PUTUS CINTA DI MALAM JUMAT KLIWON
Malam itu, suasana di desa Mulyorejo begitu lengang. Hanya suara jangkrik dan angin yang berhembus lembut menemani malam Jumat Kliwon. Di sebuah rumah besar di pinggir sawah, Arga duduk termenung di ruang tamu. Pemuda tampan dan mapan itu adalah anak Pak Trump, juragan padi terkenal di desa. Hidupnya nyaris sempurna—pekerjaan bagus, keluarga terpandang, dan pacar yang telah ia pacari selama 10 tahun, Elysna.
Namun, malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan. Elysna datang ke rumah Arga dengan wajah yang muram. Setelah 10 tahun bersama, Arga tak menyangka bahwa malam ini, di malam Jumat Kliwon, semuanya akan berubah.
“Arga, aku nggak tahu harus mulai dari mana,” kata Elysna sambil menunduk. Suaranya bergetar.
Arga merasakan ada yang tidak beres. Ia menatap wajah Elysna, berusaha membaca pikirannya. “Katakan saja, Elys. Ada apa?”
Elysna menarik napas panjang, kemudian menatap Arga dengan mata yang berkaca-kaca. “Arga, kita nggak bisa terus begini. Aku harus jujur sama kamu, ini berat buatku.”
Arga terkejut. “Maksud kamu apa? Kita sudah sepuluh tahun bersama. Apa yang kurang?”
Elysna menunduk, mencoba menahan air mata. “Bukan masalah kurang atau lebih, Arga. Ini tentang keputusan orang tua aku. Mereka menjodohkan aku dengan seseorang…”
Kalimat itu seperti petir yang menyambar Arga. “Menjodohkan? Dengan siapa?” tanyanya, suaranya lebih tinggi dari biasanya.
“Juragan angkot, anaknya Pak Wiryo. Orang tua aku merasa dia lebih cocok buat aku, dan mereka nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa menolak keputusan mereka.”
Arga berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir. Dadanya terasa sesak mendengar semua ini. “Elys, kita sudah sepuluh tahun bersama. Kamu mau menyerah begitu saja? Hanya karena perjodohan?”
Elysna menunduk, tangannya gemetar. “Aku nggak punya pilihan, Arga. Keluarga aku… mereka butuh hubungan ini. Aku nggak bisa ngelawan.”
“Aku nggak percaya ini. Kamu lebih memilih pria yang bahkan nggak kamu kenal daripada aku, yang sudah sepuluh tahun ada di samping kamu?”
“Aku juga nggak mau ini terjadi, Arga. Tapi, aku harus menjalankan kehendak orang tua,” jawab Elysna, suaranya pelan namun tegas.
Hati Arga hancur mendengar kata-kata itu. Ia hanya bisa menatap Elysna dengan penuh luka, seolah dunia di sekitarnya mulai runtuh. Setelah semua yang mereka lalui, sekarang semuanya harus berakhir karena keputusan yang sama sekali tidak ada dalam kendalinya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Elysna bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Arga yang masih diam membeku di tempatnya. Punggungnya semakin menjauh, seiring dengan hilangnya harapan yang selama ini ia jaga.
Di sisi lain desa, seorang gadis bernama Sawitri sedang menatap pemandangan yang menghancurkan hatinya. Ia melihat kekasihnya, Bayu, sedang duduk di warung makan bersama seorang perempuan lain. Mereka tampak begitu mesra, tertawa dan bercanda seolah dunia milik mereka berdua. Sawitri sudah mencurigai Bayu selama berminggu-minggu, dan malam ini, semuanya terbukti.
Dengan hati yang hancur, Sawitri berlari keluar dari warung, air mata mengalir di pipinya. Bayu yang menyadari Sawitri pergi, langsung mengejarnya.
“Sawitri! Tunggu, aku bisa jelasin!” teriak Bayu, namun Sawitri tak menghiraukan.
Sawitri terus berlari, tak tahu ke mana harus pergi. Ia hanya ingin menjauh dari kenyataan pahit yang baru saja ia saksikan. Di jalan yang sepi dan gelap, pikirannya kacau, tubuhnya gemetar. Tanpa disadari, dari arah berlawanan, Arga sedang berjalan sambil melamun, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
BRUK!
Mereka bertabrakan dengan keras. Sawitri terjatuh, begitu pula Arga. Sejenak, mereka saling terdiam, menatap satu sama lain dalam keheningan.
“Maaf… aku nggak sengaja,” kata Arga sambil bangkit dan membantu Sawitri berdiri.
Sawitri menghapus air matanya dengan cepat, berusaha menyembunyikan kesedihannya. “Nggak apa-apa. Aku juga nggak lihat jalan.”
Mereka berdiri saling berhadapan. Dalam kegelapan malam, mata mereka bertemu, dan entah kenapa, di tengah rasa sakit hati masing-masing, ada sesuatu yang aneh. Sebuah perasaan tenang yang datang begitu saja.
“Kamu kenapa lari-lari? Ada yang ngejar kamu?” tanya Arga, menyadari kehadiran Bayu yang mendekat.
Sawitri hanya menggeleng, menatap Bayu yang kini terhenti beberapa meter dari mereka. Bayu tampak bingung melihat Sawitri bersama Arga, seorang pemuda yang tampak lebih mapan dan berwibawa.
“Aku cuma ingin sendiri,” jawab Sawitri akhirnya, suaranya masih bergetar.
Arga mengangguk pelan. “Kalau begitu, biar aku temani kamu. Kita jalan-jalan sebentar. Udara malam bisa bikin tenang.”
Sawitri menatap Arga dengan ragu, tapi ada sesuatu dalam diri Arga yang membuatnya merasa aman. Akhirnya, ia setuju. Mereka berjalan menyusuri jalan desa yang sepi, meninggalkan Bayu yang tak bisa berkata apa-apa.
Percakapan di antara mereka dimulai dengan hal-hal sederhana. Awalnya canggung, tapi lama-kelamaan, mereka mulai saling terbuka. Arga menceritakan tentang Elysna yang baru saja memutuskannya demi perjodohan, sementara Sawitri menceritakan tentang Bayu yang ternyata berselingkuh.
Dari pertemuan yang tak disengaja itu, Arga dan Sawitri menemukan penghiburan dalam satu sama lain. Mereka adalah dua orang yang sama-sama terluka, tetapi di malam Jumat Kliwon yang dingin itu, mereka mulai merasakan hangatnya kehadiran satu sama lain.
Waktu berlalu, dan perkenalan mereka berlanjut ke arah yang lebih serius. Malam Jumat Kliwon yang penuh dengan rasa sakit itu, justru menjadi awal dari sebuah kisah baru—kisah cinta yang tak terduga, di antara dua hati yang pernah hancur.
Mungkin, itulah takdir. Ketika satu pintu tertutup, pintu lain akan terbuka. Arga dan Sawitri, yang awalnya dipisahkan oleh rasa sakit, kini dipertemukan oleh harapan. Di malam yang gelap dan sepi itu, di bawah langit berbintang, mereka tahu bahwa perjalanan baru mereka baru saja dimulai.