Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh sawah dan hutan, terdapat sebuah rumah kayu sederhana milik Bu Ningsih, seorang wanita paruh baya yang dikenal oleh tetangga-tetangganya sebagai pengrajin sulam kain tapis yang handal. Rumah itu dikelilingi oleh tanaman hias dan bunga-bunga yang bermekaran, menggambarkan kebahagiaan yang dahulu mengisi setiap sudut rumah itu. Namun, hari itu, rumah Bu Ningsih tampak berbeda. Senyumnya yang biasa cerah kini tersamarkan oleh tatapan sedih. Suasana di rumah itu terasa lebih sepi dari biasanya.
“Bu, apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Lina, gadis kecil yang sering membantu Bu Ningsih di rumahnya. Lina, dengan rambut hitam legam dan mata cerah penuh rasa ingin tahu, sudah seperti cucu bagi Bu Ningsih. Ia sering menghabiskan waktu di rumah Bu Ningsih, membantu menyiapkan bahan-bahan sulam dan mendengarkan cerita-cerita lama.
Bu Ningsih menghela napas panjang, menatap keluar jendela ke arah sawah yang hijau membentang. “Lina, hati nenek sedang tidak baik. Ada sesuatu yang merobeknya.”
Lina memperhatikan ekspresi Bu Ningsih dengan cermat. “Kenapa? Apa yang terjadi?” tanyanya dengan lembut, matanya penuh rasa simpati.
Bu Ningsih meraih sebuah bingkai foto dari meja sebelahnya dan menunjukkannya kepada Lina. Dalam foto tersebut, tampak seorang pria muda berdiri di samping Bu Ningsih, tersenyum penuh kebahagiaan. Pria itu adalah suaminya, Pak Ahmad, yang sudah lama meninggal. “Ini foto suami nenek, Pak Ahmad. Beliau sudah lama meninggal, dan kepergiannya membuat hati nenek terasa seperti kain yang robek.”
Lina menatap foto tersebut dengan rasa simpati yang mendalam. “Apakah nenek merasa kesepian?”
Bu Ningsih mengangguk, air mata mulai menggenang di matanya. “Setiap hari, nenek merindukan beliau. Kenangan-kenangan bersama Pak Ahmad sangat berharga, namun kadang-kadang rasanya seperti kehilangan bagian dari diri sendiri.”
Lina berpikir sejenak sebelum ia berkata, “Bagaimana jika kita menyulam hati nenek seperti menyulam kain? Mungkin itu bisa membantu.”
Bu Ningsih tercengang. “Menyulam hati, Lina? Bagaimana caranya?”
Lina mengerutkan dahi, lalu menyarankan, “Kita bisa menyulam bingkai foto ini dengan benang warna-warni. Setiap warna bisa mewakili kenangan indah bersama Pak Ahmad. Dengan begitu, nenek bisa merasakan kehadirannya kembali.”
Bu Ningsih tercenung, kemudian menatap Lina dengan tatapan penuh harapan. “Itu ide yang sangat baik, Lina. Mari kita coba.”
Hari demi hari, Lina dan Bu Ningsih mulai menyulam bingkai foto tersebut. Mereka memilih benang-benang berwarna cerah dan lembut, setiap warna dipilih dengan penuh perhatian dan rasa. Lina, dengan keterampilannya yang semakin baik, menyarankan berbagai pola dan motif. “Bagaimana kalau kita membuat bunga-bunga kecil di sekitar foto ini? Bunga-bunga ini bisa melambangkan kebahagiaan yang kita rasakan bersama Pak Ahmad.”
Bu Ningsih setuju. “Ya, bunga-bunga kecil itu akan sangat indah. Nenek ingat, Pak Ahmad sangat menyukai bunga matahari. Mari kita tambahkan beberapa bunga matahari juga.”
Saat malam tiba dan mereka duduk bersama di meja sulam, Bu Ningsih sering kali bercerita kepada Lina tentang masa lalu. “Pak Ahmad dulu sering membawakan nenek bunga matahari setiap kali beliau pulang dari kebun. Beliau selalu berkata, ‘Bunga ini seperti senyummu, selalu membuat hari-hariku lebih cerah.'”
