Sabtu pagi, 7 Desember 2024, suasana desa Sambirejo masih terasa dingin. Kabut tipis melayang di atas pepohonan jati yang mengelilingi rumah nenek Pak Huntara. Hari itu adalah hari perpisahan bagi Pak Huntara dan sahabat dekatnya, Pak De Subiantoro. Mereka telah menghabiskan beberapa hari penuh kenangan di desa ini, tetapi kini saatnya berpisah.
Pak De Subiantoro akan kembali dulu ke Yogyakarta menggunakan travel pukul 11.00 untuk ketemu anak nya dan kemudian akan kembali ke lampung tanggal 8 Desember 2024, sementara Pak Huntara baru akan berangkat ke Lampung sore harinya dengan bus Rosalia Indah.
“Huntara, sudah siap antar aku?” tanya Pak De Subiantoro sambil merapikan tas kecilnya.
“Siap, Pak De. Semua sudah beres?” jawab Pak Huntara, menepuk bahu sahabatnya itu.
“Sudah. Jangan sampai aku tertinggal travel, bisa repot nanti,” Pak De Subiantoro terkekeh ringan, berusaha mencairkan suasana yang terasa sedikit berat.
Mereka berangkat dari rumah nenek sekitar pukul 10.15 menggunakan motor pinjaman. Jalanan desa yang berliku, dipenuhi pepohonan jati dan ladang hijau, membuat perjalanan terasa menenangkan meski hati mereka dipenuhi keharuan.
Sesampainya di depan kantor kecamatan Slogohimo, sebuah mobil travel berwarna putih dengan tulisan “Start Travel” di pintunya sudah menunggu. Pak De Subiantoro menyerahkan tiketnya kepada sopir sambil menyiapkan diri untuk perjalanan pulang.
“Huntara, terima kasih sudah menemani aku di sini. Banyak pengalaman menarik yang kita dapatkan, termasuk ‘drama malam’ di rumah nenekmu,” ujar Pak De sambil terkekeh kecil.
Pak Huntara tersenyum, meski matanya tampak sedikit berkaca-kaca. “Pak De, hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kabari aku kalau sudah sampai di Yogyakarta.”
Mereka berpelukan erat, tanda persahabatan yang begitu kuat. Mobil travel perlahan melaju, membawa Pak De Subiantoro menjauh dari pandangan. Pak Huntara berdiri memandang hingga mobil itu menghilang di tikungan jalan.
Pak Huntara kembali ke rumah nenek di Sambirejo dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega sahabatnya bisa kembali ke Yogyakarta dengan selamat. Namun, di sisi lain, ia merasa kehilangan.
Sesampainya di rumah, nenek Pak Huntara sedang duduk di beranda, duduk memegang tongkat sakti nya seperti biasanya. Wajahnya yang keriput memancarkan senyum lembut saat melihat cucunya datang.
“Pak De mu sudah berangkat, Nak?” tanya nenek dengan nada penuh perhatian.
“Sudah, Nek. Travelnya sudah menjemput di depan kantor kecamatan,” jawab Pak Huntara sambil duduk di sebelah neneknya.
Mereka berbincang sejenak, membahas kenangan masa kecil Pak Huntara yang yang sering datang ke desa ini. Namun, suasana hati Pak Huntara masih dipenuhi rasa rindu. Ia tahu, rumah tua ini menyimpan banyak cerita, tetapi juga banyak kesepian.
Pak Huntara memutuskan untuk menghabiskan sisa waktunya di desa dengan berjalan-jalan. Ia menyusuri jalan setapak menuju ladang, menikmati pemandangan sawah yang membentang, dan mendengarkan gemericik air dari sungai kecil yang mengalir di dekatnya.
Kenangan masa kecilnya saat di desa ini, sambirejo kembali terlintas. Ia pernah bermain di sini bersama kenalan kecilnya, tertawa tanpa beban, dan menikmati kebahagiaan sederhana. Namun, semua itu kini tinggal kenangan.
Siang itu, sebelum keberangkatan bus pukul 15.30, Pak Huntara berkemas. Ia memastikan semua barang bawaannya lengkap, termasuk oleh-oleh kecil untuk keluarganya di Lampung.
