Di SMK Bina Bangsa, siapa yang tidak kenal dengan Apri? Dia siswa kelas XII yang hampir semua guru dan siswa segan kepadanya. Bukan karena Apri galak atau berkuasa, tapi justru karena dia sosok yang berbanding terbalik dengan stereotip remaja masa kini. Dia Alim, Pinter, dan Romantis dalam arti yang lebih luas seorang yang lembut, penuh perhatian, dan bisa diandalkan.
Setiap pagi, Apri adalah yang paling pertama datang ke sekolah. Rapi dan bersih, dia selalu menyempatkan waktu untuk sholat Dhuha di masjid sekolah sebelum bel masuk berbunyi. Dia jarang terlambat, selalu membawa bekal sendiri, dan punya cara pengaturan waktu yang bikin iri semua orang. Kedisiplinan dan ketelatenan Apri adalah sesuatu yang tidak semua orang miliki, apalagi di usia remaja seperti dia.
Pagi itu, saat bel masuk berbunyi, Apri baru saja selesai sholat Dhuha dan bersiap masuk ke kelas. Di kelas, dia langsung disambut oleh teman-temannya, terutama oleh tiga sahabat dekatnya—Dito, Rizka, dan Sari. Mereka tahu, hari itu mereka ada ujian Matematika, dan seperti biasa, Apri sudah siap membantu mereka mengulang pelajaran yang belum mereka pahami.
“Apri, ini nih, aku belum ngerti soal limit yang kemarin,” keluh Sari sambil menunjuk soal di bukunya.
“Tenang aja, Sar. Aku jelasin lagi, deh,” jawab Apri dengan tenang, membuka buku catatannya yang penuh dengan tulisan rapi dan lengkap. Cara Apri mengajar teman-temannya memang beda, dia sabar dan nggak pernah buat mereka merasa bodoh atau malu.
Di tengah-tengah itu, Dito, si jahil kelas, tiba-tiba menyenggol Apri sambil menyeringai. “Bro, lu beneran cowok paling lengkap di sekolah ini! Alim, pinter, bahkan romantis! Wajar sih semua cewek di kelas ini suka sama lu.”
Apri hanya tersenyum tipis, seperti biasa. Meski sering digoda seperti itu, dia tetap tenang dan rendah hati. Baginya, semua itu bukan karena dirinya istimewa, tapi karena sudah menjadi prinsip hidupnya untuk menjadi pribadi yang bermanfaat.
Kalau bicara soal “romantis,” mungkin definisi teman-teman Apri berbeda dari pemahamannya sendiri. Bagi Apri, romantis bukan soal bunga, kado mahal, atau pujian manis. Romantis adalah tentang perhatian, empati, dan menjaga hati orang lain. Misalnya, setiap kali Rizka dan Sari bertanya soal pelajaran atau minta pendapatnya tentang sesuatu, Apri selalu berusaha mendengarkan dengan seksama, tidak pernah memotong atau meremehkan mereka. Dia tahu, sebagai teman, yang paling penting adalah bagaimana bisa hadir dan mendukung satu sama lain.
Suatu hari, saat hujan deras mengguyur, Apri melihat Sari terjebak di gerbang sekolah, kebingungan karena tidak membawa payung. Dengan sigap, Apri menawarkan payungnya tanpa berpikir dua kali. “Pakai ini aja, Sar. Rumahku dekat, aku bisa lari aja.”
Sari tersenyum, merasa tersentuh oleh perhatian Apri yang begitu tulus. “Makasih ya, Apri. Kamu emang beda…”
Apri hanya mengangguk dengan senyum kecil. “Santai aja, kan kita teman.” Dan begitulah Apri, selalu membuat orang lain merasa istimewa tanpa membuatnya terasa seperti sebuah pencapaian.
Selain dikenal karena sifatnya yang alim dan perhatian, Apri juga pintar dalam mengatur uang. Dia sadar bahwa orang tuanya bukan orang kaya, jadi dia selalu berhemat dan mengelola uang saku dengan bijaksana. Setiap minggu, Apri menyisihkan sebagian uang sakunya untuk ditabung, sebagian lagi untuk jajan dan kebutuhan sekolah.
Kebiasaan ini menular ke teman-temannya. Melihat Apri yang selalu bijak dalam hal keuangan, banyak teman yang mulai mengikuti caranya. Bahkan Dito yang dulunya boros, kini sudah punya tabungan mingguan sendiri.
“Pri, gue mau nyoba nabung kayak lo, gimana caranya?” tanya Dito suatu hari.
Apri menjelaskan dengan sederhana. “Gampang, Dit. Mulai aja dari nyisihin sedikit demi sedikit. Jangan langsung habisin uang buat jajan yang nggak penting. Kalau lo bisa nyisihin lima ribu per hari, dalam seminggu udah lumayan, kan?”
