Setelah dua hari menikmati liburan singkat di Majalengka, Pak Mamay dan Frans akhirnya kembali ke Jakarta. Mereka berdua tampak lebih rileks setelah waktu yang menyenangkan di pegunungan, meskipun bayangan kasus penculikan Frans masih membayangi.
Pagi itu ke Polres Jakarta Selatan, udara Jakarta terasa lembab. Di dalam mobil, Frans duduk di antara Pak Sidjabat dan Bu Ratih. Pak Mamay duduk di depan, diam-diam memperhatikan suasana hati Frans melalui kaca spion. Meskipun Frans berusaha bersikap tenang, ada kegugupan di wajahnya yang tak bisa ia sembunyikan. Hari ini, mereka semua akan menuju Polres untuk memberikan keterangan terkait penculikan yang dialami Frans.
“Frans, kamu siap, Nak?” tanya Bu Ratih lembut, mencoba menenangkan putranya.
Frans mengangguk, meski hatinya belum sepenuhnya tenang. “Siap, Bu. Tapi… Frans masih bingung kenapa semua ini harus terjadi sama Frans.”
Pak Sidjabat menggenggam tangan Frans dengan erat. “Kamu kuat, Frans. Semua ini hanya sementara. Papa dan Ibu akan selalu ada di sini untuk mendukungmu.”
Frans menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. “Iya, Pa. Frans tahu. Terima kasih.”
********
Sesampainya di Polres, mereka langsung diarahkan ke sebuah ruangan di mana mereka akan dimintai keterangan oleh penyidik. Saat mereka masuk ke ruangan tersebut, suasana terasa kaku dan tegang. Di tengah ruangan, terlihat Pak Sadar duduk dengan kepala tertunduk, dikelilingi oleh beberapa petugas polisi. Wajahnya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang lain dalam tatapan matanya sesuatu yang belum pernah Frans lihat sebelumnya.
Pak Sadar mendongak saat mendengar langkah kaki mereka memasuki ruangan. Matanya membelalak saat melihat sosok Bu Ratih yang berdiri di samping Frans. Perlahan, mulutnya membuka, dan dari bibirnya keluar suara yang hampir tidak terdengar, “Ratih…”
Suasana ruangan tiba-tiba berubah. Bu Ratih, yang awalnya tenang, tampak terkejut mendengar nama itu keluar dari mulut Pak Sadar. Ia memandangi pria di depannya dengan penuh keheranan, lalu berkata pelan, “Mas Pungky?”
Pak Sidjabat tertegun. Ia memandang istrinya, lalu ke arah Pak Sadar, yang tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Pungky? Pungky mantan suami, Ratih?” tanya Pak Sidjabat dengan nada serius, kebingungan mulai melingkupi pikirannya. Jadi Pak Sadar itu Pungky ?
Bu Ratih berusaha menguasai dirinya sebelum menjawab. “Mas Pungky… itu nama Sadar Purwanto. Laki laki yang pernah menikahi siri di Lampung mas, tapi…” Suaranya tiba-tiba melemah.
Frans, yang sejak tadi berdiri di samping ibunya, langsung tersentak. “Jadi… jadi Pak Sadar itu Pak Pungky?” Suaranya bergetar. “Dan Pak Pungky itu… ayah kandungku? Yang selama ini saya cari, dan akhrnya menculik dan menyiksa saya?”
Semua orang di ruangan seakan membeku. Mata Frans terus berpindah-pindah antara Pak Sadar dan Bu Ratih. Hatinya berdebar kencang, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Pak Mamay, yang berdiri di belakang Frans, merasakan ketegangan itu. Dia segera meletakkan tangannya di bahu Frans, mencoba menenangkan anak itu. “Tenang, Frans. Kita semua akan cari tahu kebenarannya dengan kepala dingin.”
Namun Frans tak bisa lagi menahan emosinya. “Jadi selama ini… orang yang menculik aku… adalah ayah kandungku sendiri?!” Pekiknya keras, membuat semua orang di ruangan tersentak. “Kenapa?! Kenapa semua ini harus terjadi?!”
Pak Sidjabat tampak terguncang. Ia tidak pernah menduga bahwa masa lalu istrinya akan kembali menghantui mereka seperti ini. Sambil memandang Bu Ratih dengan tatapan penuh pertanyaan, ia bertanya, “Ratih, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini?”
