Thole, seorang siswa kelas 5 SD, adalah anak yang penuh semangat dan bakat. Dia memiliki prestasi luar biasa dalam bidang non-akademik. Sejak usia dini, Thole sudah menunjukkan bakatnya dalam modeling, solo song, dan akting. Prestasinya tidak main-main; dia telah memenangkan kompetisi tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Bahkan, Thole telah membintangi beberapa FTV yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional. Namun, di sekolah, ceritanya berbeda.
“Thole, aku dengar kamu menang lagi di lomba nyanyi, ya?” tanya salah satu temannya, Beni, saat jam istirahat.
“Iya, Ben. Aku senang banget. Kompetisinya ketat, tapi akhirnya aku bisa menang,” jawab Thole dengan senyum bangga.
“Keren banget, Thole! Kamu pasti terkenal nanti,” kata Beni dengan mata berbinar.
Namun, di balik dukungan dari teman-temannya, ada realitas pahit yang harus Thole hadapi. Sekolahnya, yang seharusnya menjadi tempat yang mendukung dan menghargai prestasi murid-muridnya, ternyata tidak begitu peduli dengan apa yang telah dicapai Thole.
Suatu hari, saat upacara pentas seni pelepasan siswa kelas 6 di sekolah nama thole tidak dilibatkan dalam kegiatan tersebut, dan juga kepala sekolah menyebutkan beberapa siswa yang berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik. Nama Thole tidak disebutkan, meskipun dia baru saja memenangkan lomba tingkat nasional.
Thole berdiri di barisan, berharap namanya akan dipanggil. Namun, ketika upacara selesai, tidak ada satu pun kata penghargaan yang dia dengar untuk dirinya.
Sepulang sekolah, Thole berbicara kepada ibunya, Ibu Rini, yang selalu mendukung dan menginspirasi dia.
“Bu, kenapa ya sekolah nggak pernah menghargai prestasiku? Padahal aku sudah berusaha keras,” kata Thole dengan nada sedih.
Ibu Rini tersenyum lembut dan membelai kepala Thole. “Nak, ingatlah bahwa tidak semua orang bisa melihat kehebatanmu. Yang penting, kamu tahu bahwa apa yang kamu lakukan itu luar biasa. Teruslah berkarya dan jangan menyerah.”
Beberapa guru di sekolah bahkan tidak segan-segan meremehkan pencapaian Thole. Suatu hari, saat pelajaran Matematika, Bu Mirah, guru kelas Thole, memberikan sindiran yang menyakitkan.
“Thole, kamu memang sering menang lomba nyanyi dan modeling, tapi bagaimana dengan matematika? Kapan kamu akan fokus belajar?” tanya Bu Mirah dengan nada tajam dan melotot.
Thole menundukkan kepala. Dia tahu nilainya di bidang akademik tidak sebaik teman-temannya. Namun, dia selalu berusaha sebaik mungkin.
Setelah pelajaran selesai, Thole berbicara dengan sahabatnya, Rina, di taman sekolah.
“Rina, aku merasa sedih. Bu Mirah bilang kalau prestasiku di modeling dan nyanyi itu nggak penting. Padahal aku sudah berusaha keras,” kata Thole dengan suara pelan.
Rina menatap Thole dengan penuh simpati. “Thole, jangan biarkan kata-kata Bu Mirah membuatmu down. Kamu hebat, dan aku bangga sama kamu. Lanjutkan apa yang kamu suka.”
Thole memutuskan untuk tidak membiarkan ejekan dan ketidakpedulian meruntuhkan semangatnya. Dia terus berlatih dan mengikuti berbagai kompetisi. Suatu hari, Thole diundang ke sebuah acara penghargaan tingkat nasional. Saat namanya dipanggil dan dia menerima piala, perasaan bangga menyelimuti hatinya. Namun, kebanggaan itu sirna begitu ia kembali ke sekolah.
Tidak ada sambutan atau ucapan selamat. Thole merasa kecewa, tetapi dia teringat kata-kata ibunya.
“Apapun yang kamu lakukan, lakukanlah dengan sepenuh hati. Keberhasilan tidak selalu diukur dari penghargaan orang lain, tetapi dari kepuasan dan kebahagiaan yang kamu rasakan.”
Thole mengusap air matanya dan bangkit. Dia memutuskan untuk terus berkarya, bukan untuk mendapatkan penghargaan dari sekolah atau guru-gurunya, tetapi untuk dirinya sendiri dan mereka yang mendukungnya.
Setahun kemudian berlalu, Thole terus mengembangkan bakatnya dan bersekolah di SMP Bonafit dan Elite. Di sekolah baru nya prestasi thole sangat di banggakan , Dia semakin sering tampil di televisi dan menjadi bintang yang dikenal banyak orang. Pada suatu hari, Thole kembali ke SD nya sebagai seorang tamu kehormatan dalam acara alumni. Kepala sekolah dan guru-guru yang dulu meremehkannya kini bangga memperkenalkan Thole sebagai mantan siswa mereka yang sukses.
Saat berdiri di panggung, Thole merasa campur aduk. Dia ingat masa-masa sulitnya di sekolah, tetapi juga bangga dengan pencapaiannya.
“Dulu, prestasiku tidak dihargai di sini. Tapi aku belajar bahwa apresiasi terbesar datang dari dalam diri kita sendiri. Jangan pernah berhenti bermimpi dan berusaha. Keberhasilan kita adalah milik kita sendiri,” kata Thole dengan penuh keyakinan.
Sorak sorai tepuk tangan memenuhi ruangan. Thole tersenyum, merasa puas bahwa perjalanan panjangnya tidak sia-sia. Dia telah membuktikan bahwa prestasi tidak selalu diukur dari penghargaan orang lain, tetapi dari kepuasan dan kebahagiaan yang kita rasakan.