Yusuf terus menangis, mengulang-ulang kata yang memilukan, “Bapak sudah enggak ada…”
Terus berkarya, ya. Mungkin bisa mulai belajar pakai alur flash back supaya lebih menantang..
cerpen nya bagus
cita cita Yusuf untuk memberangkatkan haji ayah nya,
Semangat terus untuk berkarya anak hebat👍👍👍