NOVEMBER PAMIT MALU MALU
Pagi ini, Minggu 30 November 2025, tepat di ujung bulan November yang mulai malu-malu pamit dari kalender, aku tidak menjalankan ritual sakral mingguanku: main tenis. Lutut protes, pinggang protes, bahkan sandal pun seperti ikut memprotes ketika kupakai. Maklum, semalam aku baru pulang larut dari kegiatan di Bandung.
Biasanya, hari Minggu adalah hari untuk mengejar bola, bukan mengejar jam tidur. Tapi kali ini aku memilih bantal sebagai partner tanding. Tidak ada backhand, tidak ada forehand yang ada hanyalah rebahan dan teh hangat.
Namun setelah Subuh, entah dorongan apa yang menggerakkan kaki ini menuju teras belakang. Sudah beberapa hari aku tak menengok penghuni kolam kecil itu. Kolam sederhana, tidak luas, tidak mewah tapi unik, karena isi kolamnya hanya satu jenis ikan, hidup rukun tanpa pernah bertengkar rebutan password WiFi.
Aku membawa makanan kesukaan mereka: Pelet Bukan nasi Padang, bukan ayam penyet, bukan seafood. Ikan-ikan ini masih level “makan Pelet bersyukur”.
Begitu butiran Pelet jatuh ke air, seluruh kolam berubah drama Korea: semua bergerak cepat, heboh, seolah para ekstrapenonton sedang mengejar kamera. Ikan-ikan itu berputar, menabrak satu sama lain, melambai-lambai pakai sirip seperti menyapaku:
"Apa kabar Papa Yosowilangun? Sehat, ya?"
Aku hampir menjawab lantang, “Alhamdulillah, sehat,” tapi nanti kalau ada tetangga lewat dan lihat aku ngobrol sama ikan, takutnya bukan viral tapi diundang ke evaluasi kesehatan mental.
Dua ikan yang paling besar, yang selalu berenang berdampingan, sudah kuberi nama: Yoto dan Yeti. Tidak jelas apakah mereka pasangan, tunangan, atau sekadar rekan kerja yang kebanyakan quality time. Yang jelas, mereka selalu bareng. Tidak pernah pisah. Sementara aku? Duda lansia 68 tahun yang ditemani kopi krakatoa dari kalianda lampung selatan
Kadang aku merasa kalah romantis dari ikan sendiri.
Pelet berikutnya kutaburkan. Seperti biasa, Yoto langsung menyerbu dengan gaya “cowok gentle yang tidak sabaran”. Sementara Yeti berenang pelan-pelan, penuh anggun, seperti perempuan yang tahu nilai dirinya.
Melihat mereka, aku sering bertanya dalam hati:
Kenapa romansa di kolam lebih stabil daripada romansa manusia?
Tentu saja, jawabannya sederhana:
Mereka tidak punya WhatsApp, tidak pernah salah kirim chat, dan tidak punya mantan.
Aku duduk di kursi bambu, memandangi permukaan air yang berkilau. Rasanya damai, hangat, dan sedikit lucu. Ikan-ikan itu, dengan segala kesederhanaannya, bisa menghibur lelaki tua yang lututnya kalah debat dengan tangga rumah.
Belum sempat aku tenggelam dalam filsafat kolam, ponselku berbunyi.
Nama yang muncul di layar: Huntara.
Anakku huntara tinggal di Kalianda, Lampung Selatan.Huntara memanggilku Papa.
“Assalamualaikum, Pa!” suaranya riang.
“Waalaikumsalam, Nak. Sudah sarapan?”
“Sarapan sih sudah, tapi Abiya dari tadi ribut minta video call Papa. Katanya mau lihat ikan-ikan Papa.”
Tak lama kemudian wajah Abiya muncul di layar cucuku yang sekarang menjelang remaja pelajar kelas 8 SMP,ganteng , kulitnya bersih dan waktu di sekolah dasar pernah main FTV di Jakarta
“EYANG!” teriaknya semangat.
“Nah, ini Eyang lagi sama ikan-ikan.”
“Eyang, Abiya kangen! Mana Yoto? Mana Yeti? Kok lama nggak kirim foto? Abiya mau lihat!”
Aku memutar kamera ke arah kolam.
Yoto dan Yeti langsung berenang mendekat, seperti paham sedang disorot cucunya Pemilik Rumah. Mereka berputar, berdekatan, bahkan sempat membentuk setengah lingkaran yang di mata Abiya terlihat seperti hati.
“Waaaah!” Abiya bersorak. “Eyang, itu ikan-ikan romantis banget. Mereka pacaran ya?”
Aku tertawa sampai perut hangat.
