Angga dan Dewi adalah sahabat sejak kecil. Mereka selalu bersama, berbagi tawa di sekolah dan bermain di taman setelah kelas. Namun, belakangan ini, Dewi terlihat semakin murung. Angga merasa ada yang tidak beres, tetapi dia tidak tahu harus mulai dari mana untuk membantu sahabatnya.
Di sekolah, angin perubahan datang. Beberapa siswa, yang dulunya terlihat ramah, mulai melakukan perundungan terhadap Dewi. Mereka mengolok-olok penampilannya, menyebutnya “kacang hijau” karena kulitnya yang lebih gelap dan rambutnya yang keriting. Setiap kali Angga melihat ini, hatinya hancur, tetapi dia merasa tidak berdaya. Dia takut jika dia ikut campur, dirinya sendiri akan menjadi target.
Suatu hari, saat istirahat, Angga melihat Dewi duduk sendiri di bangku, wajahnya tertunduk. Dia merasa tersentuh dan tahu dia harus melakukan sesuatu. Dengan berani, Angga melangkah menuju Dewi.
“Dewi, maukah kamu bercerita? Aku di sini untuk mendengarkan,” kata Angga, duduk di sampingnya.
Dewi mengangkat kepala dan melihat Angga dengan mata yang penuh harapan. “Aku merasa sendirian, Angga. Mereka terus mengolok-olokku. Rasanya aku tidak bisa bertahan lagi.”
Angga merasakan empati yang mendalam. Dia tahu betapa berat beban yang harus ditanggung sahabatnya. “Kamu tidak sendirian, Dewi. Aku akan selalu ada untukmu. Kita bisa menghadapi ini bersama-sama.”
Namun, saat Angga berusaha membela Dewi, situasi semakin rumit. Dia berhadapan dengan para perundung yang terus mengejek. Di satu sisi, dia ingin melindungi Dewi, tetapi di sisi lain, dia merasa takut jika menjadi sasaran sendiri.
Suatu hari, saat perundungan berlangsung lebih parah, Angga memutuskan untuk mengambil tindakan. Dia mencari guru mereka, Ibu Sari, dan menceritakan semuanya. Ibu Sari mendengarkan dengan penuh perhatian dan berjanji untuk menangani masalah itu.
Hari berikutnya, Ibu Sari mengadakan pertemuan di kelas. Dia menjelaskan tentang dampak perundungan, betapa pentingnya saling menghormati dan menerima perbedaan. Angga melihat perubahan di wajah teman-temannya, terutama saat Ibu Sari meminta Dewi untuk berbicara.
Dengan suara bergetar, Dewi menceritakan bagaimana perundungan itu memengaruhi hidupnya. “Rasa sakit yang aku rasakan bukan hanya fisik. Setiap kata yang mereka ucapkan seperti duri di hatiku. Aku ingin sekali merasa diterima.”
Setelah Dewi selesai berbicara, suasana di kelas berubah. Banyak teman-teman yang merasa malu atas tindakan mereka. Mereka mulai mendekati Dewi, meminta maaf dan berjanji untuk lebih baik ke depannya.
Angga merasa lega. Dia melihat betapa besar kekuatan suara yang diungkapkan. Keberanian Dewi untuk berbicara tidak hanya membantu dirinya, tetapi juga membuka mata banyak orang.
Dalam perjalanan pulang, Angga dan Dewi berjalan bersama. “Terima kasih, Angga. Tanpamu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi,” kata Dewi, matanya berbinar.
“Tidak apa-apa. Kita adalah tim, kan? Kita harus saling mendukung,” jawab Angga, tersenyum.Malam itu, Angga menyadari betapa pentingnya bersuara melawan perundungan. Dia belajar bahwa meskipun sulit, berbagi pengalaman bisa membawa perubahan yang positif. Dalam persahabatan, keberanian untuk saling mendukung adalah kunci untuk mengatasi segala tantangan.
Cerita nya bagus sekali