BAJU MOESLIM DARI GURUKU
Karya Papi Huntara
Hari Guru Nasional selalu menghadirkan ruang hening di hati Huntara. Ada sesuatu di sana campuran rindu, syukur, dan luka kecil yang sulit dijelaskan. Setiap tahun, tanggal itu bukan sekadar peringatan bagi Huntara. Ia seperti pintu yang mengantarnya kembali pada masa-masa ketika hidup terasa sederhana, penuh cita-cita, dan tentu saja… penuh dengan pertemuan yang membentuk dirinya menjadi manusia seperti sekarang.
Huntara terlahir sebagai putra Bungsu dari lima bersaudara Bapak Yosowilangun, seorang Wirausaha sukses di Jakarta. Sejak kecil, hidupnya tidak kekurangan apa pun. Rumah besar walaupun tidak mewah, pendidikan terbaik, fasilitas yang memadai. Segalanya seperti sudah disiapkan agar ia kelak menjadi seseorang yang membanggakan keluarga.
Mimpi yang ia pilih pun bukan sembarangan: ia ingin menjadi dokter.
Baginya, menjadi dokter adalah cara paling nyata menyelamatkan hidup seseorang. Ia membayangkan dirinya mengenakan jas putih, menenangkan pasien, dan membantu banyak orang. Orang tuanya mendukung penuh mimpi itu.
Namun, hidup dengan cara yang misterius tidak selalu memberikan apa yang kita minta.
Ketika usaha masuk ke fakultas kedokteran menemui jalan buntu, Huntara merasa seperti gagal memenuhi harapan orang tua. Ia lalu mengambil jurusan Teknik Komputer, mencoba bangkit dari kekecewaan. Ia lulus sebagai Sarjana Komputer, dan dengan gelar itu, ia seharusnya melangkah ke dunia teknologi.
Namun sesuatu tiba-tiba menariknya ke arah lain.
Sebuah lowongan guru di SMK membutuhkan tenaga pengajar komputer. Sekadar rasa penasaran, Huntara mencoba melamar. Tidak ada ekspektasi apa pun. Namun ia diterima dan tanpa ia sadari, keputusan sederhana itu menjadi awal dari perjalanan panjang yang menggugah hatinya.
Pada hari pertama mengajar, Huntara berdiri di depan kelas dengan jantung berdebar. Murid-murid memandangnya, menunggu, menguji, seolah berkata, “Apa yang bisa guru muda ini lakukan untuk kami?”
Tangan Huntara sempat berkeringat, tetapi di detik berikutnya, sebuah kilas balik tiba-tiba muncul dalam ingatannya.
Senyum seseorang. Suara yang tegas namun lembut. Sosok yang berdiri di depan kelas dengan penuh wibawa.
Bapak Soekarno, HS.
Guru Kesenian yang dulu ia idolakan saat SMP. Guru yang bukan hanya mengajarkan cara memegang kuas, tetapi juga cara memegang hidup.
Sejenak, napas Huntara terhenti. Kenangan itu datang begitu jelas, seolah waktu menariknya kembali puluhan tahun ke belakang.
Huntara kecil adalah anak yang canggung, pendiam, dan sering minder meski berasal dari keluarga berada. Ia tidak banyak bicara, namun selalu datang ke sekolah dengan semangat tinggi setiap kali ada pelajaran seni.
Bukan karena pelajarannya, tetapi karena sosok gurunya Bapak Soekarno, HS.
Beliau adalah kepala sekolah sekaligus guru kesenian. Tubuhnya tegap, langkahnya teratur. Wajahnya ramah, namun disiplin. Setiap kalimat yang keluar dari bibirnya seperti membawa pesan kehidupan.
“Adab itu sebelum ilmu,” begitu salah satu kalimat yang paling sering ia ulang.
Beliau mengajarkan seni dengan cara yang berbeda. Warna bukan hanya warna, melainkan simbol perasaan. Garis bukan hanya garis, tetapi penegasan sikap hidup. Dan harmoni bukan hanya komposisi visual, melainkan tentang menjaga hati agar tetap lurus dalam keadaan apa pun.
