Di sebuah desa kecil yang sunyi, hiduplah dua orang kakak beradik, Sakhi dan Khairin. Mereka adalah dua anak yang terlahir dari dua ibu yang berbeda. Sakhi, sang kakak, tumbuh dengan cepat tanpa kasih sayang seorang ibu, karena ibunya meninggal saat Sakhi masih berusia 2,5 tahun. Ayahnya, seorang guru SMK yang sangat dihormati di desanya, berusaha sebaik mungkin menggantikan peran ibu dalam hidup Sakhi. Namun, meski penuh kasih sayang, tak ada yang benar-benar bisa menggantikan sosok seorang ibu.
Khairin, adik Sakhi, beruntung karena masih memiliki ibu yang hidup, namun kebahagiaan itu tidak lengkap. Ibu Khairin, meski penuh kasih sayang terhadap anaknya sendiri, tidak pernah memperlihatkan perasaan yang sama kepada Sakhi. Bahkan, sering kali ia memandang Sakhi dengan dingin, seakan kehadiran anak perempuan itu hanya menjadi pengingat akan masa lalu yang ingin dilupakannya.
Meskipun mereka dipisahkan oleh jarak—Sakhi tinggal bersama ayahnya di rumah sederhana yang berdekatan dengan sekolah, sementara Khairin tinggal bersama ibunya di bagian lain desa—rasa sayang di antara mereka tak pernah berkurang. Ada suatu ikatan yang tak terlihat namun sangat kuat, menghubungkan hati dua saudara ini. Setiap kali Khairin masih kecil, Sakhi sering kali datang mengunjungi rumah ibunya, hanya untuk memastikan bahwa adiknya baik-baik saja. Setiap kali mereka bertemu, Khairin akan melompat kegirangan dan berlari ke pelukan kakaknya. Sakhi, dengan senyum hangat yang selalu terpancar, akan memeluknya erat, menghapus segala kekhawatiran yang tersimpan di dalam hatinya.
Halaman 2
Namun, seiring waktu, pertemuan mereka semakin jarang. Khairin tumbuh menjadi anak yang cerdas dan ceria, sementara Sakhi, yang mulai memasuki usia remaja, harus menghadapi berbagai tantangan hidup tanpa ibu. Ayah mereka bekerja keras sebagai seorang guru SMK untuk menghidupi mereka berdua, namun sering kali waktu terasa tak cukup untuk berbicara dari hati ke hati.
Setiap kali Sakhi mengunjungi Khairin, ia merasakan kehangatan keluarga yang sempat hilang dari hidupnya. Meskipun ibu Khairin tidak pernah menyambutnya dengan baik, Sakhi tak pernah peduli. Baginya, yang terpenting adalah melihat senyum adiknya, mendengar tawa riangnya, dan merasakan kehadiran satu-satunya orang yang membuatnya merasa tidak sendirian di dunia ini.
Sementara itu, Khairin, yang semakin dewasa, mulai menyadari perbedaan perlakuan ibunya terhadap Sakhi. Ia sering kali melihat bagaimana ibunya memperlakukan kakaknya dengan acuh tak acuh, bahkan kadang dengan dingin. Ini membuat Khairin merasa sedih dan bingung, namun ia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, ia mencintai ibunya yang telah merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang, namun di sisi lain, ia juga sangat menyayangi Sakhi yang selalu ada untuknya.
Halaman 3
Suatu hari, ketika Sakhi datang mengunjungi Khairin, ia menemukan adiknya sedang duduk di teras rumah dengan wajah yang muram. Khairin tampak berbeda kali ini, tidak ada senyum ceria yang biasa menyambut Sakhi. Khawatir, Sakhi mendekatinya dan duduk di sampingnya. “Ada apa, Rin? Kakak lihat kamu tidak seperti biasanya,” tanya Sakhi dengan lembut.
Khairin terdiam sejenak, lalu menatap kakaknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Kak, kenapa ibu tidak menyayangi Kakak seperti ibu sayang padaku? Aku lihat ibu selalu dingin sama Kakak, dan itu membuat aku merasa sedih,” ujar Khairin, suaranya bergetar.
Sakhi terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tak pernah membayangkan adiknya akan menyadari perlakuan ibu mereka yang berbeda. Sakhi menghela napas panjang, lalu merangkul Khairin dengan penuh kasih sayang. “Rin, jangan pernah merasa sedih karena itu. Kakak sudah terbiasa. Yang penting, kita berdua tetap saling menyayangi. Kakak tahu, ibu mungkin sulit untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada Kakak, tapi itu bukan salah kamu.”
Khairin memeluk kakaknya lebih erat. “Aku sayang Kakak, dan aku ingin Kakak bahagia.”
Air mata menetes di pipi Sakhi, namun ia tersenyum, merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan. “Kakak juga sayang sama kamu, Rin. Dan selama kita tetap bersama, apapun yang terjadi, kita akan baik-baik saja.”
Sejak hari itu, hubungan mereka semakin kuat. Meski tinggal berjauhan dan dipisahkan oleh kondisi keluarga yang rumit, Sakhi dan Khairin selalu memastikan mereka tidak kehilangan satu sama lain. Ikatan darah yang mengalir di dalam tubuh mereka, ditambah dengan kasih sayang tulus yang mereka bagi, menjadi fondasi tak tergoyahkan dari hubungan mereka. Dunia mungkin tidak sempurna, tetapi bagi Sakhi dan Khairin, mereka adalah segalanya.