Sore itu langit tampak murung. Awan kelabu menggantung di atas desa kecil di lereng bukit. Angin berembus lembut membawa aroma tanah basah, sisa hujan siang tadi. Dari beranda rumah kayu sederhana, Kakek Tarubaya duduk bersandar di kursi rotan tuanya, menatap hamparan sawah yang mulai menguning. Di pangkuannya, cucunya yang berusia sepuluh tahun, Wilson Dirgantara, bersandar sambil menggenggam secangkir cokelat hangat.
“Kek, kenapa Tuhan suka kasih hujan, padahal orang-orang maunya langit cerah?” tanya Wilson polos.
Kakek Tarubaya tersenyum. Keriput di wajahnya bergetar halus saat ia mengusap rambut cucunya yang lebat dan hitam.
“Karena, Nak… kalau tak ada hujan, pelangi takkan pernah muncul. Begitu juga hidup. Kadang kita perlu melewati hujan dulu sebelum melihat keindahan.”
Wilson mengerutkan dahi. Ia menatap jauh ke langit yang masih meneteskan sisa hujan. “Tapi kalau hujannya terus-menerus, gimana, Kek? Apa pelanginya bisa hilang?”
Kakek terdiam sejenak. Pandangannya beralih ke arah taman kecil di depan rumah, tempat Nini Ragarunting tengah memetik bunga kamboja yang jatuh. Ia menatap istrinya dengan pandangan lembut pandangan yang sama seperti puluhan tahun lalu ketika mereka masih muda dan menanam pohon kamboja itu bersama.
“Tidak, Nak,” ujarnya pelan. “Pelangi tak pernah hilang. Kadang ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk muncul.”
Wilson mengangguk kecil, meski matanya masih menyiratkan rasa ingin tahu.
Nini naik ke beranda sambil membawa secangkir teh melati. “Kalian berdua ini bicara tentang pelangi atau tentang hidup?” godanya sambil tersenyum.
Kakek tertawa kecil. “Dua-duanya, Nini. Hidup ini kan seperti perjalanan panjang. Ada tikungan, tanjakan, dan jalan berbatu. Kadang kita tertawa, kadang kita menangis. Tapi selama kita berjalan bersama, semuanya jadi ringan.”
Nini duduk di samping suaminya, menatapnya dengan kasih sayang yang tak pernah luntur meski waktu telah mengikis warna rambut dan kelincahan tubuh mereka.
“Dulu waktu kamu jatuh dari sepeda motor di jalan menanjak itu, aku hampir menyerah. Tapi kamu cuma bilang, ‘Nini, jangan takut. Luka akan sembuh, asal kita tetap melangkah.’ Dan benar saja, sekarang kita masih di sini, bersama.”
Wilson tersenyum, melihat kakek dan neneknya saling pandang seperti dua bintang tua yang masih menyala di langit malam.
“Berarti… hidup itu kayak perjalanan panjang, ya, Kek?” tanyanya lagi.
“Betul, Nak,” jawab Kakek lembut. “Dan perjalanan itu nggak selalu mulus. Kadang kita capek, pengin berhenti. Tapi ingat, setiap langkah yang kita ambil, sekecil apa pun, tetap berarti. Setiap luka yang kau rasakan akan sembuh, dan setiap air mata yang jatuh akan digantikan oleh senyuman.”
Wilson menunduk. Ia teringat ibunya yang sedang sakit di kota. “Berarti Mama juga bakal sembuh, ya, Kek?”
Kakek Tarubaya menatap cucunya lama-lama. “Tentu, Nak. Tuhan nggak pernah memberi ujian tanpa alasan. Kita belajar sabar. Belajar kuat. Seperti benih padi yang harus direndam dulu dalam air sebelum tumbuh.”
Nini menepuk bahu Wilson lembut. “Kamu tahu, dulu waktu ibumu kecil, dia juga sering nanya hal yang sama. ‘Kenapa hidup suka bikin kita sedih, Mak?’ Kataku, karena tanpa sedih, kita nggak tahu rasanya bahagia.”
Wilson memandangi kedua kakek-neneknya. Ia mulai paham, meski belum sepenuhnya. Tapi di matanya kini ada sinar yang baru sinar pengertian kecil yang mulai tumbuh.
Senja pun datang. Langit yang tadi kelabu mulai memudar menjadi jingga keemasan. Burung-burung melintas pulang ke sarang, dan di ufuk barat, seulas pelangi tipis muncul, melengkung indah di atas sawah.
“Kek, lihat! Pelanginya muncul!” teriak Wilson gembira sambil menunjuk ke arah langit.
Kakek Tarubaya menatap ke sana dengan mata berbinar. Ia menggenggam tangan Nini, hangat dan lembut seperti dulu.
