Di sebuah desa yang asri di Sukabumi, hiduplah seorang gadis bernama Arina. Arina adalah mojang yang ceria, tinggal bersama nenek dan kakeknya yang penuh kasih sayang. Setiap pagi, ia menyaksikan embun menempel di dedaunan, dan mendengar kicauan burung yang menyambut hari baru. Namun, seiring berjalannya waktu, orang tua Arina yang tinggal di Lampung merasa khawatir akan jarak yang memisahkan mereka. Akhirnya, keputusan pun diambil; Arina harus pindah ke Lampung untuk melanjutkan sekolah.
Setibanya di Lampung, Arina merasa seperti ikan yang terlempar dari kolamnya. Sekolah baru, teman baru, dan lingkungan yang asing membuatnya merasa canggung. Namun, kehadirannya sebagai siswa baru menarik perhatian banyak teman sekelas. Di antara mereka, ada seorang pria bernama Inda yang tertarik untuk mengenalnya lebih dekat. Inda, dengan senyumnya yang menawan, memutuskan untuk berkirim surat kepada Arina, mengungkapkan niatnya untuk berteman.
Arina, yang merasa senang mendapatkan perhatian, membalas surat Inda dengan penuh semangat. Dalam suratnya, ia menceritakan tentang kehidupannya di Sukabumi dan harapannya untuk menjalin persahabatan yang tulus. Sejak saat itu, mereka mulai akrab. Setiap hari, mereka mengerjakan tugas sekolah bersama, berbagi cerita, dan bersepeda di sore hari menikmati udara segar. Persahabatan mereka tumbuh seperti bunga yang mekar di musim semi.
Namun, suatu hari, Inda mengirimkan surat yang mengubah segalanya. Dalam surat itu, Inda mengungkapkan perasaannya yang lebih dari sekadar teman; ia jatuh cinta pada Arina. Arina merasa terharu dan bahagia, dan ia pun membalas surat tersebut dengan rasa yang sama. Namun, takdir berkata lain. Surat itu ternyata dibaca oleh kakak Inda, Fajri, yang merasa perlu memberitahukan kepada orang tua mereka.
Fajri, yang juga seorang guru agama di sekolah Arina, menyampaikan isi surat itu kepada ayah mereka. Ayah Inda, yang bijaksana, menasehati Inda bahwa mereka masih muda dan harus fokus pada pendidikan. Inda merasa sedih, namun ia tahu bahwa keputusan itu harus diambil demi masa depan mereka. Dengan berat hati, Inda menyampaikan kepada Arina bahwa hubungan mereka harus berakhir.
Arina merasa hancur. Suatu hari, saat Arina sedang mengaji, ia bertemu dengan Fajri. Masih ada rasa kecewa di hatinya, dan ketika Fajri menyapa, Arina tanpa berpikir panjang menyiramkan segayung air ke wajah Fajri. “Byurrr,” suara air yang menyentuh kulit Fajri membuatnya terkejut. Fajri merasa bersalah dan berusaha meminta maaf, tetapi Arina hanya menjawab dengan acuh tak acuh.
Hari-hari berlalu, Fajri selalu berusaha menyapa Arina, tetapi Arina tetap bersikap dingin. Namun, takdir kembali mempertemukan mereka. Suatu ketika, ayah Fajri meminta bantuan Arina dan Fajri untuk mengajar di Madrasah karena ia berhalangan hadir. Arina, yang dikenal sebagai siswi rajin dan bintang kelas, menerima tawaran itu.
Dalam proses mengajar, Arina dan Fajri mulai akrab seperti kakak dan adik. Mereka berbagi tawa, cerita, dan pengalaman. Fajri sering mengantarkan Arina pulang dari ngaji jika orang tuanya belum menjemput. Orang tua Arina pun mulai percaya pada Fajri, melihat betapa baiknya Fajri terhadap Arina.
Seiring waktu, perasaan Arina terhadap Fajri mulai berubah. Ia melihat Fajri bukan hanya sebagai kakak, tetapi juga sebagai sahabat yang selalu ada untuknya. Fajri, dengan sikapnya yang sabar dan perhatian, berhasil menghapus rasa kecewa yang pernah ada di hati Arina. Mereka berbagi impian dan harapan, saling mendukung dalam setiap langkah.
Di suatu sore yang cerah, saat mereka bersepeda pulang dari Madrasah, Fajri mengajak Arina berhenti sejenak di tepi sungai. “Arina, aku ingin berbicara,” katanya dengan serius. Arina menatap Fajri dengan penuh rasa ingin tahu. “Aku ingin kita tetap bersahabat, apapun yang terjadi. Aku tidak ingin kehilanganmu,” lanjut Fajri.
Arina tersenyum, merasakan kehangatan persahabatan yang tulus. “Aku juga, Fajri. Kita bisa jadi sahabat selamanya, kan?” Fajri mengangguk, dan mereka berdua tertawa bahagia. Di bawah sinar matahari yang mulai tenggelam, mereka berjanji untuk selalu mendukung satu sama lain, apapun yang terjadi.
Sejak saat itu, Arina dan Fajri menjalani hari-hari mereka dengan penuh keceriaan. Mereka belajar bersama, bermain, dan menjelajahi keindahan Lampung. Arina merasa beruntung memiliki Fajri di sisinya, seorang sahabat yang selalu siap membantunya. Persahabatan mereka menjadi lebih kuat, dan Arina pun menemukan kebahagiaan yang sejati.
Dengan waktu yang berlalu, Arina menyadari bahwa cinta sejati tidak selalu harus berakhir dengan hubungan romantis. Kadang, cinta yang paling indah adalah cinta yang terjalin dalam persahabatan. Arina dan Fajri, meskipun tidak menjadi sepasang kekasih, tetap saling menghargai dan mendukung satu sama lain dalam setiap langkah kehidupan.
Di ujung jalan, saat matahari terbenam, Arina dan Fajri berjanji untuk selalu menjaga persahabatan mereka. Mereka tahu bahwa meskipun perjalanan hidup membawa mereka ke arah yang berbeda, ikatan yang telah terjalin akan selalu ada, seperti sinar matahari yang selalu kembali setiap pagi.