Huntara kecil selalu kagum melihat bagaimana seorang guru bisa begitu cerdas dan bijaksana, begitu sabar, dan begitu berarti dalam hidup banyak anak. Kadang, ketika pelajaran selesai, Huntara duduk lebih lama di kelas, sekadar memperhatikan gurunya menyusun perlengkapan.
Namun waktu mengalir tanpa ampun.
Setelah lulus SMP, Huntara sibuk dengan sekolah menengah, kuliah, dan kehidupannya sendiri. Perlahan, bayangan Bapak Soekarno makin memudar, hingga jejak itu hilang begitu saja ditelan tahun.
Setelah menjadi guru, entah mengapa kerinduan itu justru muncul kembali.
Setiap kali Huntara mengoreksi tugas murid, ia teringat pada bagaimana gurunya mengapresiasi setiap goresan gambar mereka. Setiap kali ia memberi nasihat kecil, ia sadar bahwa kata-kata itu berasal dari memori masa kecilnya. Setiap kali ia berdiri di depan kelas, ia merasa sedang menirukan seseorang yang sangat ia kagumi.
Suatu malam, ketika Huntara membuat materi praktek atau LKPD, angin sepoi masuk dari jendela, dan Huntara mendadak berbisik, seolah kepada dirinya sendiri:
"Bagaimana kabar beliau sekarang?"
Pertanyaan itu menancap dalam. Menjadi suara yang terus mengganggu pikirannya dari hari ke hari. Akhirnya Huntara mulai mencari. Ia menghubungi teman SMP,gurunya, alumni, tetangga lama. Tidak mudah menemukan orang yang sudah menghilang begitu lama. Tetapi ia terus berusaha.
Hingga suatu hari, Tuhan menjawab usahanya.
Bu Asih guru huntara mengirim pesan:
"Kayaknya ini nomor beliau, Mas Huntara."
Huntara menggenggam ponselnya lebih erat daripada sebelumnya. Ia menatap angka-angka itu panjang sekali, sebelum akhirnya mengetik pesan.
“Assalamualaikum, Pak. Ini Huntara… murid Bapak dulu.”
Beberapa detik terasa seperti beberapa tahun.
Lalu, balasan itu datang.
“Waalaikumussalam… Huntara? Yang dulu suka menggambar pohon kelapa di buku tugas itu dan suka menyanyi lagu My Bonnie lies over the Ocean? Alhamdulillah, kabar saya baik, Nak.” Huntara menutup wajahnya. Merasa seperti waktu kembali memeluknya.
Beberapa minggu kemudian, Huntara memutuskan untuk mengunjungi guru tercintanya itu.
Ketika sampai di rumah sederhana itu, hati Huntara serasa diremas. Sosok gagah yang dulu ia kenal kini duduk di kursi roda. Rambutnya putih semua. Tubuhnya mengecil, kulitnya keriput, tangannya bergetar. Bahkan suaranya tidak sekuat dulu.
Namun satu hal tidak berubah: matanya.
Mata Pak Soekarno tetap hangat dan teduh. Masih memancarkan kasih yang sama.
“Pak…” suara Huntara lirih.
“Huntara, kemarilah…” ujar Pak Soekarno sembari mengulurkan tangan.
Tangan tua itu dingin, namun sentuhannya masih terasa penuh kekuatan.
Mereka berbincang lama. Tentang masa lalu. Tentang seni. Tentang hidup. Tentang murid-murid yang dulu pernah mereka temui.
Saat itu, Huntara menyadari bahwa tidak ada hal yang lebih menyedihkan daripada melihat guru luar biasa yang dulu menjadi pilar kuat… kini hanya bisa duduk di kursi roda menunggu hari. Namun Huntara tidak ingin menunjukkan kesedihannya. Ia ingin Pak Soekarno merasa dihargai, bukan dikasihani.
Sejak hari itu, komunikasi mereka rutin terjadi. Hampir setiap minggu.
Kadang hanya pesan singkat: “Pak sehat?”
“Atau bagaimana tekanan darahnya hari ini?”
“Sudah minum obat?”
Kadang cerita panjang: Tentang murid-murid Huntara.
Tentang guru-guru zaman sekarang.
Tentang kehidupan yang berjalan terlalu cepat.