“Nah, itu jawabannya, Nak. Setelah hujan, selalu ada pelangi. Setelah gelap, selalu ada terang. Begitu juga dengan hidup. Tak peduli seberapa berat hari ini, besok pasti ada harapan.”
Wilson tersenyum, lalu memeluk kakeknya erat. Di dada tua itu ia merasa aman seperti dunia yang menenangkannya setelah badai.
Malam tiba. Di dalam rumah, suara jangkrik berpadu dengan desir angin yang menyusup lewat jendela. Nini tengah menyiapkan kasur kecil untuk Wilson di dekat tungku, sementara Kakek Tarubaya duduk di kursi goyang sambil memainkan seruling bambu kesayangannya. Nada-nadanya lembut, seperti cerita lama yang dibisikkan angin.
Wilson sudah setengah tertidur, tapi masih sempat berbisik, “Kek… kalau nanti aku besar, aku mau jadi seperti Kakek. Nggak pernah menyerah.”
Kakek tersenyum. “Itu bagus, Nak. Tapi ingat, bukan berarti Kakek nggak pernah sedih. Kakek juga pernah ingin menyerah. Bedanya, Kakek selalu ingat satu hal.”
“Apa, Kek?”
“Bahwa Tuhan selalu punya alasan untuk setiap luka. Kadang kita nggak ngerti sekarang, tapi suatu hari nanti, semua akan terasa masuk akal.”
Wilson mengangguk pelan. Ia pun terlelap dengan senyum kecil di wajahnya.
Kakek menatap cucunya yang tertidur damai, lalu menatap istrinya yang tengah menyelimuti bocah itu dengan lembut. Ia berbisik lirih, “Nini, kalau umurku tak panjang, jaga dia, ya.”
Nini menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Jangan bicara begitu, Tarubaya. Kau tahu aku tak bisa jalan tanpa kau di sampingku.”
Kakek tertawa kecil. “Bukan jalan kaki yang kumaksud, Nini. Tapi jalan hidup. Kita sudah berjalan lama, melewati banyak hujan dan badai. Tapi satu hal yang selalu membuatku kuat: cintamu.”
Nini terdiam. Air mata menetes tanpa suara. Ia menggenggam tangan suaminya, erat, hangat, seolah tak ingin dilepaskan.
“Kau tahu, Tarubaya… setiap kali aku takut kehilanganmu, aku hanya ingat satu hal: Tuhan tidak pernah memberi ujian tanpa alasan. Dan aku yakin, kalaupun nanti aku harus berjalan sendiri, kau tetap bersamaku dalam doa.”
Kakek tersenyum, menatapnya dengan cinta yang tak terucap.
“Hidup ini, Nini, seperti yang sering kukatakan ke Wilson. Jangan berhenti hanya karena lelah, jangan menyerah hanya karena sakit. Karena selama masih ada cinta, langkah kita akan menemukan jalannya.”
Malam itu, di rumah kayu kecil di kaki bukit, cinta dua insan tua menyala lembut seperti lentera. Dan di luar sana, pelangi yang tadi muncul di senja, masih meninggalkan bias warnanya di langit malam tanda bahwa setiap hujan selalu membawa keindahan baru bagi mereka yang tetap melangkah.
Hidup ini seperti perjalanan panjang yang penuh tikungan, tanjakan, dan jalan berbatu. Kadang kita tertawa, kadang kita menangis.
Ada hari-hari di mana kita merasa kuat, tapi ada juga saat di mana kita merasa ingin menyerah.
Namun, ingatlah… setiap langkah yang kau ambil, sekecil apa pun, tetap berarti. Setiap luka yang kau rasakan akan sembuh, dan setiap air mata yang jatuh akan digantikan oleh senyuman.
Jangan berhenti hanya karena lelah, jangan menyerah hanya karena sakit. Tuhan tidak pernah memberi ujian tanpa alasan. Selalu ada pelangi setelah hujan, selalu ada cahaya setelah kegelapan.
Percayalah, kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Tetaplah melangkah, karena dunia masih punya banyak keindahan yang menunggumu.
Fritz Triz Huntara – Penulis (Buku Pelajaran, Novel, Cerpen), Guru IT
Cerpen “Pelangi di Ujung Jalan” karya Papi Huntara ini menyajikan kisah sederhana namun menyentuh tentang hubungan antara seorang kakek dan cucunya.
Cerita nya sangat berkesan
wah sangat menarik sekali
ceritanya sangat bagus dan seru
Cerita yang menginspirasi dan moral velue yang di dapatkan adalah
“Tetaplah berjuang dan pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup, karena kamu lebih kuat dari yang kamu kira dan selalu ada harapan serta keindahan setelah penderitaan.”
kalau tak ada hujan, pelangi takkan pernah muncul. Begitu juga hidup. Kadang kita perlu melewati hujan dulu sebelum melihat keindahan.”