Lina tersenyum mendengar cerita itu. “Sekarang, bunga matahari ini akan selalu ada di sekitar foto. Setiap kali nenek melihatnya, nenek bisa merasa seperti Pak Ahmad masih ada di sini.”
Suatu sore, saat mereka hampir selesai, Lina bertanya, “Bagaimana rasanya, Bu? Apakah hati nenek terasa lebih baik?”
Bu Ningsih memandang hasil sulaman mereka dengan penuh rasa syukur. Bingkai foto itu kini dikelilingi oleh pola-pola warna-warni yang indah dan penuh makna. “Sangat. Setiap jahitan ini mengingatkan nenek tentang betapa banyaknya cinta yang pernah ada, dan bagaimana kenangan itu selalu hidup dalam hati nenek.”
Dengan senyuman yang tulus, Bu Ningsih merangkul Lina. “Terima kasih, sayang. Kau telah membantu nenek menyulam kembali hati yang robek ini. Sekarang, hati nenek merasa lebih utuh.”
Lina memeluk balik Bu Ningsih, merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang terpancar dari pelukan itu. “Aku senang bisa membantu, Bu. Semoga nenek selalu merasa bahagia.”
Keesokan harinya, Bu Ningsih mengundang tetangga-tetangganya untuk melihat hasil sulaman yang telah mereka kerjakan. Semua orang terkesan dengan keindahan dan keunikan bingkai foto tersebut. Setiap tetangga yang datang, termasuk tetangga yang lebih tua, memberikan pujian dan komentar tentang betapa indahnya sulaman tersebut.
Salah satu tetangga, Ibu Sari, berkomentar dengan penuh rasa kagum, “Bu Ningsih, sulaman ini sangat indah. Saya bisa merasakan cinta dan kenangan yang tertuang di dalamnya. Ini adalah cara yang sangat baik untuk menghargai orang-orang yang kita cintai.”
Bu Ningsih merasa terharu mendengar komentar tersebut. “Terima kasih, Ibu Sari. Ini adalah hasil kerja sama antara saya dan Lina. Lina memberi ide yang sangat berarti dan membantu nenek menyembuhkan hati nenek.”
Dengan senyuman, Ibu Sari menambahkan, “Lina memang gadis yang istimewa. Nenek beruntung memiliki teman seperti dia.”
Lina merasa bangga mendengar pujian tersebut, namun ia juga tahu bahwa kebahagiaan yang ia rasakan bukan hanya karena pujian, tetapi karena melihat Bu Ningsih merasa lebih baik. “Aku senang bisa membantu, dan aku berterima kasih karena nenek mempercayakan aku untuk membantu menyulam kenangan indah ini.”
Dan dari hari itu, meskipun kepergian Pak Ahmad tetap menjadi bagian dari hidup Bu Ningsih, kenangan dan cinta mereka terus menyala melalui sulaman indah yang penuh makna. Hati Bu Ningsih, meskipun masih menyimpan kesedihan, kini terasa lebih utuh, berkat kehangatan dan perhatian dari seorang gadis kecil yang penuh kasih. Setiap kali Bu Ningsih melihat bingkai foto itu, ia merasa seolah-olah Pak Ahmad selalu ada di sampingnya, memberinya dukungan dan cinta yang tak pernah pudar.
Sulaman itu bukan hanya memperbaiki bingkai foto, tetapi juga memperbaiki hati Bu Ningsih. Kini, ketika ia merasa kesepian, ia hanya perlu menatap bingkai foto itu dan merasakan kehangatan dan cinta yang selalu ada, menyelimuti dirinya seperti benang-benang warna-warni yang menyambungkan kenangan-kenangan indah di dalam hati.
Cerita nya sangat bagus dan seru sekali
Cerita nya bagus, mengangkat kearifan lokal home industri pembuatan tapis. Mantap. Pak. Ditunggu karya selanjutnya