Bu Ratih menundukkan kepalanya, suaranya bergetar saat ia mulai bercerita. “Mas..saya tidak tahu kalau pak sadar adalah pungky, dulu aku menikah siri dengan Pungky di Lampung pejabat dari Jakarta. Tapi pernikahan kami tidak berlangsung lama. Pungky… Mas Pungky meninggalkan aku dan Frans tanpa pesan. Akhirnya aku pergi, membawa Frans ke desa lain untuk mencari nafkah. Sejak itu, aku tak pernah ketemu lagi.”
Frans masih berdiri mematung, tak bisa menerima kenyataan yang dihadapinya. “Jadi… semua ini karena masa lalu yang ibu sembunyikan? Frans di culik karena apa, bu..pak sadar, pak sadar pelatih tenis saya?”
Pak Sadar, yang sedari tadi diam, akhirnya membuka mulut. “Aku nggak pernah berniat nyakitin kamu, Frans,” katanya dengan suara serak. “Aku hanya ingin bertemu dengan anakku… Tapi aku… aku nggak tahu caranya. Dan kamu selalu menolak kalau aku bilang , kamu anak ku, Aku melakukan hal bodoh… karena aku merasa terdesak.”
“Kau menyebut itu ‘tidak berniat menyakiti’?” Frans membalas dengan penuh amarah. “Kau menculikku, memukuliku… Apa itu yang kau sebut cinta seorang ayah?”
Pak Sadar tertunduk, tak bisa menjawab. Air matanya jatuh perlahan ke lantai, sementara suasana ruangan semakin mencekam.
Pak Sidjabat, yang sejak tadi berusaha menahan emosinya, akhirnya meledak. “Jadi ini semua karena kau, Sadar?” katanya dengan nada penuh kemarahan. “Kau menghancurkan hidup anakku… dan sekarang kau ingin dia memaafkanmu begitu saja? Apa kau tahu betapa trauma yang kau berikan padanya?”
Polisi yang berada di ruangan itu mulai mendekat, mencoba menenangkan situasi. “Bapak-bapak, tolong tenang. Kita semua akan menyelesaikan ini sesuai dengan prosedur hukum,” kata salah satu petugas.
Frans, yang merasa seluruh dunia di sekelilingnya runtuh, memandang ke arah Pak Mamay yang masih berdiri di sampingnya. “Pak… Frans nggak tahu lagi harus gimana… Kenapa semua ini terjadi sama Frans?”
Pak Mamay menarik Frans ke dalam pelukannya, menenangkan anak itu yang mulai menangis. “Frans, tenanglah. Kamu nggak sendiri. Papa, Ibu, dan semua orang yang sayang sama kamu ada di sini. Kita akan hadapi ini bersama-sama.”
Bu Ratih, yang juga mulai menangis, berjalan mendekati Frans. “Nak, Ibu minta maaf. Semua ini salah Ibu. Ibu seharusnya lebih terbuka sama kamu.”
Frans tak bisa berkata apa-apa lagi. Di pelukan Pak Mamay, ia hanya bisa menangis, membiarkan semua emosi yang terpendam selama ini tumpah.
Pak Sidjabat menarik napas panjang, berusaha mengendalikan dirinya. Ia menatap Pak Sadar dengan penuh kebencian, namun juga dengan rasa kasihan. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Sadar. Tapi satu hal yang pasti, Frans akan tetap jadi anakku. Kau sudah kehilangan hakmu sebagai ayah.”
Pak Sadar hanya bisa menunduk dalam diam, menyesali semua kesalahannya.
***************
Suasana di ruangan Polres itu semakin mencekam. Hening hanya dipecahkan oleh isak tangis Frans yang tak lagi bisa membendung emosinya. Mata Frans yang basah beralih dari Pak Sadar ke Pak Sidjabat, lalu kembali lagi. Kebingungan masih menghantui pikirannya. Namun, satu hal yang pasti ia tak mau lagi merasakan sakit yang sama.
Dengan perlahan, Frans mendekati Pak Sidjabat, tatapannya penuh keyakinan. Tanpa banyak kata, ia memeluk pria itu dengan erat, seolah mencari perlindungan dari semua hal buruk yang telah menimpanya. “Papa… Frans nggak mau punya ayah yang menculik dan menyakiti Frans,” ucapnya pelan, tapi jelas.
Pak Sidjabat membalas pelukan itu dengan penuh kasih sayang. Air mata yang tadinya ia tahan, kini mulai jatuh satu per satu. “Frans, Papa janji, kamu nggak akan pernah merasa sendiri lagi. Papa akan selalu ada untuk kamu, nak.” Suaranya terdengar tegas, namun penuh emosi. Dia tahu bahwa Frans butuh kepastian, butuh rasa aman yang selama ini terenggut darinya.
