Shella Indah Kurniasari biasa disapa Shella. Dia seorang gadis SMA Nusa Bangsa dengan paras ayu. Matanya teduh akan membuat nyaman siapapun yang menatapnya. Wajahnya oval dengan hidung mancung dan lesung pipi menambah sempurna kecantikan dirinya. Tubuhnya tinggi semampai, bibir sensual serta rambut hitam panjang yang lebat berurai indah.menjadi simbol keanggunan gadis masa kini yang sulit dicari bandingannya. Namun siapa menyangka jika kehidupan yang dijalaninya tak seindah kecantikan dan namanya. Ayahnya, Pak Rony hanyalah seorang sopir angkot. Lelaki pemabuk dan pemarah itu pergi tanpa pesan saat Shella masih bayi. Sementara ibunya, Bu Marsiah, terpaksa mengadu nasib ke Hongkong sebagai TKW untuk menghidupi Shella. Sejak usia batita Shella dititipkan ibunya kepada neneknya, seorang janda tua yang tidak kaya. Shella sudah terbiasa hidup sederhana dan tanpa kasih sayang orangtua. Itulah yang membuat Shella tumbuh menjadi pribadi mandiri, namun juga keras hati.
Di sekolah, Shella kerap menjadi sasaran bully. Itu terjadi karena Shella tidak mengenakan hijab. Dia selalu beralasan belum siap. Banyak siswa laki-laki yang jatuh hati padanya dan terang-terangan menyampaikan simpati dan kekaguman pada Shella. Namun, Shella tak menggubrisnya. Hatinya masih terluka. Bayangan rasa sakit yang dialami ibunya akibat ulah ayahnya yang tidak bertanggung jawab membuat Shella trauma. Shella berpikir bahwa semua laki-laki itu licik dan jahat. Melihat kecantikan Shella yang luar biasa itu, ada teman sekelasnya merasa iri. Nani nama temannya itu, selalu mencari-cari kesalahan Shella. Setiap hari, Nani beraksi layaknya seorang inteligen. Dicarinya kelemahan dan kesalahan Shella, lalu dia melaporkan pada Bu Yayah, pembina keputrian yang terkenal tegas. Bu Yayah, tanpa menyelidiki lebih lanjut, langsung menegur Shella.
“Shella, kamu harus lebih memperhatikan penampilanmu. Sebagai muslimah, kamu harus berhijab!” ujar Bu Yayah dengan nada keras.
Shella hanya bisa terdiam. Ini adalah teguran keras Bu Yayah yang ketiga kalinya. Dalam hati, dia merasa sedih dan kecewa. Dia ingin berhijab, tapi dia belum siap. Dia juga ingin diberi kebebasan untuk memilih.
“Bu, saya belum siap berhijab…,” jawab Shella pelan sambil menunduk.
“Bagaimana bisa kamu tidak siap? Semua temanmu sudah berhijab,” sahut Bu Yayah dengan wajah masam dan nampak sangat marah.
Hari demi hari, tekanan yang Shella terima semakin berat. Ia merasa tidak nyaman berada di sekolah. Teman-teman yang dulu mengagumi kini menjauhinya. Sampai suatu hari di grup keputrian, wajah cantik Shella dipampang. Bodinya sangat seksi dan menawan memang, tapi tanpa hijab. Dan itulah yang mengundang komentar negatif seisi grup. “Astaghfirullah, cantik-cantik gak ada akhlaknya,” bunyi salah satu dari ratusan komentar di WAG keputrian. Hatinya pilu, dia merasa sangat malu oleh tekanan seluruh warga keputrian yang nampak shalihah dan anggun dengan hijab mereka.
Beberapa hari sejak kejadian itu, guru-gurunya silih berganti memanggil dan terus saja menasihati Shella. Bahkan guru BK-nya juga turun tangan setelah mendapatkan laporan Bu Yayah. Hati Shella makin tertekan. Dia merasa semua orang di sekolah itu mencibir dan menuding mukanya. Shella merasa benar-benar tak punya tempat nyaman untuk sekedar duduk. Pikirannya terasa penuh oleh kalimat celaan teman keputrian, Di kepalanya berputar-putar ratusan kalimat nasihat Bu Yayah, dan guru lainnya. Dalam pikiran Shella, dia mengajak berdamai dirinya sendiri untuk mau berhijab, namun hatinya mengatakan belum sanggup. Akhirnya, Shella memutuskan untuk keluar sekolah. Dia ingin terbebas dari tekanan yang ada di sekolahnya.