Huntara merasa seperti menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang.
Suatu sore, tiba-tiba Pak Soekarno mengirim foto sebuah paket.
“Ini untuk kamu, Nak,” tulis beliau.
Paket itu berisi baju Moeslim, kopiah, dan sorban.
“Kalau kamu pakai saat sholat, ingatlah gurumu yang sudah semakin renta ini.”
Saat membaca pesan itu, Huntara terdiam lama. Ia memegang baju Moeslim itu, lalu menutup mata. Sejak kecil sampai hari itu… belum pernah ada guru yang memberikan sesuatu dengan begitu tulus kepadanya.
Tiba-tiba ia merasa sangat kecil. Sangat beruntung. Dan sangat hancur pada saat yang sama. Karena ia paham, manusia yang memberikan hadiah itu… sedang berpacu dengan waktu.
Hari Guru Nasional pun tiba.
Sekolah ramai dengan ucapan, foto, dan acara kecil. Tetapi hati Huntara terasa kosong. Hari itu justru membawa banyak kenangan yang membuat dadanya sesak.
Di ruang guru, ia membuka foto dirinya bersama Pak Soekarno. Foto itu diambil beberapa minggu lalu, ketika ia kembali berkunjung. Dalam foto, senyum Pak Soekarno tampak tulus, namun jelas tersimpan rasa lelah yang dalam.
Huntara merasakan tenggorokannya mengencang.
Ia lalu membuka WhatsApp dan mengetik pelan.
“Selamat Hari Guru, Pak. Terima kasih karena telah menjadikan saya manusia. Jasa Bapak tidak akan pernah saya lupakan. Mohon doanya agar saya bisa menjadi guru yang baik seperti Bapak.”
Balasan datang lama sekali dua jam lebih. Mungkin karena beliau kesulitan mengetik, atau mungkin karena sedang beristirahat. Namun ketika balasan itu muncul… air mata Huntara jatuh begitu deras. “Selamat Hari Guru, Huntara. Bapak bangga sekali padamu. Engkau sudah melampaui gurumu ini. Teruskan perjalananmu… meski suatu hari Bapak tidak bisa lagi membalas pesanmu.”
Huntara tersentak.
Kalimat terakhir itu menghantam seperti badai.
Ia menggenggam ponselnya erat. Tidak tahan membaca ulang kata “tidak bisa lagi membalas pesanmu.” Seolah Pak Soekarno tahu… bahwa waktunya tidak panjang lagi.
Malam itu Huntara sholat dengan baju Moeslim pemberian gurunya. Setiap sujud terasa berat. Setiap doa seakan keluar dari kedalaman hatinya yang paling rapuh.
Ia berbisik lirih sambil menahan tangis:
“Ya Allah… panjangkan umur guru terbaikku. Jika Engkau memanggilnya nanti… tempatkan dia di tempat paling indah.”
Di antara sujud itu, Huntara merasakan betapa besarnya cinta seorang murid kepada gurunya cinta yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, namun bisa dirasakan sampai ke tulang.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, namun Huntara menyimpan kegelisahan. Setiap kali ponselnya berbunyi, ia takut membaca pesan yang buruk. Setiap kali Pak Soekarno butuh waktu lama untuk membalas, Huntara merasa cemas.
Hingga suatu pagi, gurunya mengirim pesan:
“Maaf Nak, Bapak sedikit sulit bicara akhir-akhir ini. Tapi hati Bapak senang setiap kamu datang atau mengirim kabar.” Huntara membaca itu sambil menahan tangis. Ia tahu… kondisi gurunya sedang menurun.
Dan Huntara semakin sering berkunjung. Meski jauh, meski melelahkan, ia tetap datang. Kadang hanya duduk menemani gurunya minum teh, kadang hanya membacakan berita, kadang hanya diam menikmati kehadiran seseorang yang begitu berarti.
Setiap pulang, Huntara selalu memandangi punggung rapuh itu.
Dan dalam hati ia berkata:
“Andai waktu bisa lebih pelan…”
Hari Guru Nasional tahun itu menjadi hari paling menyedihkan dalam hidup Huntara.
Namun juga paling bermakna.
