Surya mencoba menelan ludah, namun tenggorokannya kering. Tanpa berpikir panjang, ia menggenggam kawat bergigi yang ditemukannya tadi, entah untuk apa, mungkin hanya sebagai usaha terakhir untuk merasa sedikit lebih aman. Ia menoleh ke Pak Darman yang berdiri kaku di sebelahnya.
“Pak, ini… apa mungkin cuma halusinasi?” Suara Surya bergetar.
Pak Darman menggeleng lemah, wajahnya pucat. “Kalau halusinasi, kenapa kita semua bisa denger, Sur? Aduh, ini nggak beres!”
Bu Sri yang berdiri paling belakang tiba-tiba memegangi lengan Surya. “Surya, kita keluar aja. Aku takut… ini beneran nggak beres.”
Namun, ketika mereka hendak berbalik, sesuatu terjadi. Suara berdecit terdengar, dan pintu yang tadinya setengah terbuka itu tiba-tiba menutup sendiri, mengunci mereka di dalam rumah tua yang pengap dan gelap.
“Pak Darman, coba buka pintunya!” seru Surya panik.
Pak Darman bergegas, mencoba membuka pintu, namun sia-sia. Pintu itu tak bergeming sedikit pun. Ia memutar kenopnya, menggedor-gedor, bahkan mencoba mendobrak, tapi tetap saja tak berhasil. Suara gedorannya bergema di antara keheningan yang makin membuat mereka panik.
“Astaga, ini benar-benar terkunci dari luar!” seru Pak Darman dengan wajah penuh keringat.
Bu Sri menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan dirinya. “Mungkin… mungkin kita harus tenang dan cari jalan keluar yang lain.”
Surya mengangguk cepat. “Ya, mungkin dari jendela bisa. Mari coba!”
Mereka bertiga bergerak perlahan, menyusuri ruangan yang gelap dan pengap itu, berusaha mencari jendela yang mungkin bisa mereka pecahkan. Namun, seiring langkah mereka yang semakin dalam ke rumah itu, aroma jengkol tadi terasa semakin kuat dan membuat kepala mereka berputar.
“Baunya makin menyengat…” kata Bu Sri dengan nada pelan, suaranya nyaris berbisik.
Ketika mereka akhirnya mencapai sebuah jendela yang tampak agak terbuka, Surya mengintip ke luar, tapi anehnya, tidak ada pemandangan yang terlihat di balik kaca jendela itu. Yang ada hanya kegelapan yang pekat, seperti ada selimut hitam yang menutupi dunia di luar.
Pak Darman yang melihatnya pun mundur ketakutan. “Ini… ini nggak wajar. Lihat, kita nggak bisa lihat apa-apa di luar!”
Di tengah kebingungan mereka, terdengar suara langkah kaki dari arah belakang mereka, perlahan mendekat. Suara langkah itu berat, seperti menyeret sesuatu di lantai. Mereka bertiga menoleh, mencoba mencari sumber suara tersebut.
“Siapa itu?” teriak Surya, mencoba menguasai diri meski hatinya berdebar tak karuan.
Namun tidak ada jawaban. Suara langkah itu terus terdengar, semakin mendekat. Lalu, mereka melihat bayangan samar muncul dari balik tirai tua yang menggantung di dekat sudut ruangan. Bayangan itu bergerak pelan, seolah-olah mengintai mereka dengan tatapan yang tak terlihat namun terasa menusuk.
“Siapa di sana?” suara Pak Darman kini penuh ketegasan yang dipaksakan.
Bayangan itu berhenti, lalu sebuah suara berat terdengar, terdengar seperti suara laki-laki tua.
“Kalian… datang… untuk mengambil… jiwaku, ya?”
Mendengar itu, Bu Sri berteriak, menutupi mulutnya dengan tangan gemetar. Surya dan Pak Darman tak kalah panik, namun mereka tetap berdiri di tempat, tak tahu harus berbuat apa.
“Pak… kita nggak punya niat apa-apa, Pak. Kami cuma lewat!” sahut Surya dengan suara gemetar.
Bayangan itu bergerak maju, kini semakin jelas terlihat. Dari dalam kegelapan, muncul sosok laki-laki tua berambut acak-acakan dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat seperti mayat, dan tubuhnya diselimuti oleh bau jengkol yang menyengat. Namun yang paling membuat mereka ngeri adalah, di tangan sosok itu terdapat kawat bergigi yang melilit erat di sekitar pergelangan tangannya.
“Kalian… ingin membawa pergi kawatku ini?” bisik sosok itu, sambil mengangkat tangannya yang terlilit kawat bergigi.
Surya mundur selangkah. “Pak… kami nggak mau apa-apa dari sini, Pak. Tolong biarkan kami pergi.”
Namun, laki-laki itu hanya menggeleng pelan. “Tidak… kalian sudah masuk. Kalian harus meninggalkan sesuatu sebelum pergi.”
Pak Darman, dengan suara putus asa, berseru, “Kami nggak punya apa-apa, Pak! Cuma bawa badan kami saja!”