Dito manggut-manggut. “Tapi godaan buat jajan itu kuat, Pri…”
Apri tertawa kecil. “Ya itu bagian dari latihan, bro. Sama kayak sabar waktu nunggu hasil belajar, ngatur uang juga soal sabar dan disiplin.”
Setiap Jumat, Apri selalu ikut kegiatan ngaji di masjid sekolah. Dia nggak hanya sekadar datang, tapi benar-benar belajar dan memperdalam ilmu agama. Baginya, ngaji adalah momen berharga untuk memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Allah, dan mendapatkan panduan dalam hidup.
“Ngaji itu bukan cuma buat tahu bacaan atau hafalan aja, tapi juga buat tahu mana yang benar dan salah dalam hidup,” ucap Apri suatu hari pada teman-temannya.
Kegiatan ngaji ini juga membuat Apri lebih bijak dalam bertindak dan berbicara. Dia selalu menjaga perkataannya, tidak pernah bicara kasar atau menyakiti perasaan orang lain. Dia paham bahwa menjadi bijak dan penuh kasih sayang adalah bentuk dari ibadah yang diterima Allah.
Rizka, yang selalu mendengar setiap nasihat Apri, merasa kagum dengan cara pandang Apri. “Kamu tau nggak, Pri? Aku jadi lebih suka ngaji dan belajar agama setelah lihat kamu.”
Apri tersenyum, bahagia mendengarnya. “Alhamdulillah, kalau aku bisa bantu orang jadi lebih baik, itu yang paling penting.”
Pada suatu hari, ada masalah besar di sekolah. Uang kas kelas hilang, dan semua teman kelas jadi panik. Beberapa orang mulai saling tuduh, suasana kelas menjadi tegang. Tanpa banyak bicara, Apri maju dan menenangkan teman-temannya.
“Guys, jangan saling tuduh dulu. Kita bisa cari jalan keluar bareng-bareng. Jangan sampai persahabatan kita hancur cuma karena masalah ini,” ujarnya dengan nada tenang.
Mendengar kata-kata Apri, teman-temannya jadi lebih tenang. Mereka sepakat untuk menyelidiki masalah ini dengan kepala dingin, dan berkat bimbingan Apri, akhirnya mereka bisa menemukan uang itu terselip di tumpukan buku perpustakaan yang tak sengaja terbawa.
Setelah kejadian itu, semua orang makin menghargai Apri. Tidak hanya pintar, dia juga bijaksana, mampu meredam konflik, dan menjaga persahabatan mereka tetap solid.
Meski terkenal dengan kepribadian yang tenang, Apri ternyata juga punya sisi romantis yang selalu membuat teman-temannya kagum. Dia bukan tipe yang mengumbar perhatian pada lawan jenis, tapi cara dia memperlakukan orang-orang di sekitarnya selalu penuh kasih sayang. Setiap orang merasa dihargai dan dianggap penting ketika bersama Apri.
Suatu sore, saat matahari hampir tenggelam, Rizka yang diam-diam menyukai Apri berani bertanya, “Apri, pernah nggak kepikiran soal pacaran atau punya seseorang yang spesial?”
Apri tertawa pelan. “Aku nggak pernah mikir terlalu jauh, Riz. Buatku, yang penting kita bisa jadi versi terbaik diri sendiri dulu. Kalau udah waktunya, InsyaAllah bakal ada orang yang ditakdirkan buat kita.”
Rizka tersenyum. Meski jawaban itu terasa normatif, dia bisa merasakan ketulusan dari kata-kata Apri. Kata-kata yang sederhana, tapi penuh makna, membuat Rizka semakin mengagumi Apri.
Seiring waktu, Apri terus menjadi inspirasi bagi teman-temannya. Sikapnya yang alim, pintar, romantis, dan bijaksana menjadikannya teladan yang tidak mudah dilupakan. Dia tidak hanya seorang teman, tetapi juga panutan yang selalu membawa energi positif ke manapun dia pergi.
Setelah lulus, Apri tetap menjadi sorotan, meskipun dia jarang tampil mencolok. Bagi Dito, Rizka, Sari, dan teman-teman lainnya, Apri adalah gambaran seorang remaja yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berpegang teguh pada nilai-nilai kebaikan dan kejujuran.
Bagi mereka, menjadi seperti Apri adalah impian yang berharga, karena di balik sikapnya yang sederhana, tersimpan kekuatan dan kebaikan hati yang sejati. Mereka belajar bahwa, seperti Apri, menjadi pribadi yang baik tidak selalu berarti harus sempurna, tapi terus berusaha menjadi lebih baik setiap hari, dengan selalu mengandalkan Allah sebagai penuntun dalam setiap langkah.