Di sebuah kantor kontraktor ternama di Jakarta, PT. Persada Indah Purinaga, Nia duduk termenung di ruang kerjanya. Sebagai kepala gudang yang sudah tiga tahun bekerja, Nia dikenal rapi dan teliti. Namun, akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang berawal dari sebuah status WA rekan kerjanya, Dani, yang berbunyi, “Jujurlah dengan diri sendiri, maka akan jujur dengan orang lain dan pekerjaan.”
Ia tidak tahu mengapa kalimat itu begitu mengusik pikirannya. Bukan sekali dua kali ia merenungkannya, dan meski ia tahu Dani tak menyebut nama siapa pun, entah kenapa kata-kata itu terasa seperti tertuju padanya. Apakah Dani berusaha menyindir? Apakah ada kesalahan yang pernah ia lakukan?
Saat ia tengah melamun, pintu ruangannya diketuk pelan. Dani muncul dengan membawa setumpuk dokumen.
“Bu Nia, ini dokumen pengiriman bahan untuk proyek minggu depan. Bisa ditandatangani sekarang?” katanya sambil tersenyum.
“Oh, ya, kasih sini,” balas Nia, tersenyum meski agak kaku. Namun, sebelum Dani berlalu, Nia merasa perlu menanyakan hal yang telah lama mengganjal. Dengan nada hati-hati, ia berkata, “Dan, soal status WA-mu kemarin, yang tentang kejujuran itu… maksudnya apa ya?”
Dani tampak bingung sejenak, lalu tertawa kecil. “Oh, yang itu? Enggak ada maksud apa-apa, Bu. Cuma pengingat aja buat diri sendiri,” katanya, meyakinkan Nia. “Kadang kan kita perlu ingetin diri kita sendiri buat jujur dalam segala hal, terutama dalam pekerjaan.”
Nia mencoba menerima penjelasan itu, tapi tetap saja keresahan di hatinya tak sepenuhnya hilang. Seminggu kemudian, ia mulai merasa bahwa sikap Dani semakin membuatnya resah. Setiap kali Dani mengobrol dengan rekan kerja lain, Nia merasa dirinya diawasi. Setiap senyuman atau candaan Dani terdengar seperti sindiran.
Setelah menimbang-nimbang selama berhari-hari, akhirnya Nia memutuskan untuk melapor pada atasannya, Pak Adi. Ia berharap mendapat pencerahan atau sekadar mendengar pendapat yang menenangkan. Ketika Pak Adi mempersilakannya duduk, Nia merasa sedikit lebih tenang, meskipun hatinya tetap berdebar.
“Pak, saya ingin mengadukan sikap Dani,” ujar Nia dengan suara pelan, namun tegas. “Saya merasa dia sering menyindir saya lewat status WA atau sikapnya belakangan ini. Rasanya tidak nyaman, Pak.”
Pak Adi terlihat kaget, tapi tetap mendengarkan dengan penuh perhatian. “Apa maksudmu sindiran? Apakah Dani pernah mengatakan sesuatu yang membuatmu merasa tersinggung?”
“Tidak secara langsung, Pak. Tapi sikapnya terasa menyindir. Seperti… seakan-akan dia tahu ada sesuatu yang saya sembunyikan atau mungkin dia meragukan kejujuran saya.”
Pak Adi menarik napas panjang, mencoba memahami situasi yang disampaikan Nia. “Nia, penting memang menjaga kejujuran dalam pekerjaan. Tapi, apakah mungkin perasaan ini muncul karena asumsi? Mungkin Dani tidak benar-benar berniat menyindir siapa pun.”
Nia hanya bisa terdiam, merasa dilematis antara rasa tidak nyaman dan keraguannya sendiri. Pak Adi pun akhirnya menawarkan untuk berbicara langsung dengan Dani agar situasi bisa menjadi lebih jelas.