Dengan berat hati, Shella menyampaikan keputusan itu pada ibunya melalui telepon. Bu Marsiah sangat sedih mendengarnya. Suaranya serak, air matanya menitik berusaha menasihati putri semata wayangnya. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak. Hati Shella terlalu keras untuk bisa mengikuti saran ibunya. Bu Marsiah sangat paham karakter putrinya. Dia menyerah. Akhirnya sang ibu hanya bisa memberikan dukungan moril pada keputusan Shella.
“Nak, kamu jangan menyerah. Ibu berharap Shella tetap bertahan di SMA Nusa Bangsa. Namun, jika keputusanmu memang sudah final, Shella tidak mau lagi mendengar harapan Ibu, Ibu bisa apa, Nak?” Bu Marsiah bicara terbata-bata di ujung telepon.
“Shella, jarak kita sangat jauh, Ibu yakin kamu bisa melewati semua ini,” sambung Bu Marsiah dengan suara bergetar, mengakhiri pembicaraan.
Shella mengangguk, meskipun air matanya terus mengalir. Dia tahu, ibunya sangat mencintainya. Namun, dia juga tahu bahwa dia harus berjuang sendiri untuk masa depannya.
Sejak hari itu, Shella memutuskan untuk melanjutkan sekolah di tempat lain, di tempat yang lebih ramah dan inklusif. Dia berharap, di tempat yang baru, dia bisa menemukan kedamaian yang selama ini dia cari.
Pukul 22.00 WIB, handphone Bu Hanum berdering. Wajah tenang guru senior yang telah 26 tahun mengabdikan diri di dunia pendidikan itu duduk terbangun meraih handphonenya. Memang sejak sore pulang ngajar, badannya terasa lesu dan lemas. Setahun terakhir Bu Hanum sering mengunjungi rumah sakit untuk mengontrol kesehatannya yang mulai melemah. Sesaat terbaca di layar HP sebuah nama yang sering menghubunginya terkait masalah kedinasan, Ibunya Shella X IPS. “Ada apa malam-malam begini nelfon?” pikir Bu Hanum.
“Assalamualaikum Ibu, tumben malam-malam nelfon. Apa kabar Ibu? Sehat?” sapa Bu Hanum ramah.
“Waalaikum salam, Ibu. Mohon maaf saya mengganggu istirahat Ibu. Ini ada hal yang tak terduga, Bu. Shella tiba-tiba bilang mau pindah ke SMA Nusantara. Saya bingung juga sedih, Bu.” ujar Bu Marsiah di ujung telfon sambil sesekali terdengar isak tangis.
Terjadi pembicaraan yang serius dan lama antara Bu Hanum dan Bu Marsiah terkait masalah Shella. “Alasan pindah, apa Bu?” tanya Bu Hanum pada suatu kesempatan.
“Shella ingin lebih dekat ke sekolah, jika hujan tidak terlalu susah dan tidak buru-buru sekolahnya,” Bu Marsiah mencoba menjelaskan alasan kepindahan Shella. Bu Hanum mengangguk-angguk dan mengakhiri pembicaraan. Namun, firasatnya sebagai guru tua mengatakan lain.
“Pasti ada sesuatu yang lebih dari sekedar jarak ke sekolah, tapi apa? Besok pagi, aku akan cari info, semoga berhasil,” gumam Bu Hanum pada diri sendiri.
Pagi sekali, pukul 06.46 WIB, Bu Hanum sudah standby di sekolah. Kebetulan hari itu piket guru. Bu Hanum punya waktu leluasa untuk menjadi intel demi mendapatkan info valid mengenai Shella. Pertama yang dihubungi adalah Nani. Kebetulan juga Nani lewat depan meja piket di mana Bu Hanum sedang duduk santai. Terjadilah pembicaraan ringan dengan Nani. Tapi lama-kelamaan pembicaraan nampak serius. Dengan rayuan yang halus dan lembut Bu Hanum, akhirnya Nani rela bercerita semuanya mengenai grup keputrian dalam hubungannya dengan Shella. “Sampai hari ini, Shella belum masuk, Bu, sudah seminggu ini,” ujar Nani mengakhiri ceritanya. Bu Hanum mengangguk tanda paham dan di akhir pembicaraan Bu Hanum menyampaikan terima kasihnya pada Nani.
“Terima kasih, Nak, nanti Ibu akan konfirmasi ke Shella dan Bu Yayah. Sekarang kembalilah ke kelas!” ujar Bu Nani sambil tersenyum.
