Agil, Daus, dan Rasya adalah tiga siswa SMK Negeri 2 Kalianda. Meskipun berbeda latar belakang, mereka selalu tampak bersama. Agil, putra pengusaha sukses di kota, seringkali boros tanpa berpikir panjang. Daus, yang keluarganya tak seberapa mampu, sering punya banyak keinginan yang kerap kali tak bisa diwujudkan. Sementara Rasya, sosok sederhana, menganggap hidup apa adanya adalah pilihan paling nyaman.
Namun, satu kesamaan mengikat mereka, ketertarikan terhadap segala hal yang bisa mendatangkan uang dengan cepat. Agil pernah tergoda judi online, “Hanya untuk hiburan,” katanya, meski sekali kalah bisa langsung menghabiskan uang sakunya dalam semalam. Daus, yang terobsesi ingin punya handphone baru, tertarik pada pinjaman online. “Nggak bakal telat bayar kok,” ujarnya meyakinkan diri. Sementara Rasya, meski jarang tergiur, kadang ikut-ikutan main game online demi melupakan rasa ‘iri’ melihat teman-temannya punya barang-barang keren.
Semua itu berubah ketika mereka diundang dalam sebuah pelatihan literasi keuangan di sekolah.
“Buat apa repot-repot catat pengeluaran?” Agil sempat protes. Namun, pemateri literasi keuangan yang mengisi sesi, Pak Indra, punya cara khusus yang menyadarkan mereka. Ia membuka dengan kisah nyata seorang anak muda yang terjebak utang pinjol hingga rumah orang tuanya hampir disita. Semua yang hadir diam membeku, termasuk Agil, Daus, dan Rasya.
Di sela sesi, Pak Indra memberikan permainan kecil, masing-masing siswa diberi uang ‘pura-pura’ dan diminta mencatat setiap pengeluaran dalam satu hari kegiatan. Agil mencatat dengan asal-asalan, Daus mencatat setiap pengeluaran sambil mengeluh, sedangkan Rasya tampak paling tertarik mencatat dengan cermat. Namun di akhir hari, ketika mereka harus menghitung total pengeluaran, Agil tampak bingung ke mana saja uangnya pergi, sementara Rasya justru berhasil ‘menghemat’ dan punya sisa yang cukup banyak.
“Coba deh lo catat semua pengeluaran, Gil,” usul Rasya sambil melirik lembaran catatan yang diabaikan temannya itu. “Ternyata uang tuh kayak air, bisa cepat banget habis.”
Sore itu, Agil pulang dengan pikiran kacau. Ia membayangkan betapa seringnya ia menghabiskan uang tanpa berpikir panjang. Di rumah, ibunya sempat menyinggung soal pembelanjaan bulanan yang berlebihan. “Agil, kita harus belajar menghargai setiap rupiah,” ujar ibunya dengan nada lembut namun tegas.
Di sisi lain, Daus dihadapkan pada kenyataan pahit. Satu pesan WhatsApp mengganggunya: “Mohon segera lunasi pinjaman Anda.” Ia tahu, jika ia tak segera melunasinya, akan ada bunga yang tak terbayangkan. Saat itulah ia sadar, hidup dengan gaya impulsif hanya akan membebaninya lebih dalam.
Keesokan harinya, mereka bertiga kembali bertemu di kelas dengan wajah berbeda. Pelatihan literasi keuangan benar-benar mengubah mereka menjadi ‘melek uang’, bahkan dalam obrolan kecil di kantin sekolah. Mereka mulai membicarakan rencana menabung, membuat anggaran sederhana, bahkan mulai membahas cara-cara membantu keluarga. Mereka mulai belajar menghargai uang saku dari orang tua, uang yang sebelumnya dianggap enteng.
Agil, kini yang paling bersemangat mencatat pengeluaran, bahkan bercanda pada teman-teman, “Mungkin nanti gue jadi bendahara kelas, nih!” Sementara Daus mulai berpikir untuk tidak lagi tergiur pinjaman online, dan Rasya bahkan mulai menawarkan bantuan kepada temannya yang ingin belajar menabung.
Namun, jalan mereka tidak selalu mulus. Agil mendapat ejekan dari beberapa teman karena sikap hemat barunya, sementara Daus dihadapkan pada keluarga yang masih kesulitan keuangan. Konflik di antara mereka kian menantang, seperti hidup yang kadang terasa terlalu cepat berubah. Akan tetapi, setiap kali mereka hampir menyerah, mereka teringat akan satu pesan dari Pak Indra: “Jangan sampai uang jadi raja di hidup kalian. Jadilah tuan bagi uang kalian sendiri.”
Malam itu, di sebuah percakapan grup, Agil mengirim pesan, “Gue udah mutusin. Mulai besok, kita bikin catatan keuangan harian, mingguan, bulanan. Setuju?”
Daus membalas, “Gue dukung. Kita bisa belajar dari sekarang biar nggak cuma bisa menghabiskan uang.”
Rasya menambahkan, “Dan ingat, kita nggak sekadar ngatur uang buat diri sendiri. Kita punya keluarga yang butuh kita juga.”
Beberapa minggu setelah pelatihan literasi keuangan itu, perubahan mulai tampak pada Agil, Daus, dan Rasya. Namun, tidak semua orang menyukai perubahan mereka.
