HADIAH ISTIMEWA DI HARI GURU
Karya Papi Huntara
Aku seorang Duda lansia berusia 68 tahun. Usia yang oleh sebagian orang disebut senja, tetapi bagiku lebih mirip sore yang teduh. Matahari sudah tidak setinggi dulu, namun cahayanya justru lebih jujur tidak menyilaukan, tetapi menghangatkan.
Hari ini, 25 November 2025, suasana Indonesia terasa sedikit lebih lembut dari biasanya. Angin seolah ikut menundukkan kepala, menghormati para pendidik yang merayakan Hari Guru Nasional ke-80.
Ada sesuatu yang berbeda di udara pagi itu. Entah kenapa, matahari terbit dengan warna yang lebih hangat, seakan tahu bahwa hari ini bukan hari biasa. Dari balik jendela rumah, aku memandangi halaman yang masih basah oleh embun. Usia boleh tua, lutut boleh sering protes, tapi hati… ah, hati seorang ayah dan kakek ternyata masih mudah tersentuh hal-hal sederhana.
Dari Sabang sampai Merauke, dari upacara kecil di halaman sekolah sampai kiriman foto di media sosial, semua membuktikan satu hal: guru memang bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan jiwa.
Aku melihat layar ponsel dengan kacamata baca yang kadang lebih sering bertengger di kepala daripada di hidung. Status demi status bermunculan. Ada murid yang menulis surat dengan tulisan tangan seadanya, ada yang memberi bunga plastik, buket, ada juga yang sekadar memeluk gurunya sambil menangis. Lucu ya, pikirku, dulu aku sekolah jarang-jarang pelukan, yang sering justru cubitan karena lupa PR.
Putraku, Huntara, juga ikut berdiri tegak dalam barisan guru. Di layar ponsel, kulihat senyumnya terselip di antara rekan guru dan murid-murid yang membawa bunga.
Ia tampak gagah. Rambut hitamnya rapi, berpeci, berkacamata, dan memakai batik PGRI dengan penuh kebanggaan. Saat itu aku tersenyum sendiri. Dulu aku mengantarnya ke sekolah sambil menggendong tasnya. Sekarang, ia berdiri di depan murid-muridnya, menjadi arah bagi masa depan orang lain. Hidup memang pandai sekali memutar peran.
Aku buka video kiriman cucu kesayanganku, siswa kelas 8 SMP, tampak gagah menyerahkan hadiah untuk wali kelas dan kepala sekolahnya, Kedua guru ini idolanya. Ah, hatiku hangat… mungkin ini yang disebut “bahagia versi seorang kakek.”
Cucuku itu berdiri sedikit kaku, tangannya gemetar saat menyerahkan bingkisan. Aku tahu persis rasa gugup itu. Melihatnya, hatiku seperti dipeluk kenangan. Dulu aku ayah, sekarang aku kakek. Dulu memberi nasihat, sekarang sering cuma bisa tersenyum bangga.
Sementara di televisi, para siswa berlomba-lomba memberikan kado istimewa untuk bapak dan ibu guru mereka. Di layar kaca, ada yang memberikan lukisan, ada yang menyerahkan kue buatan sendiri yang bentuknya entah seperti apa, tapi penuh niat baik. Aku tertawa kecil. Aku tahu, bagi seorang guru, dikasih penghapus pun rasanya sudah seperti emas batangan, asal itu datang dari keikhlasan.
Bahagia ternyata tidak selalu soal harta, tidak selalu soal pencapaian besar. Kadang bahagia hanyalah duduk diam, menatap layar, lalu berkata dalam hati, “Ya Allah, terima kasih karena keluargaku tumbuh menjadi manusia-manusia baik.”
Beberapa saat setelah melihat Televisi dan Video kiriman anak dan cucuku, aku menelepon anakku yang tinggal di Kalianda Lampung Selatan, si guru muda yang selalu penuh prinsip itu. Dengan gaya seorang ayah yang ingin terlihat keren rambut hitam berpeci, memakai baju batik PGRI dan berkacamata aku bertanya:
“Nak, mau Papa kasih hadiah apa? Hari Guru kan spesial. Papa kasih opsi ya… Mau liburan ke Amsterdam? Atau mobil baru? Atau terserah pilih sendiri?”
Huntara tertawa pelan, kemudian menjawab dengan suara yang tenang namun menusuk ke hati, “Papa… hadiah yang aku mau itu sederhana. Papa jangan menikah lagi. Sama satu lagi… jangan kelayapan di Facebook. Buatku, itu sudah hadiah yang paling mahal. Aku nggak mau punya ibu tiri, aku gak mau papa di sakiti siapa pun, aku gak mau harta papa habis.”
Aku terdiam. Bukan karena sedih, tapi karena merasa seperti baru saja ditarik telingaku oleh kehidupan sendiri.