Di depan kelas, saat mengajar, ia melihat murid-murid menatapnya dengan cara yang sama seperti dulu ia menatap Pak Soekarno.
Dan tiba-tiba, ia mengerti.
Bahwa menjadi guru mungkin bukan cita-citanya.
Namun guru adalah takdir yang dipilihkan Tuhan untuknya.
Takdir yang menghubungkannya dengan gurunya kembali.
Takdir yang membentuk dirinya menjadi seseorang yang mengerti arti sebuah ilmu, arti kasih, arti keikhlasan.
Tanpa sadar, air matanya jatuh saat menulis di papan tulis.
Anak-anak tidak tahu bahwa air mata itu bukan karena sedih… tetapi karena penuh rasa syukur dan rindu yang dalam.
Sebelum pulang, Huntara menulis di buku hariannya:
“Seorang guru tidak mati ketika tubuhnya berhenti bernafas.
Ia hidup selama nilai-nilai yang ia tanam terus mengalir ke hati murid-muridnya.”
Ia menutup buku itu perlahan.
Lalu menatap langit sore yang mulai jingga warna favorit Pak Soekarno.
Dalam keheningan, Huntara berbisik:
“Terima kasih, Pak… untuk segalanya.”
Dan di dalam hatinya, ia tahu:
Meskipun tubuh sang guru akan rapuh dimakan usia…
Kasihnya akan tetap hidup.
Dalam dirinya.
Dalam murid-muridnya.
Dalam setiap jari yang menulis, setiap kata yang dinasehatkan, dan setiap doa yang dipanjatkan.
Karena guru sejati tidak pernah pergi.
Ia tinggal di tempat paling indah: di hati muridnya, selamanya.
PROFIL PENULIS
Papi Huntara adalah sosok guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga membentuk generasi masa depan melalui dedikasi dan inovasinya di dunia pendidikan. Sebagai Guru Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ) sekaligus Ketua Program Keahlian Teknik Jaringan Komputer dan Telekomunikasi (TJKT) di SMKN 2 Kalianda, beliau konsisten menanamkan kompetensi teknis dan karakter kepada para siswanya.
Selain itu, Papi Huntara juga memegang peran strategis sebagai Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) P-1 di SMKN 2 Kalianda, memastikan kualitas dan standar kompetensi lulusan sesuai kebutuhan industri. Keahliannya di bidang pendidikan tidak berhenti di sekolah; beliau aktif menulis buku pelajaran, cerpen, novel, dan esai, membuktikan bahwa dunia literasi dan pendidikan dapat berjalan beriringan. Pengaruhnya meluas ke tingkat provinsi dan nasional.
Sebagai Ketua MGMP Teknik Komputer dan Jaringan Lampung Selatan serta Bendahara MGMP TKJ Provinsi Lampung, Papi Huntara senantiasa mendorong kolaborasi guru, berbagi pengetahuan, dan meningkatkan kualitas pendidikan vokasi di bidang teknologi.
Kiprahnya juga menjangkau organisasi kemasyarakatan dan kesenian, termasuk sebagai Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kecamatan Penengahan, Sekretaris Forum Guru Motivator Penggerak Literasi Kabupaten Lampung Selatan, dan anggota aktif di bidang penelitian dan pengembangan Persatuan Artis Musik Dangdut Indonesia (PAMDI) Provinsi Lampung.
Dalam bidang akademik, Papi Huntara menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) Jakarta dengan jurusan Teknik Informatika. Beliau kemudian melanjutkan studi S2 di Universitas Lampung pada program Teknologi Pendidikan. Pada tahun 2024, Papi Huntara memperluas kompetensinya dengan menyelesaikan Program Pendidikan Vokasi bidang Computer Science dari Harvard University, USA, dengan predikat kelulusan Honors.
Dengan kombinasi keilmuan, kreativitas, dan kepemimpinan, Papi Huntara menjadi contoh nyata bahwa seorang pendidik mampu menginspirasi, membimbing, dan memajukan komunitasnya, baik di dunia akademik maupun sosial. Beliau bukan sekadar guru beliau adalah penggerak perubahan, penulis inspiratif, dan mentor bagi generasi masa depan.