Siang itu juga Bu Hanum menghubungi Bu Yayah via pesan WA. Beberapa jam kemudian, Bu Yayah sudah nampak ngobrol serius dengan Bu Hanum di dalam ruang guru. Pembicaraan mereka sangat lembut, tak ada satu orang pun di dekat mereka yang mampu mencuri dengar. Tapi tiba-tiba terdengar isak tangis Bu Yayah. Entah apa yang terjadi sampai akhirnya Bu Yayah mohon diri dan menyalami Bu Hanum.
Keesokan harinya, Sabtu siang, Bu Hanum yang sedang kurang sehat mengajak suaminya untuk home visit ke rumah Shella. Home visit tanpa prosedur terpaksa Bu Hanum lakukan mengingat kasusnya mendadak dan darurat. Sesampai di rumah Shella, Bu Hanum Bersama suami mendapatkan hidangan ringan dan air hangat di ruang tamu. Tak lama datanglah nenek Shella menemani dan menyapa mereka dengan ramah. Wajah Shella nampak sendu. Tanpa banyak ulur waktu, Bu Hanum mengajak Shella ke ruang pavilyun untuk bicara empat mata. Saat mereka baru duduk di lantai pavilyun yang tidak terlalu luas, serta-merta Shella menangis tersedu-sedu. Air matanya mengalir deras tak terbendung lagi. Tubuhnya berguncag-guncang oleh gejolak jiwanya. Bu Hanum yang memahami kepedihan hati Shella, memeluk Shella. Perlahan direbahkan kepala Shella ke pangkuannya. Diusap lembut kepala dan punggung Shella. Dibiarkannya gadis cantik yang malang itu menumpahkan kepiluan hatinya. Bu Hanum sadar bahwa Ela butuh kasih sayang dari ayah ibunya, namun itu tidak didapatkan seutuhnya. Semua karena takdir yang tak kuasa dia lawan. Bu Hanum juga paham bahwa Shella pastilah anak yang baik, dia butuh usapan lembut, support, dan orang yang bisa memahami gejolak jiwanya dengan bijaksana. Sejauh ini, Bu Hanum menerawang jauh ke masa lalu, mencoba berempati pada kisah hidup Shella kecil yang jauh dari pelukan ayah ibunya. Sesekali Bu Hanum menunduk ke bawah, memandangi wajah Shella dan menghapus air mata Shella dengan ujung jilbabnya. Akhirnya tangis Shella reda dan perlahan dia bangkit duduk bersebelahan dengan Bu Hanum. Tubuhnya masih sesekali bersandar pada tubuh Bu Hanum. “Maafkan Shella, Ibuuuuuu….,” suara Shella sangat lemah dan penuh kesedihan. Air matanya menitik lagi. Bu Hanum Kembali mengusap air mata Shella dengan penuh kasih sayang.
Beberapa jam Shella dan Bu Hanum terlibat pembicaraan serius. Dengan kelembutan dan kearifannya, Bu Hanum mencoba membuka hati Shella. “Nak, apa kaupikir semua orang yang pernah kautemui dalam hidupmu itu adalah orang-orang yang tak pernah berbuat dosa?”tanya Bu Hanum yang sebetulnya itu lebih sebagai sebuah retorika.
“Ibu paham apa yang Shella pikirkan, ibu paham bagaimana beratnya Shella dalam tekanan itu, Nak. Tapi demi hari depanmu yang lebih baik, juga demi pengharapan ibumu, Ibu harap Shella kuat bertahan. Tak usah dipikir ucapan mereka yang tidak perlu dipikirkan. Tutup telingamu dari komentar negatif yang akan menjatuhkan semangatmu. Dan masalah di grup keputrian, Ibu sudah bicara kepada Bu Yayah. Shella keluar saja dari grup itu agar tidak tertekan berkepanjangan. Percayalah bahwa ini hanya sementara. Seiring waktu tekanan ini pasti hilang. Rumor negatif tentangmu yang bandel tidak mau berhijab perlahan akan sirna.Fokuslah menuntut ilmu dan ikut kegiatan ekstrakurikuler yang lain,” bujuk Bu Hanum mengerahkan segala kecerdikannya.
Namun Shella tak bergeming, bibirnya mengatup rapat, diam seribu bahasa. Dari air mukanya terlihat bahwa hatinya masih gundah. Bu Hanum yang memahami suasana hati Shella tak bisa memaksa. Akhirnya menutup pembicaraan.