Sosok itu tersenyum samar, senyum yang menyeramkan. “Kalian punya nyawa… itu cukup untukku.”
Mendengar itu, Bu Sri semakin histeris dan mencoba mundur, namun sosok laki-laki itu mendekatkan kawat bergiginya ke arah mereka. Kawat itu tampak berkilauan dalam kegelapan, gigi-giginya tajam dan menakutkan.
Surya memutar otaknya cepat, berusaha mencari cara agar mereka bisa keluar dari situasi ini. Lalu, ia ingat sesuatu. Kawat bergigi yang tadi ia temukan di luar.
Ia mengangkat kawat itu ke arah sosok tersebut. “Pak! Ini kawat yang saya temukan di luar tadi! Ini milik Bapak, kan?”
Sosok itu berhenti, menatap kawat yang dipegang Surya dengan tatapan penuh emosi.
“Itu… itu kawatku…” gumamnya dengan nada pilu, seolah teringat sesuatu yang menyakitkan.
Surya, melihat peluang itu, segera melanjutkan. “Kami akan kembalikan ini pada Bapak, dengan syarat… Bapak biarkan kami pergi.”
Laki-laki itu terdiam sejenak, tatapannya berpindah dari kawat ke wajah Surya, lalu ke arah Pak Darman dan Bu Sri. Setelah beberapa saat yang terasa seperti seabad, sosok itu mengangguk pelan.
“Kalian bisa pergi… tapi jangan pernah kembali ke sini.”
Surya segera mengangguk. “Kami janji, Pak. Kami tidak akan pernah kembali ke sini.”
Hujan baru saja reda sore itu ketika Surya tiba-tiba mendapati sesuatu yang aneh di gang kecil dekat rumahnya. Jalanan masih basah, dan aroma tanah yang segar bercampur sedikit bau tajam yang berasal dari arah utara gang. Bau yang membuat Surya berhenti sejenak, memicingkan mata sambil mencoba menebak asalnya.
“Eh, bau jengkol, ya?” Surya berbicara kepada dirinya sendiri.
Seketika ia merasa merinding. Bukan soal bau jengkolnya, tapi soal waktu dan tempat. Jengkol bukan makanan yang biasa ditemukan di sini—di kampung kota kecil ini, orang-orang lebih suka makanan tradisional yang tak meninggalkan aroma yang kuat. Namun, ada sesuatu yang lebih mencolok lagi.
Surya melihat sebuah benda bersinar di antara genangan air di dekat kaki kanannya. Ia menunduk dan memungutnya. Sebuah kawat. Tapi ini bukan kawat biasa; kawat ini punya gigi-gigi kecil yang tajam di sepanjang sisinya.
“Siapa pula yang buang kawat macam ini di sini?” gumamnya, mengernyit heran.
Tak lama, seorang pria bertubuh kecil menghampirinya. Itu adalah Pak Darman, penjaga warung kecil di pojok gang. Pak Darman menatap Surya dengan tatapan penasaran sambil mengendus-endus udara, tampak terganggu dengan bau yang menyengat.
“Eh, Surya. Bau apa ini? Kayak bau jengkol basi,” ujar Pak Darman, menutup hidungnya.
Surya mengangkat kawat bergigi itu ke depan Pak Darman. “Pak, lihat ini. Nemunya di sini. Kayaknya bukan kawat biasa, ya?”
Pak Darman menatap kawat itu dengan raut muka bingung. “Kawat begini, kok, ada di sini? Bahaya kalau anak-anak nemu dan main-main, bisa kena.”
“Makanya saya heran, Pak,” jawab Surya, sambil terus memperhatikan kawat bergigi itu. “Kayak ada yang aneh di sini.”
Pak Darman menggeleng sambil bergumam, “Sejak kapan ada yang buang barang kayak gini di sekitar sini? Dan bau jengkol ini, kok, nempel banget di hidung.”
Di tengah percakapan mereka, tiba-tiba datang seseorang dari ujung gang. Seorang wanita paruh baya, yang dikenal penduduk sebagai Bu Sri. Dia tampak gusar dan gelisah.
“Eh, kalian… pada ngerasa ada bau jengkol, nggak?” tanyanya dengan nada khawatir.
Pak Darman dan Surya berpandangan, lalu mengangguk.
“Iya, Bu Sri, bau banget. Dari arah sana, kayaknya,” jawab Pak Darman sambil menunjuk ke arah selatan, tempat sebuah rumah tua yang sudah lama kosong berdiri.
“Jangan-jangan…” Bu Sri terdiam, seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Ada apa, Bu?” tanya Surya penasaran.
Bu Sri menghela napas. “Aku pernah denger cerita… dulu, di rumah tua itu, pernah ada seseorang yang suka masak jengkol malam-malam. Katanya, dia punya koleksi barang-barang aneh juga, seperti kawat berduri…”
Pak Darman menyela, “Lho, lho… masa iya rumah kosong itu ada yang masak? Kan sudah lama nggak ada penghuninya, Bu.”
Namun Bu Sri hanya mengangkat bahu, matanya berkaca-kaca. “Entahlah. Aku juga nggak tahu pasti. Tapi setiap kali bau jengkol muncul di sini, orang-orang sering merasa ada yang mengawasi.”
