Misye menatap layar komputernya, jarinya lincah menari di atas keyboard. Seperti biasanya, ia tenggelam dalam pekerjaannya di bagian IT perusahaan tambang batubara tempatnya bekerja. Ruangan itu hanya diterangi lampu neon yang redup, namun ia merasa nyaman di sana, lebih baik daripada berada di luar yang panas dan berdebu. Ia orang yang jujur dan disiplin. Bagi Misye, bekerja dengan penuh tanggung jawab adalah harga diri.
Arsita, sahabatnya sejak kuliah, bekerja di bagian pembelian. Mereka sering makan siang bersama, bertukar cerita tentang pekerjaan dan mimpi-mimpi mereka. Meskipun sama-sama sibuk, keduanya selalu menyempatkan diri untuk berbincang di sela-sela jam makan siang.
Suatu hari, Misye duduk menunggu Arsita di kantin perusahaan. Namun, kali ini Arsita tampak gelisah.
“Ada apa, Sita? Kok dari tadi senyum-senyum nggak jelas,” tanya Misye penasaran sambil menatap sahabatnya yang duduk bersebelahan.
Arsita tersenyum, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda, seperti ada beban di balik matanya. “Nggak kok, nggak ada apa-apa,” jawab Arsita pelan sambil mengaduk-ngaduk kopinya.
“Jangan ngumpet-ngumpet sama aku, Sita. Udah lama kita bersahabat. Kamu tau aku bisa baca ekspresimu,” ujar Misye serius.
Arsita tertawa kecil, berusaha menepis kekhawatiran Misye. “Ya ampun, Mis, aku cuma lagi… yah, mikirin kerjaan aja,” katanya sambil tersenyum. Namun, ada nada ketidakpastian di suaranya yang tidak lepas dari pengamatan Misye.
Hari-hari berikutnya, Misye mulai menyadari perubahan sikap Arsita yang semakin aneh. Sahabatnya itu sering kali tampak terburu-buru, bahkan tidak sempat berbicara dengan Misye seperti biasanya. Ketika ditanya, Arsita selalu memberi jawaban singkat, “Lagi banyak proyek, Mis.”
Beberapa bulan berlalu, kabar tentang audit dari kantor pusat mulai tersebar di kalangan karyawan. Setiap departemen dipenuhi kegelisahan, karena audit biasanya akan memeriksa setiap transaksi, setiap nota, dan setiap kebijakan yang dijalankan perusahaan.
Misye tahu ini adalah ujian bagi seluruh tim, tetapi ia tidak terlalu khawatir karena selama ini, ia selalu berusaha bekerja dengan jujur dan transparan. Namun, ada satu hal yang membuatnya resah: Arsita.
Suatu hari, Misye menghampiri Arsita di kantornya. Ia merasa ada sesuatu yang ingin ia bicarakan, namun tertahan. “Sita, ada yang mau aku omongin sama kamu,” ucap Misye pelan, berharap sahabatnya mau membuka diri.
“Apa, Mis? Tentang audit?” jawab Arsita cepat, tatapannya penuh waspada.
“Iya, aku cuma ingin kamu tahu bahwa audit ini memang ketat, tapi kalau kita jujur dan terbuka, kita nggak perlu takut. Semuanya akan baik-baik saja, kok.”
Arsita terdiam, menunduk, tampak berpikir keras. “Aku tahu, Mis. Tapi… kadang aku merasa terlalu banyak tekanan di departemen pembelian. Atasan selalu menuntut hasil lebih, dengan anggaran yang terbatas. Itu membuat kita kadang… harus mengambil jalan pintas.”
“Jalan pintas? Maksudmu gimana?” Misye bertanya dengan nada prihatin. Ia mulai merasa bahwa sahabatnya berada dalam situasi yang lebih serius daripada yang ia bayangkan.
Namun, Arsita hanya menggeleng dan mengalihkan pembicaraan. “Lupakan aja, Mis. Mungkin aku terlalu banyak mikir.”
Hari audit pun tiba. Para auditor datang dari kantor pusat, memeriksa seluruh dokumen dan transaksi dengan teliti. Arsita tampak gelisah sepanjang hari, sering kali bolak-balik ke ruangan Misye tanpa alasan jelas.
Ketika Misye sedang bekerja, Arsita tiba-tiba masuk dan duduk dengan wajah pucat.
“Misye… aku nggak tahu lagi harus ngapain. Mereka menemukan sesuatu di dokumen pembelian, dan… mereka bilang akan mendalami kasus ini lebih lanjut,” katanya dengan suara gemetar.
Misye menatap sahabatnya itu dengan mata penuh iba. “Sita… apa kamu melakukan sesuatu yang… kamu tahu maksudku, nggak jujur?”