Keluarga yang indahh,dann lingkungan yang sejuk membuat semuanya terasa sejukk
keluarga yang indah dan lingkungan yang sejuk
Keluarga yang indah dan lingkungan yang sejuk membuat mereka bahagia
hidup ini seperti perjalanan panjangg to penuh tikungan
Pesannya adalah:Jangan menyerah*: Kakek Tarubaya memberikan pesan kepada Wilson untuk tidak menyerah dalam menghadapi kesulitan, karena Tuhan selalu punya alasan untuk setiap luka dan setiap ujian.
Sayangilah keluarga mu
Cerpennya keren! 👍 Awalnya biasa, tapi makin ke sini makin nyentuh hati. Gue suka banget sama perumpamaan hujan dan pelangi, kayak ngasih semangat buat tetep kuat walau lagi susah. Kakeknya bijak banget, kayak guru kehidupan. Neneknya juga sweet banget sama kakek, bikin iri pengen punya hubungan kayak mereka. Alurnya enak dibaca, deskripsi tempatnya juga detail. Endingnya agak sedih sih, tapi banyak pesan moral yang bisa diambil. Intinya, jangan nyerah sama keadaan dan selalu ada harapan setelah kesulitan Cocok banget buat bahan diskusi di kelas!
PELANGI DI UJUNG JALAN
Cerita ini mengisahkan momen hangat antara Kakek Tarubaya, Nenek Nini Ragarunting, dan cucu mereka Wilson Dirgantara, di sebuah desa kecil yang tenang. Di tengah suasana senja setelah hujan, Wilson bertanya tentang hujan dan pelangi. Kakeknya menjelaskan bahwa kehidupan, seperti cuaca, memiliki hujan dan terang—dan bahwa pelangi hanya muncul setelah hujan. Ini menjadi metafora untuk harapan setelah kesedihan, kuat dalam menghadapi cobaan, dan makna ketabahan dalam hidup.
Mereka berbicara tentang perjalanan hidup, luka, dan kekuatan cinta yang menyatukan keluarga meski waktu dan usia terus berjalan. Wilson yang cemas akan penyakit ibunya mendapatkan penguatan dari kisah masa lalu kakek dan neneknya—tentang tidak menyerah meski banyak rintangan, serta percaya bahwa setiap cobaan punya makna.
Cerita ditutup dengan momen mengharukan ketika Kakek Tarubaya dan Nenek Nini saling menguatkan, dan Wilson pun tertidur dengan harapan dan semangat baru. Pelangi yang muncul menjadi simbol bahwa selalu ada keindahan di balik badai.
PESAN MORAL
•Setiap ujian hidup punya alasan dan tujuan.
•Jangan menyerah, karena setiap luka bisa sembuh.
•Cinta dan kebersamaan membuat perjalanan hidup lebih ringan.
•Setelah hujan selalu ada pelangi – setelah kesedihan akan datang kebahagiaan.
Ada hari-hari di mana kita merasa kuat, tapi ada juga saat di mana kita merasa ingin menyerah
Sore itu langit tampak murung. Awan kelabu menggantung di atas desa kecil di lereng bukit. Angin berembus lembut membawa aroma tanah basah, sisa hujan siang tadi. Dari beranda rumah kayu sederhana, Kakek Tarubaya duduk bersandar di kursi rotan tuanya, menatap hamparan sawah yang mulai menguning. Di pangkuannya, cucunya yang berusia sepuluh tahun, Wilson Dirgantara, bersandar sambil menggenggam secangkir cokelat hangat.
Ceritanya hangat dan penuh pesan moral. Alurnya bisa lebih menarik jika diberi sedikit dinamika atau konflik.
ceritanya sangat menarik
Ada hari-hari di mana kita merasa kuat, tapi ada juga saat di mana kita merasa ingin menyerah
cerita nya sangat menarik, dan banyak pesan” moral
cerita yang sangat mengesankan dan menarik
Dari cerita di atas adalah jangan lah kamu menyerah hal baik pasti akan menunggu mu
memotivasi banget cerita nya
mengapa pelangi begitu indah
cerita sangat bagus dan menarik👍🏻
setelah membaca cerpen tersebut saya secara tidak langsung mendapat motivasi yang tidak bisa saya jelas disini.
Karena, Nak… kalau tak ada hujan, pelangi takkan pernah muncul. Begitu juga hidup. Kadang kita perlu melewati hujan dulu sebelum melihat keindahan.”