Beberapa hari kemudian, Dani dipanggil ke ruang Pak Adi. Setelah percakapan yang cukup serius, Dani tampak bingung dan agak tersinggung. Sejak saat itu, suasana kantor berubah menjadi lebih kaku. Dani yang biasanya ramah, kini mulai menjaga jarak dari Nia. Teman-teman kerja lain pun merasakan perubahan tersebut, namun tak satu pun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Di suatu siang, saat Nia sedang makan di kantin, Lani, seorang rekan kerja, duduk di hadapannya. Ia memandangi Nia dengan pandangan penasaran.
“Nia, kamu kenapa akhir-akhir ini kelihatan murung?” tanya Lani sambil mengaduk makanannya.
Nia hanya tersenyum tipis, merasa enggan menceritakan masalah yang sebenarnya. Namun, akhirnya ia pun membuka suara, mengungkapkan semua kekhawatiran dan perasaan yang mengganggunya selama ini.
“Aku merasa Dani sering menyindirku, Lan. Aku sampai lapor ke Pak Adi karena merasa nggak nyaman,” ungkap Nia dengan suara pelan.
Lani tampak kaget, lalu tertawa kecil. “Nia, menurutku kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kadang, yang kita lihat dan rasakan itu hanyalah bayangan dari ketakutan kita sendiri. Bau busuk walaupun disimpan rapi akan tetap tercium, jadi kalau memang ada hal yang disembunyikan, pasti akan terlihat, kok.”
Perkataan Lani membuat Nia terdiam lama. Dalam hati, ia mulai mempertanyakan apakah ia terlalu sensitif dan terburu-buru menilai. Malam itu, ia tak bisa tidur. Ia merasa bersalah atas sikapnya yang mungkin salah kaprah dan berlebihan.
Keesokan harinya, ia menunggu Dani di ruang istirahat, berniat untuk mengajak berbicara dengan hati yang lebih jernih. Ketika Dani datang, ia pun mengajaknya bicara.
“Dani, aku minta maaf kalau selama ini kamu merasa enggak nyaman. Mungkin aku terlalu cepat menyimpulkan segala hal,” ujarnya dengan suara yang jujur.
Dani terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Bu Nia, sejujurnya saya juga bingung kenapa status saya bisa sampai membuat Ibu berpikir seperti itu. Saya enggak pernah punya niat buat nyindir siapa pun. Itu cuma prinsip buat mengingatkan diri sendiri.”
Nia menundukkan kepalanya, merasa malu dan menyesali semua prasangka yang ia miliki. “Aku sungguh merasa bersalah, Dan. Aku terlalu banyak asumsi yang ternyata salah. Aku juga jadi sadar bahwa kejujuran bukan cuma soal tidak berbohong pada orang lain, tapi juga soal terbuka dan percaya.”
Dani tersenyum tipis, mencoba menenangkan suasana. “Nggak apa-apa, Bu Nia. Kadang, kita semua memang bisa terjebak dalam pikiran dan prasangka. Yang penting, kita bisa sama-sama belajar dan saling mengingatkan.”
Setelah pembicaraan itu, Nia merasa hatinya jauh lebih ringan. Ia belajar bahwa ketakutan yang berlebihan bisa membawanya ke dalam prasangka dan menimbulkan masalah yang tidak perlu. Kini, hubungan mereka membaik, dan kantor kembali terasa nyaman.
Dari situ, Nia memahami betul bahwa kejujuran bukan hanya soal ucapan atau tindakan yang jujur, tapi juga tentang keberanian untuk menyingkirkan prasangka. Dengan pikiran yang lebih jernih, ia bisa bekerja tanpa beban, menyadari bahwa kepercayaan adalah fondasi yang harus dijaga dalam setiap hubungan profesional.
Jujurlah dengan diri sendiri, maka akan jujur dengan orang lain dan pekerjaan.
Jujurlah dengan diri sendiri, maka akan jujur dengan orang lain dan pekerjaan.”
Dari situ, Nia memahami betul bahwa kejujuran bukan hanya soal ucapan atau tindakan yang jujur
Apapun yg kita lakukan, kita harus bersikap jujur mengatakan apa adanya dan sebenarnya