Agil, yang dulu dikenal suka mentraktir dan royal, sekarang mulai dihina beberapa temannya. “Sok hemat, mentang-mentang ikut pelatihan, padahal kemarin-kemarin suka jajanin kita terus,” ejek Bayu, teman sebangkunya. Agil hanya tersenyum kecut. Dia tahu, mempertahankan niat baik seringkali lebih sulit daripada memulainya.
Di lain sisi, Daus menghadapi masalah yang lebih pelik. Adiknya yang baru masuk sekolah dasar membutuhkan buku dan seragam baru. “Bang, kapan bisa bantuin beli buku untuk adik?” tanya ibunya suatu malam. Daus merasa terhimpit, apalagi uang sakunya pas-pasan. Ketika ia menceritakan masalah ini pada Rasya, temannya itu memberikan ide yang bijak.
“Mungkin lo bisa mulai cari kerja sambilan. Nggak perlu banyak, asal bisa bantuin ibu sedikit-sedikit,” usul Rasya. Daus menyetujuinya dengan berat hati, namun ia sadar, ini adalah pilihan yang lebih baik daripada meminjam uang dari pinjaman online lagi.
Akhirnya, dengan bantuan Rasya, Daus mendapat pekerjaan kecil sebagai kurir paruh waktu di sebuah toko sembako lokal. Meski gajinya tak besar, dia merasa bangga karena bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit untuk kebutuhan keluarganya. Namun, ini bukan tanpa rintangan. Daus sering kali pulang larut malam, membuat nilai sekolahnya turun drastis. Guru-guru mulai memanggilnya, mengingatkan agar ia tetap fokus pada akademik.
Sementara itu, Rasya yang tampaknya paling stabil di antara mereka juga mulai merasakan kesulitan. Suatu hari, ia menerima kabar bahwa ibunya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Meski keluarganya tidak berkecukupan, Rasya selalu mengandalkan rasa syukurnya untuk menjalani hidup dengan sederhana. Tapi kali ini, rasa syukur saja tak cukup.
Di rumah sakit, Rasya berdiskusi dengan ayahnya, “Kita bisa jual motor, Pak. Yang penting, Ibu bisa dirawat dengan baik.” Sang ayah mengangguk berat. Keputusan itu bukan hal yang mudah, tapi bagi Rasya, keluarganya selalu di atas segalanya.
Kisah mereka bertiga terus bersinggungan. Melihat perjuangan teman-temannya, Agil tersadar bahwa ia juga harus lebih dari sekadar mencatat pengeluaran. Agil ingin menggunakan uangnya untuk hal-hal yang lebih bermakna. Perlahan, ia mulai menyisihkan sebagian uang sakunya untuk membantu kegiatan amal di sekolah. Dari sanalah, ia bertemu sosok Siska, ketua OSIS yang penuh dedikasi. Dengan senyum lembut, Siska berkata, “Kamu tahu, Agil? Sebenarnya uang itu berharga kalau kita tahu cara mempergunakannya. Aku salut melihat perubahan kamu sekarang.”
Ucapan Siska semakin menguatkan tekad Agil. Hari demi hari, ia belajar menyusun rencana keuangan lebih baik, mengatur pemasukan dan pengeluaran, bahkan mencatat donasi-donasi yang ia berikan.
Sementara itu, Daus yang semakin giat bekerja paruh waktu mulai mengalami kendala di keluarganya sendiri. Orang tuanya tidak tahu jika pekerjaan sampingannya kadang membuatnya pulang lebih malam dari biasanya. Suatu malam, ia dimarahi oleh ayahnya karena pulang terlambat.
“Daus, kamu ini sekolah atau kerja? Mau jadi apa kamu kalau nilai kamu terus turun?” suara ayahnya membelah kesunyian malam. Daus menunduk, tidak ingin mengadu bahwa pekerjaan ini ia lakukan demi membantu keluarga.
Malam itu, ia mencurahkan isi hatinya pada Rasya dan Agil di grup WhatsApp mereka.
“Kalian tahu nggak, gue hampir putus asa. Orang tua nggak ngerti kenapa gue kerja. Mereka cuma lihat nilai gue turun,” curhat Daus.
Agil mencoba menguatkan, “Gue ngerti rasanya. Mungkin sekarang mereka belum paham, tapi suatu hari nanti mereka pasti mengerti.”
Di sisi lain, Rasya tetap memberikan dukungan dan solusi-solusi praktis, seperti selalu dia lakukan. “Yang penting kita masih punya tekad dan niat baik. Mungkin lo bisa mulai atur waktu kerja dan belajar lebih ketat lagi, Daus. Biar sekolah tetap jalan, tapi lo juga bisa bantu keluarga.”
Lambat laun, perjuangan mereka membuahkan hasil. Mereka mulai terampil membuat catatan keuangan yang rapi, mereka benar-benar sudah ‘melek uang’. Tak hanya untuk pengeluaran harian, kini mereka juga punya catatan bulanan, bahkan mereka kini berani bermimpi tentang masa depan tentang usaha kecil yang ingin mereka bangun bersama.
Seorang bapak memberi permainan kecil kepada ank kcil itu…
Mereka mulai belajar menghargai uang saku dari orang tua, uang yang sebelumnya dianggap enteng.