Sore itu, angin berdesir pelan di sepanjang jalan setapak menuju desa. Amir berjalan santai, menikmati aroma pinus dan rumput yang basah oleh hujan semalam. Ia baru saja selesai berbelanja di pasar desa dan kini hendak pulang ke rumah. Hari itu terasa biasa, tidak ada yang tampak luar biasa, hingga ia bertemu dengan seorang nenek-nenek yang tampak tersesat di ujung jalan setapak.
Nenek itu duduk di atas batu besar, tampak kebingungan. Rambutnya yang memutih terurai, matanya yang keriput memandang sekitar dengan cemas. Amir merasa iba dan mendekatinya.
“Selamat sore, Nek,” sapanya dengan suara pelan. “Nenek butuh bantuan?”
Nenek itu menoleh, matanya bersinar lega. “Oh, anak muda. Iya, aku tersesat. Rumahku tidak jauh dari sini, tapi aku lupa jalannya. Bisakah kamu menolongku?”
Amir mengangguk. “Tentu saja, Nek. Mari, saya antar.”
Nenek itu bangkit dengan perlahan, dan mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang semakin jauh dari desa. Langit beranjak gelap, dan kabut tipis mulai turun, memberikan nuansa yang agak menyeramkan pada hutan di sekeliling mereka. Sepanjang jalan, nenek itu bercerita tentang dirinya. Ia mengatakan bahwa ia tinggal sendirian setelah suaminya meninggal bertahun-tahun lalu.
“Sekarang aku tinggal di rumah tua peninggalan keluarga kami. Tidak ada lagi yang menemani kecuali kenangan,” katanya dengan suara penuh nostalgia.
Setelah berjalan selama hampir setengah jam, mereka tiba di depan sebuah rumah tua yang tampak sangat tua dan terabaikan. Rumah itu berdiri megah, tetapi aura misterius mengelilinginya. Jendela-jendelanya tertutup debu, dan kayu-kayu di dindingnya mulai lapuk. Pekarangan rumah itu dipenuhi ilalang tinggi yang bergerak mengikuti angin.
“Inilah rumahku,” kata nenek itu sambil tersenyum lemah. “Masuklah, anak muda. Biar kubuatkan teh hangat sebagai tanda terima kasih.”
Amir ragu sejenak, namun rasa penasarannya lebih besar. Ia mengikuti nenek itu masuk ke dalam rumah. Begitu pintu tua itu terbuka, aroma khas bangunan tua langsung menyerbu hidungnya, campuran debu, kayu lapuk, dan sesuatu yang ia tidak bisa tentukan.
Interior rumah itu penuh dengan barang-barang antik dan furnitur yang tampak berasal dari abad yang lalu. Gambar-gambar keluarga tergantung di dinding, tapi beberapa di antaranya sudah pudar dan tak lagi jelas. Nenek itu menuntunnya ke ruang tamu yang besar, dengan perapian yang sudah lama tak digunakan.
“Nak, duduklah di sini. Aku akan mengambil teh di dapur,” kata nenek itu sambil beranjak ke ruangan lain.
Amir duduk di kursi goyang yang tampak rapuh. Ruangan itu terasa sangat dingin meski perapian terlihat pernah dinyalakan. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan mulai bergerak, dan Amir merasa ada sesuatu yang tidak beres. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia memandang sekeliling dan mulai melihat hal-hal aneh: bayangan yang bergerak di sudut mata, suara-suara berbisik di telinganya, dan sekali-kali, ia merasa ada tangan yang menyentuhnya.
Setelah beberapa menit, nenek itu kembali dengan nampan berisi cangkir teh yang mengepul. “Teh hangat untukmu, Nak. Minumlah, ini akan membuatmu hangat.”
Amir meraih cangkir itu dengan tangan sedikit gemetar. Saat ia menyesap teh itu, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya, tetapi perasaan aneh di rumah itu tidak kunjung hilang.
“Nek, rumah ini terasa sangat tua dan… aneh,” kata Amir, berusaha sopan.
Nenek itu tersenyum samar. “Memang tua, Nak. Banyak cerita yang tertinggal di sini, banyak kenangan. Beberapa orang bilang rumah ini angker, tapi bagiku, ini adalah rumah.”
Kata-kata nenek itu membuat Amir merinding. Ia merasa ada sesuatu yang ingin dikatakannya namun tertahan. Sambil berbicara dengan nenek itu, ia mendengar suara-suara berisik dari lantai atas. “Nek, apakah ada orang lain di rumah ini?” tanyanya, mulai merasa tidak nyaman.
“Oh, tidak ada siapa-siapa, Nak. Hanya kita berdua,” jawab nenek itu dengan senyuman yang tidak membuatnya merasa lebih baik.
