Fritz Triz Huntara, seorang pelajar kelas XI berusia 16 tahun, duduk di meja belajarnya sambil menatap kalender yang tergantung di dinding. Tanggal 22 Desember 2024 dilingkari dengan spidol merah. Hari itu adalah Hari Ibu, hari yang selalu membuatnya berpikir keras untuk memberikan sesuatu yang istimewa kepada ibunya, Sulastri.
“Ibu selalu bilang nggak usah kasih apa-apa, tapi Fritz pengen kasih sesuatu yang spesial tahun ini,” gumam Fritz sambil mengetuk-ngetukkan pensil ke meja.
Sejak kecil, ibunya selalu menjadi sosok yang tangguh. Setelah ayah Fritz meninggal dunia lima tahun lalu, Sulastri mengambil alih semua tanggung jawab keluarga. Ia bekerja keras sebagai penjahit rumahan, menyelesaikan pesanan hingga larut malam demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Fritz tahu, hadiah materi mungkin tak akan cukup untuk membalas semua pengorbanan ibunya. Tapi ia ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar menghargai setiap keringat yang dicucurkan ibunya demi dirinya.
Setelah berpikir sejenak, Fritz mendapat ide. Ia membuka laptop dan mulai mengetik sesuatu.
Keesokan paginya, Fritz bangun lebih awal dari biasanya. Ia keluar rumah menuju pasar untuk membeli beberapa bahan makanan. Hari itu, ia memutuskan untuk memasak makanan favorit ibunya, opor ayam dan sambal goreng kentang. Meski hanya tahu dasar-dasar memasak dari pelajaran sekolah, ia yakin bisa melakukannya dengan baik.
Di dapur, Fritz sibuk dengan panci dan wajan. Sesekali ia membuka ponselnya untuk melihat resep yang sudah ia simpan sebelumnya.
“Ibu pasti kaget kalau lihat Fritz masak,” gumamnya sambil mencicipi kuah opor.
Sulastri, yang saat itu masih di kamar, merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia mencium aroma masakan yang memenuhi rumah. Dengan rasa penasaran, ia keluar menuju dapur.
“Fritz? Kamu masak?” tanya Sulastri dengan wajah penuh kejutan.
Fritz, yang sedang sibuk mengaduk sambal goreng kentang, menoleh dan tersenyum lebar. “Iya, Bu. Hari ini Fritz yang masak. Ibu duduk aja, nggak usah ngapa-ngapain.”
Sulastri terkekeh. “Kamu ini, ada-ada saja. Tapi Ibu senang, loh.”
Setelah semua masakan selesai, Fritz menyusun meja makan dengan rapi. Di tengah meja, ia meletakkan bunga mawar putih yang dibelinya di pasar pagi tadi.
“Selamat Hari Ibu, Bu,” kata Fritz sambil menarik kursi untuk ibunya.
Sulastri tersenyum haru. “Terima kasih, Nak. Kamu benar-benar perhatian sama Ibu.”
Mereka pun makan bersama. Sulastri tampak menikmati setiap suap makanan yang dibuat Fritz. “Rasanya enak, Fritz. Kamu ini berbakat juga, ya.”
Fritz tertawa kecil. “Fritz belajar dari internet, Bu. Yang penting Ibu suka.”
Setelah makan siang, Fritz membawa ibunya ke ruang keluarga. Di atas meja, ada sebuah amplop putih yang ia letakkan di sana.
“Ini hadiah untuk Ibu,” kata Fritz sambil menyerahkan amplop itu.
Sulastri membuka amplop tersebut dan menemukan sebuah surat tulisan tangan. Ia mulai membaca perlahan, suaranya sedikit bergetar saat membacanya:
“Untuk Ibu tersayang,
Terima kasih sudah menjadi ibu terbaik di dunia buat Fritz. Ibu selalu bekerja keras dan nggak pernah mengeluh, meskipun kadang Fritz tahu Ibu capek. Fritz bangga punya ibu seperti Ibu. Hari ini, Fritz cuma mau bilang, Fritz akan selalu berusaha jadi anak yang baik, seperti yang Ibu harapkan. Fritz janji akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya suatu hari nanti bisa membuat Ibu bangga. Selamat Hari Ibu. Fritz sayang Ibu.”
Air mata mulai menggenang di sudut mata Sulastri. Ia memandang Fritz dengan senyum yang penuh kasih.
“Fritz, Ibu nggak butuh hadiah mahal. Surat ini saja sudah cukup membuat Ibu bahagia. Terima kasih, Nak.”
Fritz memeluk ibunya erat. “Fritz cuma ingin Ibu tahu kalau Fritz sayang sama Ibu.”
Hari itu, Sulastri merasa menjadi ibu yang paling beruntung di dunia. Dan bagi Fritz, melihat senyuman ibunya adalah hadiah terbaik yang bisa ia berikan.
Sejak hari itu, Fritz semakin berusaha untuk membantu ibunya, baik di rumah maupun dengan belajar lebih giat di sekolah. Hari Ibu tahun itu menjadi pengingat indah akan kasih sayang yang tak ternilai antara ibu dan anak.