“Shella, kaupunya kebebasan menentukan langkahmu. Kau boleh membuat keputusan apapun. Apa yang Ibu sampaikan padamu tak lebih sebagai alternatif terbaik menurut Ibu dan ibumu. Ibu akan memberi waktu padamu untuk berpikir ulang. Shalat hajatlah, Nak! Mohonlah petunjuk Allah, langkah mana yang terbaik untukmu! Ibu tunggu keputusanmu beberapa hari ke depan,” suara Bu Hanum mengalir pelan mengakhiri pembicaraan.
“Maafkan Shella, Ibu. Shella sudah merepotkan Ibu. Jauh-jauh dalam keadaan sakit memaksakan diri ke rumah Shella. Maafin Shella, Bu. Shella akan jadikan semua nasihat ibu sebagai pedoman hidup. Terima kasih untuk kasih sayang Ibu. Besok lusa Shella akan menyampaikan keputusan Shella, “ ucap Shella terbata-bata sambil memeluk ibu wali kelas kesayangannya. Beberapa hari kemudian, Ibu Hanum mendapati pesan singkat di HP-nya dari Ibu Marsiah. Isinya permohonan maaf bahwa Shella merepotkan wali kelasnya dan belum bisa memenuhi harapan ibu walas. Akhirnya Shella pindah sekolah ke SMA Nusantara. Bu Hanum hanya bisa menunduk sedih sambil membalas pesan singkat itu. “Doa Ibu menyertaimu, Shella. Semoga Shella semangat di sana dan bisa menggapai sukses serta membahagiakan orangtua.”
TENTANG PENULIS
Indriyati Bahar diilahirkan di Kalianda Lampung Selatan pada hari Senin, tanggal 26 Juli 1971. Nama lahir yang diberikan Sang Ayah adalah Farida Aryani. Tetapi saat masuk sekolah dasar diganti menjadi Indriyati. Ayahnya, Baharuddin Piliang berasal dari Maninjau, Sumatra Barat, sedangkan Ibunya Tri Lestari berasal dari Kota Boyolali, Solo, Jawa Tengah.
Lahir dan dibesarkan di daerah transmigrasi yang serba sulit dan sangat terbatas infrastruktur, membuat Indriyati kecil tertantang untuk berjuang lebih keras dari yang seharusnya. Inilah yang membuat Indiyati kecil tumbuh menjadi pribadi yang tanguh, pantang menyerah, bertanggung jawab, bersahaja, religius, dan setia kawan. Setelah lulus dari bangku Sekolah Dasar Inpres di Sidomakmur Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan pada tahun 1984, Indriyati Bahar melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Sidomulyo, Lampung Selatan, yang saat itu Bernama SLTPN Katibung. Lalu melanjutkan ke jenjang Pendidikan Menengah Atas tahun 1987 di SPGN 2 Tanjung Karang di Kalianda, yang sekarang menjadi SMA Negeri 2 Kalianda, Lampung Selatan. Di SPGN inilah jiwa pendidiknya diasah. Di usia yang sangat belia, Indriyati mulai menyatukan segenap kompetensinya untuk menjadi guru pendidik. Di usia ini juga Indriyati mencapai puncak pencapaian dalam studi. Dia menjadi kiblat dan acuan banyak teman-temannya di sekolah. Lulus SPGN2 tahun 1990, tidak langsung kuliah, tetapi langsung mengajar honorer di SDN Sidomakmur.
Tahun 1991 mendapatkan kemampuan melanjutkan pendidikan ke Universitas Lampung dengan mengambil program S1 pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah. Pada saat kuliah ini, sempat mengambil cuti akademik selama tiga semester. Tahun 1997 menyelesaikan pendidikan S1 dan langsung mengajar Mata Kuliah Dasar Umum, Pembinaan Bahasa Indonesia di Fakultas Ushuluddin, Universitas Muhammadiyah Metro sebagai dosen terbang. Tahun 1998, penulis mengikuti seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil dan diterima sebagai CPNS pada tahun 1999 di SMPN 1 Candipuro, Lampung Selatan. Tahun 2002 bermutasi ke SMKN2 Kalianda, Lampung Selatan hingga saat ini. Pernah mendirikan dan mengelola TK Al-Irsyad Al-Islamiyah Sidomakmur, Lampung Selatan tahun 2003-2006. Kegiatan bersastra yang pernah diikuti saat kuliah di Sanggar Bahasa Himbastra dan mengambil matkul pilihan seni theatre. Beberapa kali mengikuti pelatihan menulis, yang dilaksanakan di SMAN 2 Kalianda.
