Pak Hadi menatap layar smartphone di tangannya dengan kening berkerut. Jari-jarinya yang kasar karena bertahun-tahun mengajar keterampilan pertukangan di SMK, kini gemetar menyentuh permukaan kaca yang licin itu. Di usianya yang menginjak 55 tahun, ia merasa seperti orang asing di negerinya sendiri.
“Bapak tinggal klik tombol yang ini, lalu geser ke kanan,” suara Dini, putri bungsunya yang berusia 19 tahun, terdengar sabar. Ini adalah percobaan kesekian kalinya mengajari sang ayah menggunakan aplikasi pesan instan.
“Tapi kenapa harus pakai aplikasi ini? Dulu telepon biasa atau SMS sudah cukup,” keluh Pak Hadi, masih berjuang dengan antarmuka yang menurutnya terlalu rumit.
Dini menghela napas panjang. “Pak, sekarang semua komunikasi sekolah pakai WhatsApp, kalau bapak nggak bisa pakai ini, nanti ketinggalan informasi penting dari kepala sekolah atau guru-guru lain.”
Kenyataan itu menghantam Pak Hadi seperti ombak yang tak terduga. Dunia berubah terlalu cepat, meninggalkan jejak-jejak digital yang terasa asing baginya. Dua puluh lima tahun mengajar dengan papan tulis dan gergaji, kini ia harus berhadapan dengan layar sentuh dan cloud storage.
Semuanya bermula ketika kepala sekolah mengumumkan bahwa SMK mereka akan menerapkan sistem administrasi digital. Semua laporan, nilai siswa, dan komunikasi antar guru harus dilakukan melalui platform online. “Kita harus mengikuti perkembangan zaman,” kata kepala sekolah waktu itu, “SMK kita tidak boleh ketinggalan.”
Malam itu, setelah sesi belajar dengan Dini, Pak Hadi duduk di beranda rumahnya yang sederhana. Matanya menerawang ke langit malam yang dipenuhi bintang, mencari jawaban atas kegelisahannya. Di bengkel kerjanya yang terletak di samping rumah, berbagai peralatan pertukangan tertata rapi – gergaji, palu, pahat, ketam – semua adalah perpanjangan tangannya selama bertahun-tahun. Alat-alat itu tidak pernah mengecewakannya, selalu memberikan hasil yang ia harapkan selama ia merawatnya dengan baik.
“Sedang memikirkan apa, Pak?” Suara istrinya, Bu Yanti, membuyarkan lamunannya. Wanita berusia 50 tahun itu membawa secangkir teh hangat, ritual malam mereka selama 23 tahun pernikahan.
“Dunia berubah terlalu cepat, Bu,” jawab Pak Hadi pelan. “Dulu saya pikir, kalau sudah bisa mengajar anak-anak membuat furniture yang bagus, itu sudah cukup. Tapi sekarang…”
Bu Yanti tersenyum bijak. Sebagai pemilik warung kelontong kecil di depan rumah, ia juga mengalami pergulatan serupa. Beberapa bulan lalu, ia harus belajar menggunakan aplikasi pembayaran digital karena semakin banyak pelanggan yang tidak membawa uang tunai.
“Bapak ingat tidak, waktu pertama kali mengajar murid membuat kursi?” tanya Bu Yanti.
Pak Hadi mengangguk. Tentu saja ia ingat. Tangannya gemetar waktu itu, takut salah memberikan instruksi yang bisa menyebabkan kecelakaan.
“Sama seperti waktu itu pak, Kita hanya perlu waktu untuk belajar. Bedanya, sekarang kita punya guru-guru muda di rumah,” Bu Yanti melirik ke arah jendela kamar Dini yang masih menyala.
Keesokan harinya, Pak Hadi datang lebih awal ke sekolah. Di ruang guru, ia melihat Pak Reza, guru TIK yang berusia 30 tahun, sedang menyiapkan materi.
“Pak Reza,” panggil Pak Hadi, menekan gengsinya, “bisa minta waktu sebentar?”
Selama satu jam berikutnya, Pak Reza dengan sabar menjelaskan dasar-dasar penggunaan komputer dan smartphone untuk keperluan sekolah. Pak Hadi mencatat setiap langkah dengan teliti di buku catatannya yang sudah menguning.
“Pak Hadi tidak perlu khawatir,” kata Pak Reza menenangkan. “Justru pengalaman Bapak di bengkel bisa jadi contoh bagus bagaimana teknologi dan keterampilan tradisional bisa saling melengkapi.”
Minggu-minggu berikutnya menjadi periode pembelajaran intensif bagi Pak Hadi. Setiap malam, ia meluangkan waktu untuk berlatih dengan bantuan Dini. Bu Yanti sering menemukan mereka tertawa bersama ketika Pak Hadi melakukan kesalahan kecil yang menggemaskan.
