Malam itu Jogja dibalut suasana romantis. Gemerlap lampu di sepanjang Malioboro berpadu dengan nyanyian pengamen jalanan. Angin dingin November mengantar aroma manis wedang ronde dari pedagang kaki lima. Riko, seorang pemuda asal Klaten, duduk di salah satu bangku kayu sambil memainkan gitar kecilnya. Ia menatap ke arah seorang gadis berhijab biru yang sibuk membaca buku di sampingnya.
“Raiku koyo Jogja, adem ning ora kalah istimewa,” goda Riko sambil tersenyum lebar.
“Kowe ki isih wae seneng guyon,” balas Sinta sambil menahan tawa, “Lha iki opo ora nyindir aku sing ora pinter dandan?”
“Ah ora, aku serius,” jawab Riko sambil memainkan melodi gitar. “Kowe istimewa, Sin. Koyo Jogja sing nggawe wong betah bali maneh.”
Sinta tersipu. Ia kembali ke bukunya, tapi jelas wajahnya merona. Riko tersenyum, bangga telah berhasil menghibur Sinta.
Sudah hampir setahun mereka saling mengenal. Awalnya, Riko bertemu Sinta di sebuah acara literasi di Sewon. Sinta, mahasiswa sastra di Universitas Gadjah Mada, sedang menjadi pembicara, sementara Riko hadir sebagai peserta. Ketertarikan Riko pada sastra sebenarnya tak terlalu mendalam, tapi setelah bertemu Sinta, ia jadi sering membaca puisi dan menulis lirik lagu.
Hari ini, Riko mengajak Sinta ke sebuah angkringan di daerah Tugu. Mereka duduk di tikar sederhana, ditemani dua porsi nasi kucing, tempe goreng, dan teh hangat.
“Mangan tempe rasane koyo mangan lawuh sate,” celetuk Riko sambil menyuapkan nasi kucing ke mulutnya.
“Kowe ki romantis utawa ngirit, Rik?” goda Sinta sambil tertawa.
“Lho, ora loro-lorone. Aku mung pengen ngomong yen sak anane iku cukup, nek karo wong sing tepat,” jawab Riko serius. “Ngombe kembang tahu rasane koyo ngombe susu. Rausah mecucu, tresnoku ra bakal tak madu.”
Sinta tertegun mendengar ucapan itu. Ia tahu Riko tak pandai bertele-tele. Meski sering bercanda, Riko selalu tulus dalam menyampaikan perasaannya.
“Kowe iki, Rik… wes, mangan wae!” ujar Sinta sambil menunduk, berusaha menyembunyikan senyumannya.
Riko dan Sinta sering menghabiskan waktu bersama, entah dengan berjalan kaki di sepanjang Malioboro, mengunjungi pameran seni, atau sekadar duduk di Alun-Alun Kidul menikmati suasana malam.
Namun, di balik tawa dan kebersamaan itu, Sinta menyimpan keraguan. Ia tahu hidup Riko tak mudah. Pemuda itu bekerja sebagai penjaga toko kaset di Jalan Sosrowijayan, mengandalkan penghasilan seadanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Riko, kowe tenan-tenan ngguyu terus ya?” tanya Sinta suatu sore ketika mereka sedang berjalan di kawasan Keraton.
“Lho, kenapa? Wong urip kudu disyukuri, to?” jawab Riko.
“Tapi, nek kowe terus-terusan nyembunyikan masalahmu piye? Aku ngerti, kowe sering susah,” ujar Sinta dengan nada serius.
Riko terdiam. Ia tahu Sinta benar. Hidupnya memang penuh tantangan, tapi ia tak pernah ingin membebani orang lain, terutama Sinta.
“Sinta,” ucap Riko akhirnya, “Aku percaya yen wong kang lagi gandrung bakal kuat ngadepi opo wae. Aku bakal tak perjuangke tekan janur melengkung, asal kowe percoyo karo aku.”
Sinta tersenyum. Ia tahu hati Riko tulus, tapi ia juga tak bisa memungkiri kekhawatirannya.
Suatu hari, Riko memberanikan diri mengajak Sinta ke rumahnya di Klaten. Rumah sederhana itu berada di tengah persawahan, dengan dinding bata tanpa plester. Ibunya menyambut mereka dengan senyum hangat, menyuguhkan teh panas dan gorengan.
“Sinta, iki ibuku,” ujar Riko memperkenalkan.
“Ibu, iki Sinta, sing sering aku critakake,” lanjutnya sambil tersipu.
Ibunya Riko menatap Sinta dengan penuh kehangatan. “Alhamdulillah, kowe apik, nduk. Riko sering ngomong nek kowe kuwi bocah sing pinter lan sabar. Ibu bungah tenan.”
Sinta terharu mendengar ucapan itu. Ia merasa diterima dengan tulus meski baru pertama kali bertemu.
Di perjalanan pulang ke Jogja, Sinta berkata, “Riko, aku seneng karo ibumu. Wong sing sederhana tapi sugih rasa syukur.”
Riko tersenyum. “Matur nuwun, Sin. Aku bangga yen kowe gelem nompo opo anane.”
Waktu berlalu, dan hubungan mereka semakin dekat. Suatu malam, di bawah cahaya bulan di Bukit Bintang, Riko menggenggam tangan Sinta.
“Sinta, kowe siji-sijine wong sing nggawe aku pengen dadi wong sing luwih apik,” ucap Riko penuh haru.
“Kowe ojo sumelang, tresnaku ra bakal ilang. Ibarat Jogja, kowe cen istimewa,” tambahnya.
Sinta tak mampu berkata-kata. Ia hanya menatap Riko, mengangguk pelan, dan menggenggam tangannya lebih erat.
Namun, seperti cuaca Jogja yang kadang tak terduga, hubungan mereka pun diuji. Riko mendapat tawaran bekerja di luar kota sebagai supir pengiriman barang. Pekerjaan itu menjanjikan penghasilan lebih baik, tapi berarti ia harus meninggalkan Jogja dan Sinta.
“Sinta, aku ora pengen ninggal kowe, tapi aku kudu mikir masa depan,” kata Riko suatu sore di stasiun Lempuyangan.
“Aku ngerti, Rik. Aku percaya nek kowe bakal bali. Aku bakal nunggu kowe,” jawab Sinta dengan suara bergetar.
Berbulan-bulan berlalu tanpa kabar dari Riko. Sinta tetap setia menunggu, tapi hatinya sering dilanda keraguan. Hingga suatu hari, Riko kembali ke Jogja dengan membawa kejutan.
Di depan rumah Sinta, Riko berdiri dengan setelan sederhana, membawa seikat bunga dan sebuah cincin di tangan.
“Sinta, aku bali ora mung karo rejeki, tapi karo tekad. Tekad kanggo nggawe kowe bahagia. Kowe gelem dadi bojoku?” tanyanya penuh harap.
Air mata bahagia mengalir di pipi Sinta. “Riko, aku gelem. Aku percaya karo kowe. Tresnaku ra bakal mletre.”
Pernikahan mereka sederhana namun penuh kebahagiaan. Janur melengkung menjadi saksi cinta mereka yang tulus.
Jogja kembali menjadi tempat mereka memulai lembaran baru. Seperti Jogja yang istimewa, cinta mereka pun abadi, tak lekang oleh waktu.