Sultan Kodok, itulah nama yang disandangnya setelah setahun lalu dinobatkan sebagai direktur utama di sebuah perusahaan agribisnis perkolaman dan perkebunan berlabel “Teratai Merah”. Sebenarnya, Sultan muda ini lumayan cakap, pintar membaca peluang bisnis, lihai bernegosiasi dan memiliki kecakapan vokasi yang jempolan. Dia ahli berenang dan menyelam. Kodok kecil adalah sosok yang ceria. Dia mendapatkan pendidikan yang baik sehingga dia tumbuh menjadi remaja yang penurut dan sopan. Namun, sangat disayangkan, sejak ibunya meninggal dan ayahnya menikahi wanita cantik yang berwatak kasar dan kejam, karakter Kodok berubah brutal. Sepuluh tahun berlalu, sikap itu kemudian menjadi kebiasaan dan melekat sebagai karakter dirinya. Semula ayahnya berharap, setelah Kodok bergelar Sultan, punya kekuasaan dan hidup senang bergelimang harta, watak buruk itu akan berubah. Ternyata tidak. Sultan Kodok muda kini menjadi top leader yang bersikap otoriter. Sang direktur baru PT Teratai Merah ini sering over thinking, merasa paling benar, paling berkuasa, dan tentu saja anti kritik. Tak jarang dia tega menjatuhkan jajaran direksi demi kekuasannya di Teratai Merah.
Dalam menggerakkan roda perusahaan, Sultan Kodok punya beberapa kaki tangan di jajaran direksi, antara lain Bos Kalajengking, Bos Tarantula, dan Bos Kelabang Hitam. Mereka adalah tangan kanan Kodok yang paling loyal dan selalu dapat diandalkan. Mereka punya keberanian sangat luar biasa dan sanggup mempertaruhkan jiwa raga atau apapun demi kepentingan Sang Sultan di Teratai Merah. Jika terjadi ancaman atau gangguan dari kelompok Reptil Garong atau kelompok Ular Kadut, pastilah ketiga kaki tangan ini yang akan maju di garda paling depan untuk membela Sultan Kodok.
Gaya memimpin Sultan Kodok cukup misterius dan unik. Dia lebih senang bermain di belakang layar. Dia selalu memanfaatkan orang lain, terutama kaki tangan kepercayaannya untuk menyerang. Sementara orang-orangnya beraksi, dia bersembunyi. berlindung di balik ketangguhan orang-orangnya. Yang paling parah, dia selalu berusaha cuci tangan jika terjadi kasus atau konflik yang mengancam kredibilitasnya.
Dari ketiga pejabat penting kepercayaannya, Bos Kalajengking adalah yang paling istimewa di hatinya. Suatu pagi yang cerah, tatkala cahya Mentari hangat menyinari seluruh hamparan taman, Sultan Kodok duduk santai menikmati sarapan pagi ditemani Kalajengking. Awalnya pembicaraan mereka santai, bahkan sesekali terdengar tawa mereka meledak. Tapi sejurus kemudian, terdengar suara Kodok lebih serius dan lebih tegas.
“Kalajengking, You adalah pemegang kekuasaan HRD di sini. Saya ingin kita lakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perekrutan dan penempatan karyawan. Mulai awal tahun ini, saya ingin penempatan karyawan baru lebih selektif dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing departemen. Selain itu, kita perlu melakukan efisiensi tenaga kerja. Karyawan dengan jam kerja yang minim atau sering absen tanpa alasan yang jelas, perlu kita pertimbangkan untuk tidak diperpanjang kontraknya. Karyawan yang tidak menunjukkan loyalitas terhadap perusahaan juga perlu diberikan tindakan tegas. Itu saya lihat bekicot dan keong racun lamban kerjanya, gak ada progress! Coba You rekap presensi lemburnya; selalu di bawah 50 persen di semester ini. Saya minta You ambil langkah nonaktifkan saja. Cari gantinya dari keluargamu, keluarga Kelabang atau keluarga Tarantula. Untuk yang tidak loyal silakan You rolling atau mutasi ke posisi yang tidak strategis. Pendek kata, Saya ingin You bisa segera menerapkan aturan yang lebih ketat dan memberikan sanksi administratif yang keras bahkan denda bagi karyawan yang melanggar,”terdengar suara kasar Kodok sedang memberi instruksi anak buahnya kesayangannya.