Di sudut ruangan, Pak Sadar duduk dengan kepala tertunduk. Matanya penuh dengan penyesalan, meskipun kata-kata yang ingin diucapkannya terjebak dalam tenggorokannya. Ia tahu, tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah masa lalu. Semua yang terjadi, adalah hasil dari keputusannya sendiri. Dia menatap Frans dengan tatapan penuh rasa bersalah.
“Ayah… maaf, Nak,” katanya akhirnya, suaranya terdengar serak dan hampir tak terdengar. “Ayah sayang kamu. Tapi Ayah salah… Ayah sudah merusak semuanya.”
Frans tidak langsung menanggapi. Ia masih memeluk Pak Sidjabat, mencari kenyamanan di dada pria yang telah ia anggap sebagai ayah sejatinya. Namun, akhirnya ia melepaskan pelukan itu dan berbalik menatap Pak Sadar. Wajah Frans tampak tegas, meskipun ada kilatan emosi yang tak dapat disembunyikan.
“Kamu bilang kamu sayang aku, tapi… apa itu cara seorang ayah menunjukkan cinta? Dengan menculik? Dengan membuat aku ketakutan?” Suara Frans bergetar saat ia berbicara. “Kalau kamu memang sayang, kamu nggak akan lakukan itu. Kamu nggak akan membuat aku merasa seperti ini.”
Pak Sadar terisak, menundukkan kepalanya lebih dalam lagi. “Ayah… Ayah bodoh, Nak. Ayah nggak tahu bagaimana caranya mendekatimu. Semua yang Ayah lakukan… salah.”
Bu Ratih, yang sedari tadi diam, kini mendekat. Wajahnya tak lagi menunjukkan amarah, namun lebih kepada kelelahan emosional setelah bertahun-tahun terpendam. “Sudahlah, Mas Pungky… Nikmati saja hukuman atas kejahatan yang sudah kamu buat. Puluhan tahun kamu meninggalkan aku dan Frans, tanpa kabar, tanpa tanggung jawab. Dan sekarang kamu malah datang dengan cara seperti ini. Kamu kira kami bisa menerimamu begitu saja?”
Pak Sadar tidak menjawab. Ia hanya duduk diam, tubuhnya gemetar karena rasa penyesalan yang begitu dalam.
Pak Sidjabat kemudian melangkah maju, berdiri di hadapan petugas kepolisian yang mengawasi. “Pak, kami sepakat. Pak Sadar harus diproses sesuai hukum. Tidak ada kompromi untuk tindakan seperti ini.”
Petugas polisi yang sedari tadi mengamati situasi akhirnya angkat bicara. “Baik, Pak. Kami akan lanjutkan prosesnya sesuai dengan prosedur. Pak Sadar akan ditahan untuk penyelidikan lebih lanjut.”
Frans melihat petugas yang membawa Pak Sadar keluar ruangan. Ada perasaan aneh yang meliputi hatinya campuran antara kelegaan dan kesedihan. Meski pria itu adalah ayah biologisnya, Frans tak bisa lagi melihatnya sebagai sosok yang ia inginkan dalam hidupnya. Semua sudah terlalu hancur.
Ketika pintu ruangan tertutup, Bu Ratih menghampiri Frans. “Nak, Ibu minta maaf. Ibu nggak pernah cerita soal masa lalu ini karena Ibu pikir semuanya sudah selesai. Ternyata, semua itu masih membayangi kita sampai sekarang.”
Frans menggeleng pelan, mencoba mengumpulkan kekuatannya untuk bicara. “Ibu, Frans ngerti. Mungkin ini memang berat buat Ibu dulu. Tapi Frans hanya ingin kita bisa hidup tenang sekarang. Frans nggak mau lagi ada hal-hal seperti ini.”
Pak Sidjabat, yang mendengar percakapan itu, menambahkan, “Masa lalu mungkin tidak bisa diubah, Frans. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita hidup ke depan. Yang penting, kita semua tetap bersama dan saling mendukung.”
Frans mengangguk, merasakan kehangatan dari kata-kata Pak Sidjabat. Ia tahu, meskipun hidupnya penuh dengan liku-liku, kini ia memiliki keluarga yang mencintainya tanpa syarat
Selesaikan lah semua masalah dengan hati dan pikiran yang tenang karena amarah selalu merusak segalanya