“Kayaknya sih begitu. Mereka lebih kompak dari sinetron.”
Huntara menyahut dari belakang kamera,
“Pa, Abiya bilang nanti kalau libur panjang mau ke Jakarta rumah Papa lagi. Abi kangen kolamnya.”
“Heh, kok kolamnya yang dikangenin? Eyangnya nggak?” godaku.
Abiya langsung heboh, “Kangen dua-duanya, tapi kolam lebih banyak!”
Aku terbahak.
Setelah video call selesai, rumah terasa lebih senyap. Tapi itu bukan kesepian yang mengiris; lebih seperti jeda yang manis. Seperti seseorang yang baru saja menerima pelukan jarak jauh.
Aku kembali menatap kolam.
Yoto dan Yeti masih berenang berdampingan.
Mereka tampak seperti pasangan tua yang sudah mengerti ritme satu sama lain.
Dalam hati, aku berkata pelan:
“Terima kasih, ya. Kalian berdua sudah menemani pagi Eyang.”
Tentu saja mereka tidak menjawab.
Atau mungkin menjawab dengan gelembung kecil yang naik satu-satu, lalu pecah dengan suara lucu.
Aku merasa damai.
Menjadi duda bukan berarti hidup sepi, pikirku.
Aku punya anak yang mencintai, cucu yang menggemaskan, dan dua ikan yang entah kenapa selalu membuatku merasa dihibur.
Aku menabur Pelet terakhir.
Air beriak lembut.
Yoto dan Yeti berputar lagi-lagi seperti membentuk huruf hati.
Dan aku kembali bertanya dalam hati:
“Apa kabar ikan?
”
Seakan kolam menjawab balik:
“Kami baik, Eyang.
Semoga Eyang juga selalu baik.”
Aku tersenyum kecil.
Tanganku memegang ponsel, siap mengirim foto ikan untuk Abiya.
Dalam usia 68, aku tak meminta banyak.
Cukup pagi yang tenang, suara cucu yang tawa, dan dua ikan kecil yang terus mengajarkan arti kebahagiaan sederhana.
Benar kata orang:
Kadang, cinta tidak perlu megah. Kadang, cukup Yoto dan Yeti saja.
PROFIL PENULIS
Papi Huntara adalah sosok guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga membentuk generasi masa depan melalui dedikasi dan inovasinya di dunia pendidikan. Sebagai Guru Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ) sekaligus Ketua Program Keahlian Teknik Jaringan Komputer dan Telekomunikasi (TJKT) di SMKN 2 Kalianda, beliau konsisten menanamkan kompetensi teknis dan karakter kepada para siswanya.
Selain itu, Papi Huntara juga memegang peran strategis sebagai Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) P-1 di SMKN 2 Kalianda, memastikan kualitas dan standar kompetensi lulusan sesuai kebutuhan industri. Keahliannya di bidang pendidikan tidak berhenti di sekolah; beliau aktif menulis buku pelajaran, cerpen, novel, dan esai, membuktikan bahwa dunia literasi dan pendidikan dapat berjalan beriringan. Pengaruhnya meluas ke tingkat provinsi dan nasional.
Sebagai Ketua MGMP Teknik Komputer dan Jaringan Lampung Selatan serta Bendahara MGMP TKJ Provinsi Lampung, Papi Huntara senantiasa mendorong kolaborasi guru, berbagi pengetahuan, dan meningkatkan kualitas pendidikan vokasi di bidang teknologi.
Kiprahnya juga menjangkau organisasi kemasyarakatan dan kesenian, termasuk sebagai Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kecamatan Penengahan, Sekretaris Forum Guru Motivator Penggerak Literasi Kabupaten Lampung Selatan, dan anggota aktif di bidang penelitian dan pengembangan Persatuan Artis Musik Dangdut Indonesia (PAMDI) Provinsi Lampung.
Dalam bidang akademik, Papi Huntara menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) Jakarta dengan jurusan Teknik Informatika. Beliau kemudian melanjutkan studi S2 di Universitas Lampung pada program Teknologi Pendidikan. Pada tahun 2024, Papi Huntara memperluas kompetensinya dengan menyelesaikan Program Pendidikan Vokasi bidang Computer Science dari Harvard University, USA, dengan predikat kelulusan Honors.
Dengan kombinasi keilmuan, kreativitas, dan kepemimpinan, Papi Huntara menjadi contoh nyata bahwa seorang pendidik mampu menginspirasi, membimbing, dan memajukan komunitasnya, baik di dunia akademik maupun sosial. Beliau bukan sekadar guru beliau adalah penggerak perubahan, penulis inspiratif, dan mentor bagi generasi masa depan.