Bimo dikenal sebagai pria yang sangat tampan. Namun, ketampanannya itu bukanlah anugerah sejak lahir. Bimo telah melalui serangkaian operasi plastik untuk mengubah penampilannya, dan hasilnya memukau. Kulitnya bersih, hidungnya mancung, dan dagunya terbentuk sempurna. Tak banyak yang tahu soal operasinya, dan Bimo lebih suka menyimpannya sebagai rahasia pribadi.
Suatu hari, dalam sebuah acara pertemuan sosial, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Melati. Melati juga memancarkan pesona yang luar biasa. Rambut panjangnya berkilau, wajahnya simetris, dan tubuhnya sempurna. Seperti Bimo, Melati juga menyimpan rahasia besar di balik kecantikannya. Sejak remaja, ia menjalani beberapa prosedur untuk mengubah penampilannya menjadi secantik sekarang.
Saat mata mereka bertemu, mereka merasa ada daya tarik yang tak terelakkan. Dalam waktu singkat, keduanya semakin dekat, dan mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Hari pernikahan mereka pun penuh dengan kebahagiaan. Banyak tamu yang memuji pasangan itu sebagai “Pasangan Paling Sempurna.”
Beberapa bulan setelah menikah, Melati hamil. Bimo tak sabar menantikan anak mereka lahir. Dalam bayangannya, anak itu akan terlahir dengan perpaduan sempurna dari ketampanannya dan kecantikan Melati.
Namun, ketika bayi itu lahir, harapan Bimo seketika buyar. Anak mereka ternyata memiliki wajah yang jauh dari ekspektasi. Kulitnya sedikit gelap, hidungnya datar, matanya sipit—tidak ada satu pun yang mengingatkan pada wajah mereka sekarang. Bimo merasa terpukul.
“Melati, jujur saja padaku. Anak ini benar-benar anak kita?” tanya Bimo pada suatu malam dengan nada curiga.
Melati terkejut. “Apa maksudmu, Mas? Tentu saja ini anak kita!” jawabnya sambil menahan air mata.
“Kalau memang anak kita, kenapa wajahnya sama sekali tidak mirip kita?” Bimo mendesak dengan marah. “Apa kamu selingkuh?”
Melati terdiam, tidak menyangka akan dituduh seperti itu. Dalam hati ia juga merasa bingung dan terpukul. Ia tahu dirinya setia, namun ia sendiri pun heran dengan wajah anak mereka yang berbeda jauh.
Pertengkaran itu kian hari kian panas. Bimo semakin yakin dengan tuduhannya, dan Melati semakin merasa terluka dengan ketidakpercayaan suaminya.
Di tengah badai pertengkaran itu, kedua orang tua Bimo dan Melati datang berkunjung untuk melihat cucu pertama mereka. Tanpa mengetahui konflik yang sedang terjadi, mereka membawa hadiah dan wajah penuh senyum. Namun, begitu mereka melihat wajah cucu mereka, keheningan menyelimuti ruangan.
Ibu Bimo akhirnya tersenyum tipis, memandang ke arah Bimo dengan pandangan penuh makna. “Nak, kenapa kamu terlihat tidak bahagia melihat anakmu sendiri?” tanyanya lembut.
Bimo mendesah kesal. “Bu, lihat saja. Anak ini sama sekali tidak mirip kami berdua!”
Ayah Bimo kemudian menatapnya dengan sorot mata tegas. “Bimo, apakah kamu lupa wajahmu dulu?”
Bimo tertegun. Ia tahu apa maksud ayahnya, namun ia tetap tak bisa menerima kenyataan itu. Ayahnya melanjutkan dengan suara tenang, “Dulu, wajahmu tidak setampan ini. Kamu yang memutuskan untuk mengubahnya lewat operasi plastik. Dan Ibu dan Ayah menghormati keputusanmu itu. Tapi anakmu ini, Bimo, justru mencerminkan dirimu yang asli, sebelum semua perubahan itu.”
Bimo merasa jantungnya berdebar. Seluruh amarah dan tuduhannya pada Melati seketika terasa salah. Namun, ia belum siap untuk sepenuhnya menerima kenyataan itu.
Melihat Bimo masih tampak tidak yakin, Ibu Melati pun ikut bicara. “Nak, Bimo, mungkin kau juga tidak tahu, tapi kecantikan Melati juga bukan murni dari lahir. Melati menjalani prosedur yang sama untuk tampil secantik sekarang.”
Melati akhirnya menangis. Ia mengangguk, mengakui bahwa wajah cantiknya saat ini juga hasil dari operasi plastik. Bimo menatap Melati dengan campuran perasaan. Ia merasa bodoh, malu, dan menyesal. Semua tuntutannya pada Melati ternyata berasal dari ketidaktahuannya sendiri.
Bimo terdiam, lalu memandang anak mereka yang tertidur. Untuk pertama kalinya, ia mencoba melihat anak itu bukan dari penampilan, melainkan dari cinta yang lahir dari pernikahannya dengan Melati. Kini ia sadar, anak itu adalah cerminan dirinya dan istrinya yang sebenarnya.
“Aku… aku minta maaf,” kata Bimo sambil menggenggam tangan Melati. “Aku terlalu terobsesi dengan penampilan kita dan lupa dengan kenyataan yang sebenarnya.”
Melati tersenyum dengan mata yang masih basah. “Aku juga minta maaf, Mas. Seharusnya kita terbuka sejak awal.”
Sejak hari itu, Bimo dan Melati belajar menerima diri mereka apa adanya. Mereka membesarkan anak mereka dengan penuh kasih sayang, tanpa mempermasalahkan penampilan luar. Mereka paham bahwa warisan sejati bukanlah kecantikan atau ketampanan, melainkan cinta dan penerimaan.
Cerpen nya bagus , saya suka
Mengajar kan kita untuk menerima kenyataan kalo muka nya suami nya tampan karna operasi plastik dan istrinya juga ya tentu saja muka anaknya jauh dari kedua orang tua
Hhha muka aslinya keluar seruuu
Sangat bagus
mereka paham bahwa warisan sejati bukanlah kecantikan atau keterampilan,melainkan cinta dan penerimaan.
Kita tidak boleh mengubah ubah penampilan karna itu adalah pemberian dari Allah SWT.
tanpa mempermasalahkan penampilan luar. Mereka paham bahwa warisan sejati bukanlah kecantikan atau ketampanan, melainkan cinta dan penerimaan.
darii sinii saya belajar bahwa warisan sejati bukanlah kecantikan atau keterampilan, melainkan cintaa dan penerimaan dengan tulus
Very good, Mr. Babra. Bahasa yang digunakan sederhana, mudah dipahami siapa saja. Sarat pesan moral dan bisa menjadi pengetuk hati orang-orang yang ‘mendewakan’ ‘casing’.. semangat berkarya lebih banyak.
Dari sini sya belajar bahwa warisan sejati bukan lah kecantikan/ketampanan melainkan cinta penerimaan