Malam itu, di bawah temaram lampu jalan, sebuah warung angkringan kecil di sudut Yogyakarta ramai oleh pengunjung. Aroma sate usus, gorengan, dan nasi kucing tercium semerbak, mencampur dengan bau hujan yang baru saja reda. Di tengah keramaian, seorang pemuda bernama Dito sedang sibuk membantu ibunya, Bu Lestari, mengurus angkringan.
Dito, 24 tahun, adalah pemuda yang pekerja keras. Setelah lulus dari SMA, ia memutuskan membantu ibunya yang sudah bertahun-tahun berjualan di angkringan. Meski sering diejek oleh teman-temannya karena tidak melanjutkan kuliah, Dito tidak pernah merasa minder. Ia percaya bahwa pekerjaan apa pun asal halal adalah sebuah kebanggaan.
Di sudut lain angkringan, seorang gadis bernama Rini, 22 tahun, tengah asyik menghabiskan nasi kucing dengan lauk tempe goreng. Matanya sesekali melirik ke arah Dito yang tengah sibuk melayani pelanggan. Hatinya berdebar-debar, tapi ia berusaha menutupi rasa gugupnya.
“Rin, sudah selesai makan? Jangan lama-lama, kita masih ada tugas kelompok,” tegur Sari, teman kuliahnya.
Rini mengangguk cepat, tetapi matanya tetap tertuju pada Dito. Akhirnya, ia memberanikan diri berdiri dan mendekati tempat pembayaran.
“Mas, semuanya berapa?” tanyanya pelan.
Dito menoleh. “Sebentar ya, Mbak,” jawabnya dengan senyum ramah. Ia menghitung cepat pesanan Rini. “Delapan ribu lima ratus saja.”
Rini menyerahkan uang sepuluh ribu, lalu buru-buru menambahkan, “Sisanya buat Mas Dito saja.”
Dito tersenyum tipis. “Terima kasih, Mbak. Lain kali mampir lagi, ya.”
Rini hanya mengangguk sebelum kembali ke meja. Hatinya menghangat. Mungkin ini awal yang baik untuk lebih mengenal Dito.
Malam berikutnya, Rini kembali ke angkringan Dito. Kali ini ia datang sendirian. Dengan ragu, ia memilih duduk di kursi panjang dekat gerobak.
“Sendirian saja, Mbak?” sapa Dito sambil menyodorkan daftar menu sederhana.
“Iya, lagi ingin santai saja,” jawab Rini dengan senyum kecil. “Mas Dito jualannya setiap hari, ya?”
“Iya, Mbak. Kalau libur, nanti pelanggan kecewa,” candanya.
Rini tertawa kecil. Percakapan mereka pun mengalir ringan. Dari obrolan sederhana soal menu angkringan hingga kehidupan sehari-hari. Dari percakapan itu, Dito tahu bahwa Rini adalah mahasiswa semester enam di salah satu universitas di Yogyakarta, mengambil jurusan Sastra Jawa.
Seiring waktu, pertemuan demi pertemuan terjadi. Rini sering mampir ke angkringan Dito, tak hanya untuk menikmati nasi kucing, tetapi juga untuk bercakap-cakap dengan Dito. Hubungan mereka perlahan berubah dari pelanggan dan penjual menjadi teman.
Namun, tak semua berjalan mulus. Teman-teman Rini mulai memperhatikan kebiasaannya mampir ke angkringan.
“Rin, serius? Kamu suka sama penjual nasi kucing?” ejek Sari suatu hari.
Rini tersenyum samar. “Kenapa tidak? Dia pekerja keras dan jujur. Itu lebih penting daripada status atau pekerjaan, kan?”
Sari menggelengkan kepala. “Ya sudah, tapi jangan sampai kamu kecewa.”
Meski sempat ragu, Rini tetap melanjutkan hubungannya dengan Dito. Baginya, cinta bukan tentang status, melainkan kehangatan dan kejujuran.