Sejak ultimatum di hari itu, banyaklah karyawan Teratai Merah yang menjadi korban pemutusan kontrak kerja. Bekicot menjadi yang pertama dipecat, menyusul keong racun dan beberapa temannya. Bahkan si Tikus Got yang sedang sangat butuh uang untuk biaya persalinan istrinya, turut jadi korban.
Suatu hari saat acara ulang tahun PT Teratai Merah, Sultan Kodok mengadakan acara gebyar pesta-pora selama tiga hari. Pada acara tersebut diadakan banyak lomba antara lain lomba loncat indah, lomba renang beregu, lomba terbang menukik, lomba panjat tebing, menyelam, dan berkicau indah. Tentu saja yang menyiapkan segala perlengkapan lomba, tempat lomba, juri dan hadiah serta makanan-minuman untuk pesta adalah Bos Kalajengking, Bos Kelabang Hitam dan Bos Tarantula. Sudah tentu persiapan tersebut dibantu semua warga termasuk ikan wader, sepat, lele, belut, bulus, kura-kura, warga kutilang, kepodang, kacer, prenjak, kecoak, tikus, dan kadal.
Sultan Kodok tidak mau tahu dari mana dana dan seluruh kebutuhan pesta didapatkan. Yang terpenting acara gebyar lomba bisa meriah dan pesta dapat dilaksanakan dengan pesta makan besar-besaran serta hiburan yang fantastik.
Mengawali kegiatan gebyar, saat lomba berenang grup yang diikuti oleh kelompok Belut dan Kadal, Sultan Kodok yang saat itu menonton pertunjukan jadi tersinggung. Pasalnya gerakan mereka nampak lincah dan indah sehingga mampu mengalahkan kelompok Berut Totol asuhan sekaligus kebanggaannya.
Emosinya semakin tak terbendung tatkala Kodok menyaksikan lomba berkicau. Sultan Kodok benar-benar tak habis pikir bahkan nyaris tak percaya jika ada burung Betet yang berani menyanyikan lagu Iwan Fals berjudul ‘Bento”.
“Bento, Bento! (Asyik!) Namaku Bento… rumah real estate. Mobilku banyak, harta berlimpah. Orang memanggilku Bos Eksekutif. Aku bisa melakukan apa saja, yang penting aku senang, aku menang. Tak perduli apa kata orang, yang penting aku senang, aku menang..!” begitu suara Betet bernyanyi dengan suaranya yang serak menyakiti telinga.
Hadirin yang menonton nyanyian Betet bertepuk tangan sambil berteriak-teriak, “hidup Betet… Hidup Betet..!!”
Mendengar supporter yang riuh-rendah mengapresiasi lagu burung Betet, si Kodok sangat geram. Dia meludah ke tengah kerumunan penonton tanda sangat tersinggung. Dia berpaling ke belakang memanggil Bos Kelabang Hitam lalu pergi menjauh dari arena lomba.
Di belakang arena, di dalam ruangannya yang sejuk dengan aroma wangi melati yang menguar tajam, Sultan Kodok duduk di kursi dinastinya. Kakinya diangkat sebelah, tangannya berkacak pinggang. Pancaran matanya merah menyiratkan gejolak amarah. Bos Kelabang Hitam yang memahami karakter atasannya, langsung bertanya, “siapa yang akan dieksekusi, Boss? Habis atau sisakan?!” ucap Bos Kelabang Hitam datar sambil siap menunggu perintah.
“Kasih pelajaran terakhir! Tapi habisi lebih baik!” perintah Kodok.
“Siap, Bosku!” sahut Bos Kelabang Hitam cepat. Tidak sampai hitungan kelima, dia sudah lenyap dari pandangan Kodok.