Surya dan Pak Darman saling pandang, merasakan keanehan yang makin meresahkan.
Surya memberanikan diri untuk mengajak mereka mengintip ke rumah tua itu. “Yaudah, gimana kalau kita coba lihat aja. Siapa tahu cuma kucing atau apa yang bikin bau ini.”
Bu Sri tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka bertiga berjalan perlahan ke arah rumah tua itu, sambil sesekali menahan napas ketika bau jengkol semakin menusuk.
Rumah tua itu tampak suram, catnya yang terkelupas dan jendelanya yang pecah membuat suasana semakin mencekam. Di depan pintu yang setengah terbuka, mereka berhenti.
“Kalian… yakin mau masuk?” tanya Bu Sri dengan suara bergetar.
Surya mengangguk. “Cuma ngintip sebentar, Bu. Nggak apa-apa.”
Ia mendorong pintu yang berderit pelan. Di dalam, ruangan itu gelap dan berdebu, dengan bau jengkol yang semakin menyengat. Namun, di balik bau jengkol itu, ada sesuatu lagi yang menusuk hidung mereka—aroma busuk yang membuat perut bergejolak.
Pak Darman, yang sedari tadi berusaha tetap tenang, tiba-tiba menunjuk ke sudut ruangan. “Lihat! Itu apa?”
Di lantai, tersebar beberapa potongan kawat bergigi yang mirip dengan yang ditemukan Surya. Namun, kali ini kawat-kawat itu melingkar dalam pola yang aneh, seolah membentuk sebuah jejak.
“Kok kayak sengaja dibentuk, ya?” gumam Surya sambil mendekati pola itu.
Bu Sri menarik napas dalam, ekspresinya pucat. “Ini… ini kayak lambang tertentu. Aku pernah lihat pola seperti ini dalam cerita-cerita mistis.”
“Cerita mistis gimana, Bu?” tanya Pak Darman penasaran.
Bu Sri menggeleng. “Ah, aku nggak yakin ini nyata. Tapi… konon, pola kawat bergigi seperti ini sering dipakai untuk memanggil sesuatu.”
“Memanggil sesuatu?” ulang Pak Darman tak percaya. “Nggak mungkin! Ini pasti cuma ulah orang iseng.”
Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan perbincangan, terdengar suara gesekan di dinding yang berdekatan dengan pola kawat itu. Mereka semua menoleh, dan mata mereka terbelalak saat melihat bayangan samar di balik kegelapan.
Tiba-tiba, suara berbisik muncul dari sudut ruangan, suara yang terdengar seperti seseorang yang merintih.
“Ini bukan tempat kalian…” bisik suara itu, samar namun menakutkan.
Surya, Pak Darman, dan Bu Sri terdiam, tubuh mereka seolah membeku
Dengan langkah gemetar, mereka bertiga perlahan mundur ke arah pintu. Anehnya, pintu yang tadi terkunci tiba-tiba terbuka dengan sendirinya, memberikan mereka jalan keluar. Tanpa berpikir panjang, mereka segera keluar dari rumah tua itu, tidak peduli pada hujan dan genangan air yang kembali mengguyur di luar.
Setelah sampai di luar, mereka menoleh sekali lagi ke arah rumah tua itu. Namun, tak ada sosok atau tanda-tanda dari laki-laki tua yang barusan mereka temui. Rumah itu kembali sunyi, hanya menyisakan bau jengkol yang semakin samar di udara.
Bu Sri menghela napas dalam, wajahnya tampak lelah. “Apa… yang barusan kita alami itu nyata?”
Pak Darman mengangguk pelan. “Aku juga nggak tahu, Bu. Tapi satu hal pasti… kita nggak akan pernah kembali ke sini.”
Surya menggenggam kawat bergigi itu dengan erat, lalu melemparkannya jauh-jauh ke dalam semak-semak di tepi jalan. “Biar hilang dari hidup kita,” katanya dengan suara lirih.
Mereka bertiga berjalan pulang dengan perasaan lega bercampur ngeri, dan hingga hari ini, kisah tentang misteri kawat bergigi dan bau jengkol di rumah tua itu tetap menjadi cerita yang tak pernah ingin mereka ingat kembali.
Saya sukaa bagus
Waah bagus sekali cerita nya
terima kasih , di tunggu cerpen atau puisi nya ya
menarik
kisah tentang misteri kawat bergigi dan bau jengkol di rumah tua itu tetap menjadi cerita yang tak pernah ingin mereka ingat kembali.
Jika menemukan barang barang yg misterius, kembali kan lah barang tersebut di tempat ny lagi, karna itu hanya sebuah jebakan.
Dari dalam kegelapan, muncul sosok laki-laki tua berambut acak-acakan dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat seperti mayat, dan tubuhnya diselimuti oleh bau jengkol yang menyengat. Namun yang paling membuat mereka ngeri adalah, di tangan sosok itu terdapat kawat bergigi yang melilit erat di sekitar pergelangan tangannya.