Perlahan tapi pasti, Pak Hadi mulai menguasai berbagai aplikasi yang diperlukan. Ia bahkan mulai menemukan cara kreatif untuk menggabungkan metode pengajaran tradisionalnya dengan teknologi modern. Dengan bantuan Pak Reza, ia membuat video tutorial pembuatan furniture yang bisa diakses siswa kapan saja.
“Pak, videonya keren!” komentar salah satu siswanya, Andi, setelah menonton tutorial membuat kursi lipat. “Jadi lebih mudah mengulang materinya di rumah.”
Suatu hari, kepala sekolah mengunjungi kelas Pak Hadi. Ia terkejut melihat bagaimana guru senior itu kini mengintegrasikan pembelajaran daring dan luring dengan mulus. Para siswa mengerjakan proyek furniture mereka sambil sesekali merujuk ke video tutorial di tablet sekolah.
“Saya salut dengan adaptasi Bapak,” puji kepala sekolah. “Ini contoh bagus bahwa usia bukan halangan untuk berkembang.”
Pak Hadi tersenyum. “Saya belajar bahwa teknologi seperti alat pertukangan, Pak. Perlu waktu untuk menguasainya, tapi kalau sudah bisa, dia jadi perpanjangan tangan kita untuk membuat sesuatu yang lebih baik.”
Kesuksesan Pak Hadi dalam beradaptasi dengan teknologi modern menjadi inspirasi bagi guru-guru senior lainnya. Ia bahkan mulai membantu Bu Yanti mengembangkan sistem pencatatan digital untuk warung mereka.
“Lihat kan, Pak?” kata Bu Yanti suatu malam, saat mereka duduk di beranda seperti biasa. “Bapak tidak hanya belajar teknologi, tapi juga mengajarkan sesuatu yang penting ke anak-anak.”
“Apa itu, Bu?”
“Bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar. Bahwa kita bisa menghormati cara lama sambil menerima cara baru. Bahwa perubahan, meski menakutkan, bisa membawa kebaikan kalau kita mau membuka diri.”
Pak Hadi mengangguk, menatap langit malam yang sama namun terasa berbeda. Di tangannya, smartphone yang dulu terasa asing kini sudah seperti teman lama. Ia membuka galeri foto, melihat koleksi foto-foto project furniture siswanya yang kini tersimpan rapi secara digital, berdampingan dengan foto-foto keluarga.
“Dulu saya pikir teknologi akan menjauhkan kita dari yang namanya ‘sentuhan manusia’,” kata Pak Hadi pelan. “Tapi ternyata tidak. Teknologi justru memberi kita cara baru untuk terhubung, untuk berbagi, untuk mengajar dan belajar.”
Dini, yang baru pulang les, bergabung dengan mereka di beranda. “Eh, sudah lihat komentar di video tutorial terbaru Bapak? Banyak yang suka lho!”
Pak Hadi tersenyum hangat. Di usianya yang senja, ia telah menemukan keseimbangan baru – antara kayu dan pixel, antara palu dan mouse, antara kebijaksanaan masa lalu dan kemajuan masa kini. Mungkin itulah esensi dari beradaptasi: bukan tentang mengganti yang lama dengan yang baru, tapi tentang menemukan cara untuk membuat keduanya berjalan beriringan.
Kisah Pak Hadi mungkin hanya satu dari ribuan kisah tentang pergulatan manusia dengan perubahan zaman. Tapi dalam kisah sederhananya, tersimpan pelajaran universal: bahwa setiap zaman membawa tantangannya sendiri, dan kita, sebagai manusia, memiliki kapasitas luar biasa untuk beradaptasi dan berkembang.
Malam itu, sebelum tidur, Pak Hadi menuliskan status WhatsApp pertamanya: “Tidak ada kata terlambat untuk belajar sesuatu yang baru.” Sederhana, namun dalam. Seperti kehidupan itu sendiri.
Meski beralur progresif, namun cerpen ini menarik karena bagian orientasi langsung dieksekusi dengan konflik batin “Sang Guru Baby Boomer” dalam menghadapi kejutan teknologi IT. Majasnya yang sederhana membuat cerita ini mudah dipahami. Pemilihan kata konkret di bidang teknik perkayuan memberikan image bahwa karya ini sungguh original dan adaptif terhadap perkembangan yang sedang terjadi di dunia pendidikan vokasi. Ending cerita happy dan menunjukkan karakter optimis penulisnya. Hanya saja pada dua atau tiga paragraf terakhir terasa ada “penggiringan opini” sang penulis. Menurut saya akan terasa lebih manis jika pembaca diberi keleluasaan untuk mengapresiasi kisah ini menurut perspektif pembaca sendiri. Demikian terima kasih 🙏🏻🙏🏻
Cerita nya bagus, problem gaptek yang banyak dialami oleh para sepuh, terus berkarya.. Sukses yaa