Suatu malam, angkringan Dito sepi. Hujan deras membuat pelanggan enggan keluar rumah. Di tengah suasana yang lengang, Rini datang membawa payung berwarna kuning cerah.
“Masih buka, Mas Dito?” tanyanya.
Dito tersenyum. “Buat Mbak Rini, selalu buka.”
Rini tertawa kecil, lalu duduk. Ia memesan nasi kucing dengan lauk sate usus favoritnya.
“Mas Dito nggak pernah capek kerja terus?” tanya Rini sambil menikmati makanannya.
Dito menggeleng. “Capek pasti, Mbak. Tapi kalau ingat ibu saya, semua rasa capek hilang. Saya kerja keras supaya ibu nggak perlu terlalu repot lagi.”
Kata-kata Dito membuat Rini terharu. Ia semakin yakin bahwa Dito adalah orang yang tepat untuknya.
Namun, Dito masih ragu mengungkapkan perasaannya. Baginya, Rini seperti bintang di langit, terlalu jauh untuk digapai.
“Saya cuma penjual nasi kucing, Mbak. Apa pantas menyukai seseorang seperti kamu?” gumam Dito suatu hari saat Rini bertanya kenapa ia selalu menjaga jarak.
Rini terdiam sejenak. Lalu, dengan tegas ia menjawab, “Mas Dito, cinta itu nggak peduli siapa kita. Yang penting hati kita tulus.”
Perkataan Rini menyentuh hati Dito. Ia akhirnya mengungkapkan perasaannya, dan mereka pun resmi menjalin hubungan.
Namun, perjalanan cinta mereka tidak mudah. Ayah Rini, Pak Darmawan, adalah seorang pengusaha sukses yang memimpikan anaknya menikah dengan pria yang sepadan. Ketika mengetahui hubungan Rini dengan Dito, ia langsung menentang.
“Kamu mau masa depanmu hancur, Rini? Apa yang bisa dilakukan penjual nasi kucing untuk membahagiakanmu?” bentaknya.
Rini tetap teguh. “Ayah, kebahagiaan itu bukan soal harta. Dito pekerja keras dan punya hati yang baik. Itu sudah cukup bagi saya.”
Meski mendapat penolakan, Rini dan Dito tidak menyerah. Dito mulai menabung untuk membuka usaha lain, sementara Rini terus mendukungnya.
Setahun kemudian, Dito berhasil membuka kedai kopi kecil di dekat kampus Rini. Usahanya berkembang pesat, berkat bantuan promosi dari Rini dan teman-temannya. Pak Darmawan, yang awalnya meremehkan Dito, mulai melunak setelah melihat kegigihan pemuda itu.
Pada suatu malam, Pak Darmawan mengunjungi kedai kopi Dito. Ia melihat langsung bagaimana Dito bekerja keras dan melayani pelanggan dengan ramah.
“Dito,” kata Pak Darmawan tiba-tiba.
Dito menoleh, terkejut melihat kedatangan Pak Darmawan. “Selamat malam, Pak.”
Pak Darmawan mengangguk. “Kamu pekerja keras. Saya akui itu. Kalau kamu bisa terus seperti ini, saya tidak akan menghalangi hubunganmu dengan Rini.”
Kata-kata itu membuat Dito lega. Ia pun bertekad untuk terus membuktikan bahwa ia pantas untuk Rini.
Hubungan Dito dan Rini menjadi bukti bahwa cinta yang tulus dapat mengalahkan semua rintangan. Mereka terus berjuang bersama, saling mendukung di setiap langkah.
Dan di suatu malam di angkringan kecil itu, Dito dengan malu-malu berkata kepada Rini, “Cinta kita memang seperti nasi kucing, ya, Rin. Sederhana, tapi pedasnya terasa sampai ke hati.”
Rini tertawa mendengar ucapan Dito, tetapi ia mengangguk setuju. “Dan selalu bikin rindu,” tambahnya.
Mereka tertawa bersama, di bawah langit Yogyakarta yang penuh bintang. Cinta mereka, sepedas nasi kucing, akan terus membara di setiap langkah kehidupan.