***
Hari terakhir gebyar dan pesta pora para warga Teratai Merah telah tiba. Seluruh peserta dan warga harap-harap cemas menanti pengumuman pemenang dan pembagian hadiah besar. Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, nampak Bos Kelabang Hitam maju ke podium. Namun, sebelum pengumuman disampaikan, terdengar suara keras dari mulut Bos Kelabang Hitam menyampaikan peringatan bagi seluruh warga agar jangan mengulangi aktivitas seperti Betet dan Kadal.
“Itu sangat menyinggung kredibilitas direktur utama, yaitu Sultan Kodok! Mengapa? Karena grup Berut Totol adalah satu-satunya grup renang binaan Pak direktur. Grup ini didanai oleh perusahaan, jadi jangan sampai ada yang berani menantang grup milik direktur. Kedua, lagu sarkastik yang dinyanyikan Betet. Itu sungguh keterlaluan dan bersifat rasis serta berpotensi memprovokasi warga Taratai Merah. Untuk itulah, saya Bos Kelabang Hitam selaku ketua tim juri menyampaikan diskualifikasi untuk kelompok Kadal dan Betet…. Di sini yang berkuasa adalah Tuan Kodok. Kami selaku kepercayaan Pak direktur utama harus mampu melindungi segala hal yang akan menjatuhkan reputasi beliau, dengan segala cara. Ingat saudara-saudara, dengan segala cara!”teriak Bos Kelabang Hitam mengancam semua warga Teratai Merah.
Mendengar ancaman serius Bos Kelabang Hitam, kura-kura yang mendekam di ujung taman hanya bisa menunduk lesu. Hatinya kecewa pada keputusan tim juri. Juga kesal pada ancaman Bos Kelabang Hitam serta kebijakan direktur PT Teratai Merah. Di saat yang begitu penting, direktur itu tak nampak batang hidungnya. Entah di mana dia memantau acara pengumuman dan pembagian hadiah malam itu. Dalam hatinya, si kura-kura memimpikan sebuah taman lain. Satu taman yang dipimpin oleh komunitas yang punya integritas dan hati nurani. Pemimpin yang cerdas, terbuka, demokratis dan bisa menerima kritik. Kura-kura masih ingat pelajaran yang disampaikan dosennya dulu, bahwa kita hidup untuk berkembang dan kita hanya bisa berkembang melalui konflik. Tanpa adanya konflik, maka kehidupan akan stag, mandeg dan mati.
Kura-kura kecil mundur ke tempat yang makin gelap di bawah rimbunan pelepah keladi. Hatinya sedih. Pikirannya menerawang masa-masa belia dulu. “Sungguh ironis apa yang terjadi di malam penutupan ini dengan teori filsafat tuan dosen di kampus dulu. Padahal dulu, aku dan Bos Kelabang Hitam, Bos Kalajengking serta Bos Tarantula adalah sahabat karib. Susah senang selalu dilalui bersama, nasi sebungkus pun pernah dimakan berempat. Tapi sekarang mereka berbeda. Mereka haus kekuasaan dan tamak harta benda. Seakan tak ada lagi yang lebih berharga di dunia ini, selain kekuasaan, jabatan, dan uang. Idealisme dan ilmu kebijaksanaan yang dulu diajarkan para dosen kesayangan perlahan sirna dari kamus ingatan. Bahkan sudah lenyap dari hati mereka,” si kura-kura mendesah menahan kesal dan kesedihan mendalam.
Tak ada yang bisa kura-kura lakukan, kecuali menyingkir jauh dari sahabat-sahabat masalalunya yang kini gila harta dan kedudukan. Kura-kura kecil hanya ingin hidup tenang menjaga idealisme yang sudah terpatri dalam jiwa raganya. Dia berusaha keluar dari Taman Teratai Merah untuk menjaga idealisme itu. Dia yakin bahwa kritik tidak akan membuat hidup seseorang menjadi mati, tapi justru sebaliknya akan makin meningkatkan kualitas diri. Berfikir kritis sangat baik, namun over thinking bisa menjerat langkak kaki sendiri dan membuat susah makhluk di sekitarnya. Begitulah si kura-kura kecil bergumam sepanjang perjalanannya meninggalkan taman kecil yang tadinya indah, tapi kini tak nyaman lagi ditinggali. Sebelum melangkah terakhir di batas taman, ujung moncongnya menghisap setangkup biji pohon tabebuya dari sebuah ranting. Biji yang sudah kering itu lalu diletakkan di atas sebuah gundukan tanah gembur yang basah. Setelah menanam biji tabebuya, kura-kura kecil itu menghampiri sekelompok anak kodok yang sedang bermain di tepi kolam.