Saat berpamitan dengan neneknya, suasana kembali terasa berat. “Huntara, sering-seringlah pulang ke sini. Nenek sudah tua, siapa tahu kapan kita bisa bertemu lagi,” ujar neneknya dengan mata berkaca-kaca.
Pak Huntara mencium tangan neneknya dengan penuh hormat. “Pasti, Nek. Saya akan selalu pulang kalau ada waktu.”
Wantie, kerabat yang juga banyak membantu selama di desa, turut memberikan doa. “Mas Huntara, hati-hati di jalan ya. Semoga selamat sampai tujuan.”
Pak Huntara di antar wantie ke agen Rosalia Agen Pasar Slogohimo. Agen itu penuh sesak dengan penumpang yang hilir mudik dengan tujuan masing-masing. Setelah menunggu beberapa saat, bus Rosalia Indah yang akan membawanya ke Lampung tiba.
Saat bus mulai melaju meninggalkan terminal, perasaan campur aduk kembali menghampiri. Perpisahan dengan nenek dan Pak De Subiantoro masih membekas di hatinya. Namun, ia juga merasa lega karena akan segera bertemu dengan keluarganya di Lampung.
Di perjalanan, Pak Huntara mencoba mengalihkan pikirannya dengan membaca buku. Namun, pikirannya terus melayang ke Sambirejo, rumah tua nenek, dan pengalaman-pengalaman unik yang ia alami di desa itu.
Saat malam tiba, bus berhenti sejenak di sebuah rumah makan. Pak Huntara turun untuk makan malam dan meregangkan kaki. Di sana, ia bertemu dengan beberapa penumpang lain yang juga menuju Lampung.
“Mas dari Wonogiri juga?” tanya seorang pria paruh baya yang memperkenalkan diri sebagai Pak Malik.
“Iya, Pak. Saya dari desa Sambirejo. Pulang kampung sebentar,” jawab Pak Huntara sambil tersenyum.
Percakapan mereka berlangsung hangat, membuat perjalanan terasa lebih ringan.
Setelah menempuh perjalanan panjang, bus akhirnya tiba di KaliandaLampung menjelang pukul 09:00 Pagi. Pak Huntara turun di Agen Rosalia Kalianda dan dijemput oleh sepupunya yang membawanya pulang ke rumah.
Namun, sambutan paling istimewa datang dari anak semata wayangnya, Abiya Maisan Huntara, yang sudah menunggu di depan pintu dengan penuh semangat.
“Papi! Papi pulang!” seru Abiya sambil berlari menghampiri.
Pak Huntara langsung memeluk Abiya erat-erat. “Abiya, Papi kangen sekali. Kamu sehat, Nak?”
Abiya mengangguk sambil tersenyum lebar. “Iya, Papi. Aku nungguin Papi dari tadi malam!”
Mereka berjalan masuk ke rumah, di mana suasana kehangatan keluarga menyambutnya. Istri Pak Huntara sudah menyiapkan sarapan sederhana untuknya, sementara Abiya terus bercerita tentang kegiatan sehari-harinya.
Di sela-sela sarapan, Abiya bertanya dengan polos, “Papi senang di desa nenek? Aku mau ikut ke sana kapan-kapan!”
Pak Huntara tersenyum dan mengusap kepala anaknya. “Tentu, Nak. Tapi, nanti kita liburan dulu ke Jakarta ya. Papi sudah pesan Hotel untuk tanggal 14-17 Desember 2024. Kita akan jalan-jalan ke tempat yang Abiya suka.”
Mata Abiya berbinar-binar. “Benar, Pi? Aku senang sekali! Aku ingin ke Taman Mini dan naik kereta gantung!”
Pak Huntara tertawa kecil. “Iya, Nak. Kita akan ke sana. Sekarang, kamu istirahat dulu, ya. Papi juga mau istirahat setelah perjalanan jauh.”
Janji itu menjadi momen istimewa bagi mereka berdua. Meski Pak Huntara masih teringat kenangan di Sambirejo, kehangatan keluarganya dan antusiasme Abiya membuat ia kembali bersemangat menghadapi hari-hari ke depan.