Amir mencoba mengabaikan suara-suara itu, tetapi semakin ia berusaha, semakin jelas suara-suara itu terdengar, seperti langkah kaki yang berjalan perlahan dan suara-suara berbisik yang tidak dapat ia pahami. Ia berusaha tetap tenang, namun keringat dingin mulai mengalir di dahinya.
“Aku pikir aku harus pulang sekarang, Nek,” kata Amir akhirnya, berusaha bangkit dari kursinya.
Nenek itu memandangnya dengan mata yang tampak penuh harapan sekaligus kekecewaan. “Ah, secepat itukah, Nak? Tapi, terima kasih sudah menemani nenek sejenak.”
Amir tersenyum kikuk dan berjalan menuju pintu. Saat ia hendak membuka pintu, tiba-tiba ada sebuah suara keras dari lantai atas yang membuatnya berhenti. Ia menoleh ke arah nenek itu, yang sekarang berdiri di ujung ruangan dengan pandangan kosong.
“Tolong, Nak,” kata nenek itu dengan suara yang tiba-tiba terdengar sangat jauh. “Bantu nenek menemukan apa yang hilang.”
Amir merasa ada yang sangat tidak beres. “Apa yang hilang, Nek?” tanyanya sambil mendekati nenek itu dengan ragu-ragu.
Nenek itu tampak seperti ingin menangis. “Kenangan nenek… Kenangan yang ada di lantai atas. Tolong carikan.”
Dengan berat hati dan rasa penasaran yang besar, Amir memutuskan untuk pergi ke lantai atas. Tangga yang ia naiki berderit dengan suara nyaring di setiap langkahnya. Cahaya dari lampu minyak yang ia bawa bergetar, menambah suasana menakutkan di sekitar.
Sesampainya di lantai atas, ia mendapati deretan kamar dengan pintu-pintu yang setengah terbuka. Suara-suara berbisik semakin jelas, dan langkah kaki misterius itu kini terdengar di sekelilingnya. Amir merasa bulu kuduknya meremang.
Ia memasuki sebuah kamar yang tampak seperti kamar tidur tua. Ada sebuah lemari besar di sudut ruangan dan sebuah ranjang dengan seprai yang lusuh. Di meja kecil di samping ranjang, terdapat sebuah buku harian tua. Amir mengambilnya dan membukanya dengan hati-hati.
Buku harian itu dipenuhi tulisan tangan yang rapi. Ia membaca beberapa halaman dan mendapati cerita tentang keluarga yang dulu tinggal di rumah ini. Cerita tentang cinta, kebahagiaan, tetapi juga tragedi yang menghantui mereka. Di antara halaman-halaman itu, Amir menemukan sebuah foto keluarga yang tampak utuh dan bahagia, namun foto itu berakhir dengan halaman yang robek dan coretan yang menunjukkan kesedihan mendalam.
Tiba-tiba, angin dingin bertiup dari jendela yang terbuka, dan buku harian itu terlepas dari tangannya. Lembaran-lembaran yang terlepas terbang dan mendarat di lantai, menunjukkan bagian akhir yang kosong dan kelam.
Amir merasa harus cepat keluar dari tempat itu. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa, membawa buku harian itu bersamanya. Saat ia kembali ke ruang tamu, nenek itu masih berdiri di tempat yang sama, tapi kini tampak lebih tenang.
“Nenek, aku menemukan ini,” katanya sambil menyerahkan buku harian itu.
Nenek itu memegang buku harian itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Nak. Kamu telah membantu nenek menemukan kembali kenangan nenek.”
Wajah nenek itu tampak lega, dan Amir merasa beban yang menyesakkan dadanya perlahan-lahan menghilang. Ia berpamitan dan berjalan keluar rumah. Saat pintu tertutup di belakangnya, rumah tua itu tampak lebih terang, seolah beban misterius yang menghantui telah terangkat.
Dalam perjalanan pulang, Amir tidak bisa berhenti memikirkan pengalaman itu. Ketika ia melihat ke belakang, rumah itu tampak tenang, hampir damai, namun ia tahu, di dalamnya tersimpan kisah-kisah yang mungkin tidak akan pernah terungkap sepenuhnya.
Hari berikutnya, ketika Amir kembali ke tempat itu untuk melihat apakah nenek itu masih membutuhkan bantuan, ia terkejut mendapati rumah itu sudah tidak ada. Hanya ada reruntuhan dan pepohonan liar yang menutupi tempat itu, seolah rumah tua itu hanya mimpi buruk yang ia alami di malam yang gelap.
Wah bagus sekali
ceritanya seruu
Wahhhhh baguss
Cerita nya keren
Ceritanya menyeramkan
Kerenn
Mantap
Kerenn
ceritanya bagus
seorang nenek yang merindukan kenangan masa lalu nya yang berada di lantai atas.
cerita tersebut membuat bulu kuduk kita berdiri