Cahaya, gadis manis berusia 16 Tahun yang pendiam dan sederhana. Ia baru enam bulan menjadi pelajar Tingkat X di sebuah Madrasah Aliyah plus pondok pesantren favorit di kotanya. Melewati masa pengenalan lingkungan sekolah, menjalani latihan kedisiplinan peserta didik baru, menjalani jadwal padat kegiatan pembelajaran pesantren. Masa-masa yang mengharuskannya untuk pandai beradaptasi dari kebiasaannya sewaktu masih sekolah di SMP. Dimana kegiatan apapun masih dibantu Ibu, kemanapun pergi diantar Ibu, bahkan menyiapkan bekal makan dan seragam sekolahpun selalu dibantu Ibu.
Tapi saat ini Ia merasa sangat berat, sangat berat untuk menyesuaikan diri, sangat berat untuk harus jadi mandiri, sangat berat menanggung kesedihan hati, sangat berat untuk menjalani semua ini. “Ibu… aku merindukanmu….” lirihnya. Hatinya terasa sesak penuh kerinduan. Air matanya tak terasa mengalir di pipi. Membasahi mukena yang masih dipakainya untuk sholat magrib. Ia mengambil sebuah buku di sampingnya, membaca rangkaian do’a dan bibirnya mulai melantunkan ayat – ayat Surah Yasin.
Cahaya…. di usia belianya yang seharusnya penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan sebagai gadis yang beranjak remaja, penuh kehangatan dalam dekapan Ayah Bunda, kini harus menjalani hidup sebagai seorang Piatu. Sang Ibu berpulang ke pangkuan Illahi ketika terjadi komplikasi saat melahirkan adiknya enam bulan lalu, tepat ketika Ia menyelesaikan ujian akhir sekolah di SMP. Saat itu, la merasa langit terasa runtuh. Saat Om Ardi, adik kandung dari Ibunya menjemputnya di sekolah membawa kabar duka yang tak pernah Ia harapkan. Bu Hotma guru BK yang menjemputnya di ruang ujian menggenggam erat tangannya sepanjang koridor sekolah menuju Ruang Konseling. Cahaya masih kebingungan dengan apa yang terjadi, isi kepalanya penuh tanda tanya. Cahaya disambut Om Ardi dengan mata berkaca – kaca. Dengan pelan Om Ardi menjelaskan kabar duka itu kepada Cahaya. Cahaya histeris, menangis sejadi – jadinya, mencoba menolak kenyataan. Suasana sedih menyelimuti ruangan. Bu Suci sang Wali Kelas berusaha menenangkan dengan memeluk Cahaya. Menguatkan anak didiknya yang nampak sedang sangat rapuh itu. Cahaya terus berteriak. “Cahaya gak mau Ibu pergi, Cahaya hanya mau Ibu, jangan tinggalin Cahaya buuuu…. !” isaknya.
Suasana rumah duka sudah ramai oleh para tetangga dan kerabat yang bertakziah. Cahaya turun dari motor Om Ardi dengan tergesa – gesa dan berlari masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah Ia melihat Abahnya tampak duduk bersimpuh dengan mata sembab di samping tubuh yang sudah terbujur kaku tertutup kain panjang. Cahaya tertegun masih tidak percaya, langkahnya lunglai, pandangannya kosong, lidahnya terasa kelu untuk berbicara. Abahnya segera berdiri dan memeluk anak sulungnya itu.
“ Ibu sudah pergi nak, Cahaya harus Ikhlas….” bisik Abah di telinganya. Tangis Cahaya pecah seketika. Kedua insan ayah dan anak itu berpelukan dalam tangisan yang menyayat hati, saling menguatkan.
Keluarga dan pelayat yang hadirpun tak kuasa menyembunyikan rasa haru ikut terhanyut dalam kesedihan.