Wah real story bu Hanum, nice cerpen. Matur nuwun cerpen nya
Menyentuh sekali cerita nya ibu…
Terima kasih, Pak Tris dan Umi Cici yang selalu support saya. Itu sebagai satu bentuk persembahan seorang wali kelas pada muridnya. Seperti apapun, dia adalah anak. Semoga dia bersemangat di tempat yang baru dan Allah SWT yang kelak akan memberikan hidayah untuk lebih tawakal kepadaNya. Yang terjadi hari ini adalah pelajaran sangat berharga bagi siapapun yang bisa mengambil hikmahnya.. kepada Allah SWT saya mohon ampun. Semoga bermanfaat. Aamiin 🤲🏻
ceritanya sangat memotivasi
Terima kasih apresiasinya, Muzakki. Mohon koreksi dan kritik ya agar karya ibu lebih baik. Mksh🙏🏻
Menyentuh sekali cerita nyaaa ibuuu
Terima kasih apresiasinya, Rizky.. semangat berliterasi ya Nak. 🙏🏻🙏🏻
Ceritanya seru sangat menyentuh hati ………..
Terima kasih apresiasinya Ahmad Nurdanu. Lain kesempatan mohon diberikan kritik ya supaya karya ibu lebih baik. Makasih🙏🏻
Cerita nya sangat bagus dan bermotivasi
Terima kasih sudah membaca dan menyampaikan apresiasinya, Purboyo. Makin semangat membaca ya.. 💪🏻💪🏻🙏🏻🙏🏻
Cerita nya bagus
Terima kasih apresiasinya, Reno. Besok lusa ditunggu kritikannya ya, agar karya Ibu lebih bagus. Tq.. tq.🙏🏻
Wahhhh sangat bagussssss
Hee.. memuji nih.. makasih Zannnnn ganteng atas apresiasinya dan udah Sudi baca karya Ibu. 🙏🏻🙏🏻💪🏻💪🏻
terkadang peraturan harus di jalankan sesuai persetujuan murid jika sudah begini akan lebih banyak lagi siswa yang tak tahan dengan aturan tersebut
Terima kasih apresiasinya, Rehan. Pro dan kontra dalam sebuah proses pasti akan ada. Semua orang pasti akan belajar dari pengalaman hidup. Yang terpenting bagaimana kita konsisten pada tujuan dan cita-cita dengan tetap adaptif terhadap perkembangan yang terjadi. Terus belajar dan bijaksana, ya Nak.. salam🙏🏻🙏🏻
Carita nya sangattt baguss
Terima kasih apresiasinya, Ravhan. Makin semangat membaca ya . 💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻
Saya dah baca buk
Oke Andri.. terimakasih Nak. Sambil baca kepanasan cahaya matahari pagi, sehat loh, supaya kolesterol dalam tubuh berproses menjadi provitamin D, menguatkan struktur tulang Andri kokoh yaa😁😁😁😁
bagus bangat si
Terima kasih, Bagas. Makin banyak membaca ya, baca Qur’an juga tentunya dan dibaca terjemahannya. Salam..🙏🏻🙏🏻
ceritanya bagus adi mau nangis
Wahhhhhhh berarti Adi berbakat di bidang seni. Ayo, menggali potensi diri yang terpendam dengan mencoba berkarya apa saja yg Adi suka. Bisa drumband, musikalisasi puisi, theater, seni Hadroh atau yang lain. Buat Wisnu Satrio ganteng, mksh ya udah baca dan komentar positif. Semangat berliterasi selalu ya Nak..
Cerpen bus Bagus sekali setelah saya membaca pelajaran yang saya dapat adalah sesama teman harus saling menghargai baik teman di sekolah atau di rumah agar dapat menciptakan lingkungan yang nyaman dan saling tolong menolong saat membutuh kan semangat berkarya buk
Terima kasih supportnya Damanik. Terima kasih juga sudah mengapresiasi karya Ibu.🙏🏻🙏🏻
Ceritanya sangat mengharukan Bu..
Baguss..
Saya mendapatkan pelajaran bahwa sebagai siswa kita harus saling menghargai dan saling menasihati sesama siswa bukan justru saling membuly dan memberikan komentar yg negatif
Betul Yoshua, mestinya bersaing secara sehat untuk prestasi akademik secara fair, bukan dengan cara jahat misalnya mengerjakan soal test dengan searching google atau mencontek. Juga lebih mengedepankan persahabatan yang tulus itu akan lebih bermakna dan manfaat.