Aku sampai mengusap dada. Anak ini… pikirku. Di usianya yang sibuk dengan murid dan tanggung jawab, masih sempat memikirkan ayahnya yang sudah lansia. Mau kasih liburan ke Amsterdam ditolak. Mau kasih mobil ditolak. Yang diminta cuma dua: Papa tetap single dan Papa stop kelayapan di Facebook.
Lucu sekali rasanya. Hidup yang katanya semakin menua ternyata makin diawasi. Kalau dulu aku mengingatkannya jangan pulang malam, sekarang ia yang mengingatkanku jangan salah jalan di dunia maya.
Ah, dasar anakku… romantisnya kebangetan kalau urusan melindungi papa-nya. Dan lucunya, hadiah itu justru membuatku geli sendiri: ternyata di usiaku yang segini, kehidupan cintaku masih diawasi ketat seperti siswa kelas satu Sekolah Dasar.
Aku sempat tertawa di telepon. Tertawa seorang ayah yang kalah telak oleh ketulusan anaknya sendiri. Kadang hidup ini memang suka terbalik. Yang tua belajar dari yang muda. Yang merasa paling berpengalaman justru diingatkan agar lebih hati-hati.
Tapi apa pun alasannya, aku tahu permintaan itu lahir dari cinta. Cinta seorang anak yang ingin papa-nya tetap damai, tetap sehat, dan tetap menjadi rumah pertama yang tak tergantikan.
Cinta yang tidak ribut, tidak pamer, tidak berbunga-bunga. Cinta yang hadir dalam bentuk larangan lembut dan kekhawatiran yang tulus. Mungkin itulah cinta paling dewasa yang pernah kuterima.
Dan aku, seorang ayah yang sudah melewati banyak hal, hanya bisa tersenyum sambil menatap langit sore. Ternyata di Hari Guru Nasional ini, bukan hanya murid yang belajar. Aku pun belajar… bahwa kadang hadiah terbesar bukanlah barang mahal, melainkan perhatian yang tulus, walau bentuknya sedikit… “ajaib”.
Aku belajar bahwa menjadi tua bukan berarti berhenti dicintai. Justru di usia inilah cinta keluarga terasa paling jujur, paling apa adanya. Tidak ada tuntutan, tidak ada drama hanya rasa ingin saling menjaga.
Sungguh, hidup ini memang lucu.
Dan cinta keluarga, selalu romantis tanpa perlu bunga, tanpa perlu Amsterdam.
PROFIL PENULIS
Papi Huntara adalah sosok guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga membentuk generasi masa depan melalui dedikasi dan inovasinya di dunia pendidikan. Sebagai Guru Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ) sekaligus Ketua Program Keahlian Teknik Jaringan Komputer dan Telekomunikasi (TJKT) di SMKN 2 Kalianda, beliau konsisten menanamkan kompetensi teknis dan karakter kepada para siswanya.
Selain itu, Papi Huntara juga memegang peran strategis sebagai Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) P-1 di SMKN 2 Kalianda, memastikan kualitas dan standar kompetensi lulusan sesuai kebutuhan industri. Keahliannya di bidang pendidikan tidak berhenti di sekolah; beliau aktif menulis buku pelajaran, cerpen, novel, dan esai, membuktikan bahwa dunia literasi dan pendidikan dapat berjalan beriringan. Pengaruhnya meluas ke tingkat provinsi dan nasional.
Sebagai Ketua MGMP Teknik Komputer dan Jaringan Lampung Selatan serta Bendahara MGMP TKJ Provinsi Lampung, Papi Huntara senantiasa mendorong kolaborasi guru, berbagi pengetahuan, dan meningkatkan kualitas pendidikan vokasi di bidang teknologi.
Kiprahnya juga menjangkau organisasi kemasyarakatan dan kesenian, termasuk sebagai Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kecamatan Penengahan, Sekretaris Forum Guru Motivator Penggerak Literasi Kabupaten Lampung Selatan, dan anggota aktif di bidang penelitian dan pengembangan Persatuan Artis Musik Dangdut Indonesia (PAMDI) Provinsi Lampung.
Dalam bidang akademik, Papi Huntara menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) Jakarta dengan jurusan Teknik Informatika. Beliau kemudian melanjutkan studi S2 di Universitas Lampung pada program Teknologi Pendidikan. Pada tahun 2024, Papi Huntara memperluas kompetensinya dengan menyelesaikan Program Pendidikan Vokasi bidang Computer Science dari Harvard University, USA, dengan predikat kelulusan Honors.
Dengan kombinasi keilmuan, kreativitas, dan kepemimpinan, Papi Huntara menjadi contoh nyata bahwa seorang pendidik mampu menginspirasi, membimbing, dan memajukan komunitasnya, baik di dunia akademik maupun sosial. Beliau bukan sekadar guru beliau adalah penggerak perubahan, penulis inspiratif, dan mentor bagi generasi masa depan.