Cahaya bersimpuh dan meratap di samping jenazah Sang Ibu yang kini telah pergi meninggalkanya untuk selamanya. “IBU” …. nama itu begitu indah ketika beliau telah tiada. Tempat untuk bersandar, tempat berkeluh kesah, tempat bermanja, tempat untuk menangis, tempat mencurahkan segala isi hati. Kini tak kan ada lagi pelukan hangat Ibu, tak kan ada lagi senyum Ibu, tak kan ada lagi sosok Ibu yang menyambutnya pulang sekolah. Semua akan terasa hampa dan senyap.
Air langit masih turun meninggalkan rinai nan sahdu. Udara terasa sejuk, ruang kamar pondok pesantren menjadi remang karena mendung pekat diluar sana. Cahaya menghidupkan saklar lampu yang membuat kamar terang seketika. “ Hari ini Cahaya ulang tahun Ibu…… doa apa yang Ibu berikan tahun ini untuk Cahaya ?” lirihnya . Air matanya mengalir menahan kerinduan yang begitu menyesakkan dada. Ia mendekap erat sebuah kotak kecil berwarna biru dengan gambar hati di atasnya. Kotak yang berisi kenangan bersama Ibu. Cahaya membuka kotak itu, perlahan mengeluarkan isinya dan menyusunnya di atas tempat tidurnya. Foto-foto masa kecilnya yang lucu dan menggemaskan, foto ulang tahunnya ketika masa kanak-kanak, SD dan SMP, tentu saja sedang dalam dekapan Ibu. Cahaya membaca kartu-kartu kecil dengan tulisan tangan Ibu. Biasanya Ibu selalu menuliskan doa dan harapan di secarik kartu yang diselipkan dibawah bantalnya tiap kali hari ulang tahunnya. Tapi tentu tidak untuk ulang tahunnya kali ini. Kartu ucapan itu tidak akan pernah ada lagi dibawah bantalnya. Karena bidadari yang menulis kartu itu sudah terbang ke taman surgawi. Cahaya mengambil buku hariannya dan mulai menggoreskan penanya menjadi sebait tulisan : “ Hidupku pernah semewah sore, yang pada jingganya aku menelan sesuap cinta dari Ibuku ”
Cahaya memandang jauh ke luar jendela. Tatapannya kosong, fikirannya jauh melayang pada kenangan masa lalu saat masih bersama Ibu. “Cahaya rindu Ibu… ” bisiknya sambil memejamkan kedua matanya. Cahaya merasakan tangan seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut. Sesosok wanita dengan seraut wajah teduh dengan senyuman yang selalu mendamaikan hati sudah berdiri di belakangnya. “ Ustadzah…..” gumam Cahaya masih sedikit terkejut dengan kehadiran Ustadzah Humairoh yang tiba-tiba. Ustadzah Humairoh adalah salah satu pendamping dan pengajar di pondok pesantren. Sosoknya yang lembut dan keibuan bagai sebuah oase di tengah gurun pasir hati Cahaya yang gersang karena kehilangan Ibu. “Selamat ulang tahun Cahaya anak sholehah” bisik Ustadzah Humairoh sambil memeluk Cahaya. “Semoga Cahaya selalu menjadi cahaya untuk almarhumah Ibu di alam kubur, menjadi cahaya untuk kelurga dan teman-teman, menjadi cahaya yang bermanfaat untuk orang lain, bangsa dan agama. Ustadzah melepaskan pelukannya, menatap lembut dan menyentuh kedua pipi Cahaya dengan kedua telapak tangannya sambil berucap “Pandai-pandailah menjaga diri, menghadaplah ke kiblat lebih lama, doakan Ibu yang sendirian dibawah sana tertimbun tanah, lapangkan hatimu dan berusahalah untuk tidak menangisi perpisahan dengan Ibu, sebab kini tangan Ibu sudah tidak bisa lagi mengusap air matamu.” Cahaya memeluk erat Ustadzah Humairoh sambil terisak. “Terimakasih Ustadzah….. terimakasih sudah menjadi Ibu untuk Cahaya”.
Cahaya sangat sedih karena di tingal kan ibunya untuk selamanya
cahaya yang ditinggal oleh ibuk nya saat beranjak remaja,dia sangat merindukan ibuk nya saat saat yang bahagia