Di sebuah kafe kecil yang nyaman, Arya duduk memandangi layar ponselnya. Pandangannya tertuju pada tagar yang sedang viral, #Strawberry Generation#. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan generasi muda yang dinilai lembek, mudah menyerah, dan terlalu manja menghadapi tantangan hidup. Arya tersenyum kecut, merasa seolah dirinya sedang dituding oleh jutaan orang yang menganggap anak muda sepertinya tak sanggup menghadapi kerasnya kehidupan.
“Arya, kamu kenapa?” tanya Bima, sahabatnya sejak SMA yang baru saja duduk di hadapannya.
Arya menghela napas panjang. “Nggak, cuma lagi mikirin tagar yang lagi viral ini,” katanya sambil menunjukkan layar ponselnya. “Katanya, generasi kita itu gampang menyerah, gampang hancur kayak strawberry yang gampang penyok.”
Bima tertawa kecil, menyesap kopi pesanannya. “Ah, itu kan cuma stereotype. Mereka nggak tahu aja gimana perjuangan kita di zaman sekarang.”
“Hidup ini memang keras, tapi tidak seharusnya begitu,” keluh Bima. Di kepalanya, dia selalu berjuang antara keinginan untuk sukses dengan ketakutan akan kegagalan.
“Tapi… ada benarnya juga, nggak sih?” Arya menunduk. “Aku sering banget ngerasa overthinking, takut gagal. Kadang-kadang aku mikir, mungkin mereka benar. Kita memang terlalu lembek.”
Bima menggeleng pelan. “Arya, kita hidup di era yang beda. Tantangan kita beda sama generasi sebelumnya. Dulu, mungkin mereka lebih fokus ke perjuangan fisik dan materi. Sekarang, kita harus menghadapi teknologi yang cepat banget berkembang, perubahan sosial, dan tekanan mental yang lebih besar.”
Arya diam. Kata-kata Bima ada benarnya. Tantangan yang mereka hadapi sebagai generasi muda memang tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya. Mereka harus terus beradaptasi dengan kemajuan teknologi, menghadapi tekanan sosial dari media sosial, dan tuntutan untuk selalu “sempurna.”
“Tapi, gimana kalau mereka benar? Kalau kita benar-benar terlalu mudah menyerah?” Arya bertanya lagi, suaranya hampir tenggelam dalam kebingungan.
“Kita bukan strawberry yang gampang penyok,” jawab Bima tegas. “Generasi kita itu lebih kayak bambu. Fleksibel, bisa mengikuti angin, tapi tetap kuat di akarnya. Cuma karena kita kelihatan lembut dari luar, bukan berarti kita lemah. Kita punya cara sendiri buat bertahan dan menghadapi dunia yang terus berubah.”
Arya tersenyum tipis. Mungkin Bima benar. Dunia sekarang memang penuh tantangan yang berbeda, dan cara mereka bertahan pun tak harus selalu terlihat keras. Mereka hanya perlu belajar untuk lebih percaya diri, menerima kekurangan, dan tetap berusaha, meski orang lain mungkin melihat kita seperti generasi yang mudah menyerah. Pada akhirnya, yang tahu seberapa kuat kita adalah diri kita sendiri,” lanjut Bima sambil tersenyum. Hari itu, Arya merasa sedikit lebih ringan. Bukan karena beban hidupnya hilang, tetapi karena dia tahu bahwa menjadi bagian dari “Strawberry Generation” tidak selalu buruk. Seperti strawberry yang manis dan berwarna cerah, generasinya juga membawa sesuatu yang baru dan segar ke dunia ini
strawberry generation tidak selalu buruk dalam menghadapi perkembangan teknologi,perkembangan sosial,dan tekanan mental yang tinggi maka sebagai strawberry generation kita harus kuat menghadapi itu semua
Menurut saya, cerita ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya menghadapi tantangan yang unik dan komplek dalam kehidupan modern. Bima, sebagai karakter yang bijak, mengingatkan Arya bahwa generasinya tidak lemah, tetapi seperti bambu yang fleksibel dan kuat. Mereka mungkin terlihat lembut dari luar, namun memiliki daya tahan yang kuat di dalam.