“Nak, tahu tidak apa itu pohon tabebuya?” tanyanya lembut. Anak-anak kodok menggeleng penasaran.
“Pohon itu lambang harapan. Suatu hari, pohon ini akan tumbuh besar dan bunganya akan sangat indah. Bunga tabebuya akan mengingatkan kita pada masa depan yang lebih baik.”
Salah satu anak kodok bertanya, “Masa depan yang seperti apa, Pak Kura?”
“Masa depan di mana kita bisa hidup bebas dan bahagia. Di mana kita bisa mengekspresikan diri tanpa takut diintimidasi. Di mana pemimpin kita mendengarkan suara rakyatnya, pemimpin yang responsif dan terbuka terhadap kritik.”
Anak-anak saling berpandangan, matanya berbinar. Mereka mulai membayangkan taman mereka di masa depan.
Beberapa tahun kemudian, pohon tabebuya yang ditanam kura-kura kecil tumbuh subur. Bunganya yang berwarna merah muda nampak cerah menghiasi taman Teratai Merah. Namun, suasana di taman itu masih sama. Sultan Kodok tetap berkuasa dengan gaya kepemimpinan yang otoriter.
***
Suatu hari, Bos Kalajengking jatuh sakit parah. Ia menyesali perbuatannya di masa lalu. Sebelum meninggal, ia meminta maaf kepada para pekerja dan warga Teratai Merah. Dia meminta mereka untuk memberontak melawan Si Kodok tua.
Dengan semangat baru, para pekerja mulai menyusun rencana. Mereka memanfaatkan momen, ketika si Kodok sedang melakukan perjalanan bisnis. Saat itulah, mereka mengadakan rapat besar di bawah pohon tabebuya.
“Kita harus memilih pemimpin baru yang bisa membawa perubahan,” kata salah satu pekerja.
Setelah berdiskusi panjang, mereka sepakat memilih kura-kura sebagai pemimpin mereka. Kura-kura yang bijaksana dan tegas segera bertindak. Ia membentuk tim yang terdiri dari berbagai spesies untuk mengelola taman dan PT Teratai Merah.
Di bawah kepemimpinan kura-kura kecil, taman Teratai Merah mengalami perubahan yang sangat besar. Kebebasan berekspresi dan demokrasi menjadi nilai-nilai utama. Setiap keputusan penting selalu dibahas bersama-sama. Tak ada saling curiga, tak ada over thinking, tak ada lagi intimidasi.
Sultan Kodok yang kembali ke taman sangat terkejut melihat perubahan yang terjadi. Dia mencoba untuk merebut kembali kekuasaannya, tetapi para pekerja sudah bersatu padu. Mereka menolak untuk kembali ke masa lalu yang kelam.
Akhirnya, si Kodok tua terpaksa meninggalkan taman Teratai Merah. Ia pergi dengan perasaan kesepian dan penyesalan.
Taman Teratai Merah pun hidup kembali. Pohon tabebuya menjadi saksi bisu atas perjuangandan kemenangan para pekerja. Mereka hidup bahagia dan damai di bawah kepemimpinan kura-kura kecil yang bijaksana.
===================================================================
TENTANG PENULIS
Indriyati Bahar diilahirkan di Kalianda Lampung Selatan pada hari Senin, tanggal 26 Juli 1971. Nama lahir yang diberikan Sang Ayah adalah Farida Aryani. Tetapi saat masuk sekolah dasar diganti menjadi Indriyati. Ayahnya, Baharuddin Piliang berasal dari Maninjau, Sumatra Barat, sedangkan Ibunya Tri Lestari berasal dari Kota Boyolali, Solo, Jawa Tengah.