Arsita menunduk. “Aku… aku nggak tahu, Mis. Aku cuma… hanya mengikuti instruksi. Kadang, aku terpaksa menyetujui transaksi yang sedikit… manipulatif, tapi itu semua demi kebaikan perusahaan… dan aku nggak punya pilihan lain!”
Misye menghela napas panjang. “Sita, kejujuran itu harus dimulai dari hati. Kalau kamu merasa ada yang salah dari awal, kamu seharusnya menolaknya. Karena tanpa itu, semua tindakan kita hanya akan membawa masalah di kemudian hari.”
Arsita menunduk lebih dalam, air mata mengalir di pipinya. “Aku takut, Mis… kalau aku nggak nurut, aku bisa dipecat… aku… aku nggak bisa kehilangan pekerjaan ini.”
“Sita, sahabatku, kamu harus tegar. Sekarang, yang terbaik adalah jujur. Mungkin ini jalan kamu untuk memperbaiki segalanya.”
Beberapa hari kemudian, kabar mengejutkan datang. Arsita ditahan oleh pihak kepolisian atas dugaan manipulasi transaksi dan penyelewengan dana. Misye sangat terpukul. Ia mencoba menjenguk Arsita di kantor polisi.
Saat mereka duduk berhadapan di ruang kunjungan, Misye menatap sahabatnya dengan tatapan penuh empati. Arsita tampak lelah dan rapuh, jauh dari sosok sahabat yang ia kenal.
“Misye, aku bodoh ya… kenapa aku nggak jujur dari awal?” ujar Arsita dengan suara penuh penyesalan.
Misye menggenggam tangan sahabatnya erat-erat. “Kamu nggak bodoh, Sita. Kita semua pernah membuat kesalahan. Tapi ingat, jalan untuk memperbaiki diri masih terbuka. Aku di sini buat kamu, Sita. Mungkin ini pelajaran penting buat kita semua.”
Arsita mengangguk pelan, air mata kembali menetes. “Terima kasih, Misye. Terima kasih udah jadi sahabat yang selalu mendukung aku, bahkan di saat-saat sulit.”
Misye tersenyum lembut. “Sama-sama, Sita. Ingat, ini bukan akhir. Kamu bisa memperbaiki semuanya, selama kamu jujur pada diri sendiri dan pada dunia. Mungkin jalan ini berat, tapi aku yakin kamu bisa melewatinya.”
Arsita hanya bisa menangis dan tersenyum kecil. Meski dirinya sekarang terbelenggu oleh konsekuensi dari keputusannya, ia merasa lega karena sahabat terbaiknya masih ada di sampingnya.
Misye menghela napas, merasa campuran antara sedih dan lega. Kejujuran, pikirnya, memang selalu harus dimulai dari hati.
hal yang saya pelajari adalah bahwa kejujuran di mulai dari hati maka dari itu kita harus jujur dalam bentuk apapun dari hal kecil maupun hal lainnya
hal yang saya pelajari adalah kejujuran itu dimulai dari hati, dan setiap orang juga berhak mempunyai kesempatan untung memperbaiki kesalahan yang mereka perbuat.
hal yang saya pelajarin dari bacaan saya hari ini adalah kejujuran perlu dimulai dari hati, dan setiap masalah perlu di perbaiki
sangat bagus dan bermanfaat💯
ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda, seperti ada beban di balik matanya.
Ceritanya sangat baguss
Ceritanya mantap bagus the beast
Sangat bermanfaat karna bisa belajar jujur harus dari hati
Cerita yang saya baca ini bermanfaat karena kita belajar untuk jujur
ceritanya sangat bagus dan bermakna
Dari bacaan yang saya baca, saya belajar bahwa prilaku jujur dapat membuat kita tenang dan tentram agar tdk memiliki banyak masalah dah tidak ada masalah
hal yang saya pelajari adalah bahwa kejujuran di mulai dari hati maka dari itu kita harus jujur dalam bentuk apapun dari hal kecil maupun hal lainnya
jujur adalah kata yg mudah di ucapkan namun sulit dilakukan,terkadang pada saat situasi tertentu ada kesempatan kita untuk berbohong tetapi tetap saja berbohong bukanlah pilihan yg bagus dikarenakan kita yg dihantui dengen kebohongan yg kita buat,maka jujur dalam segalahal karena itu bisa membuat hati kita tenang dan damai
hal yang saya pelajari adalah bahwa kejujuran di mulai dari hati maka dari itu kita harus jujur dalam bentuk apapun
Kejujuran, pikirnya, memang selalu harus dimulai dari hati.
bahwa kejujuran dimulai dari hati maka dari itu kita harus jujur dalam hal apapun
Jujur mungkin menyakitkan tapi jujur jauh lebih baik daripada berbohong untuk kebaikan,berkata jujur tidak membuat mu rugi, berkata jujur membuat seseorang bisa dipercaya