Lahir dan dibesarkan di daerah transmigrasi yang serba sulit dan sangat terbatas infrastruktur, membuat Indriyati kecil tertantang untuk berjuang lebih keras dari yang seharusnya. Inilah yang membuat Indiyati kecil tumbuh menjadi pribadi yang tanguh, pantang menyerah, bertanggung jawab, bersahaja, religius, dan setia kawan. Setelah lulus dari bangku Sekolah Dasar Inpres di Sidomakmur Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan pada tahun 1984, Indriyati Bahar melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Sidomulyo, Lampung Selatan, yang saat itu Bernama SLTPN Katibung. Lalu melanjutkan ke jenjang Pendidikan Menengah Atas tahun 1987 di SPGN 2 Tanjung Karang di Kalianda, yang sekarang menjadi SMA Negeri 2 Kalianda, Lampung Selatan. Di SPGN inilah jiwa pendidiknya diasah. Di usia yang sangat belia, Indriyati mulai menyatukan segenap kompetensinya untuk menjadi guru pendidik. Di usia ini juga Indriyati mencapai puncak pencapaian dalam studi. Dia menjadi kiblat dan acuan banyak teman-temannya di sekolah. Lulus SPGN2 tahun 1990, tidak langsung kuliah, tetapi langsung mengajar honorer di SDN Sidomakmur.
Tahun 1991 mendapatkan kemampuan melanjutkan pendidikan ke Universitas Lampung dengan mengambil program S1 pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah. Pada saat kuliah ini, sempat mengambil cuti akademik selama tiga semester. Tahun 1997 menyelesaikan pendidikan S1 dan langsung mengajar Mata Kuliah Dasar Umum, Pembinaan Bahasa Indonesia di Fakultas Ushuluddin, Universitas Muhammadiyah Metro sebagai dosen terbang. Tahun 1998, penulis mengikuti seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil dan diterima sebagai CPNS pada tahun 1999 di SMPN 1 Candipuro, Lampung Selatan. Tahun 2002 bermutasi ke SMKN2 Kalianda, Lampung Selatan hingga saat ini. Pernah mendirikan dan mengelola TK Al-Irsyad Al-Islamiyah Sidomakmur, Lampung Selatan tahun 2003-2006. Kegiatan bersastra yang pernah diikuti saat kuliah di Sanggar Bahasa Himbastra dan mengambil matkul pilihan seni theatre. Beberapa kali mengikuti pelatihan menulis, yang dilaksanakan di SMAN 2 Kalianda.
Ide awal ingin buat cerita komedi, begitu diketik malah jadi satire.. Jian.. gak pro nih penulisnya😁😁🙏🏻🙏🏻
Saya harus dua kali membaca cerpen ini. Awalnya bingung kok kodok berbisnis😀😀tapi semakin dibaca ulang semakin mengasyikan, sambil membaca, fikiran saya berfantasi pada kondisi suatu negeri antah berantah. Bravo bu, ditunggu karya berikutnya
Hee.. umi bisa aja, sebenarnya saat menulis yang terbayang adalah kolam ikan nila gip di samping dapur. Saya bermimpi ada teratai merahnya, tapi yang tumbuh kini hanya Enceng gondok. Airnya menghitam sejak perubahan musim. Saya bingung, di dalamnya banyak menetas keong mas dan sering terdengar suara kodok di parit sebelah kolam. Jadilah imagi yang gak karuan. Tabebuya sendiri terinspirasi oleh pohon tabebuya (dari program 1000 pohon Bu Dian Sherly), saya tanam di pot agar jadi bonsai karena jika besar kata tetangga bisa merusak pondasi rumah. Nah, kebayang tabebuya berbunga indah, malah kering daun-daunnya lupa tak disiram saat kemarau beberapa bulan lalu..
Untuk nama-nama tokoh begitu, dalam teori sastra disebut majas simbolik Umiii…. Terima kasih atas apresiasi dan support Umi Cici.🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