Bu Woro menatap layar laptopnya dengan tegang. Email dari penyelenggara program microcredential di Monash University baru saja masuk. Ia telah melewati seleksi administrasi dan essay. Hanya tinggal satu langkah lagi—wawancara dalam bahasa Inggris. Jika berhasil, Bu Woro akan berangkat ke Melbourne selama 4 hingga 6 bulan untuk mengikuti program yang telah lama menjadi impiannya.
Program tersebut berfokus pada Positive Behaviour Support (PBS), pendekatan yang sangat penting untuk mendukung anak-anak penyandang disabilitas, termasuk yang mengalami spektrum autisme. Di SMP Satu Atap tempat Bu Woro mengajar, ia sering menemui murid-murid dengan kebutuhan khusus. Namun, karena keterbatasan pengetahuan dan fasilitas, sering kali ia merasa tidak cukup mampu untuk memberikan dukungan terbaik yang mereka butuhkan.
Kesempatan beasiswa ini adalah sebuah jalan untuk memperbaiki itu semua. Monash University, sebagai penyelenggara, menawarkan program yang tidak hanya meningkatkan kemampuan pedagogi, tetapi juga memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana menangani murid-murid dengan kebutuhan khusus melalui pendekatan PBS.
Wawancara dijadwalkan pada tanggal 17 September, sepenuhnya dalam bahasa Inggris. Ini adalah bagian yang membuat Bu Woro merasa gugup. Meskipun ia cukup mampu dalam membaca dan menulis bahasa Inggris, berbicara dalam bahasa tersebut di depan panelis internasional menimbulkan kecemasan tersendiri.
“Bu, aku dengar ibu mau ke luar negeri ya?” tanya Nina, salah satu muridnya yang sedang bermain di halaman sekolah.
Bu Woro tersenyum lembut. “Iya, tapi ibu masih harus tes wawancara dulu. Kalau lulus, baru bisa pergi ke sana.”
Nina, yang sangat mengidolakan Bu Woro, menatapnya penuh antusias. “Ibu pasti lulus, Bu! Ibu kan pintar banget. Kami semua doain!”
Ucapan itu membuat hati Bu Woro terasa sedikit lebih ringan. Namun, ia tahu bahwa doa saja tidak cukup. Ia harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
Setiap malam setelah pulang mengajar, Bu Woro mulai disiplin mempersiapkan wawancara tersebut. Ia menonton video-video wawancara berbahasa Inggris dan mempelajari cara menjawab pertanyaan-pertanyaan umum, terutama yang berkaitan dengan bidang yang akan ia pelajari nanti.
Sore itu, Bu Woro mengikuti kelas online dengan tutornya, Ms. Clara. Tutornya yang berasal dari Australia itu sangat membantu dalam memperlancar bahasa Inggrisnya.
“Good afternoon, Ms. Clara,” sapanya sedikit gugup.
“Good afternoon, Bu Woro! How are you feeling today?” tanya Ms. Clara dengan senyuman ramah.
Bu Woro menarik napas dalam-dalam. “I feel… a little nervous, but also excited.”
Ms. Clara mengangguk penuh pengertian. “That’s normal! Now, let’s focus on the interview practice. I’ll be one of the panelists. Ready?”
Dengan perlahan, mereka mulai berlatih. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan, seperti “Why are you interested in Positive Behaviour Support?” dan “How will you implement what you’ve learned to support students with autism or disabilities at your school?”
Bu Woro menjawab dengan pelan, kadang terhenti karena mencari kata yang tepat, namun Ms. Clara dengan sabar memberikan masukan.
“I want to help students with disabilities, especially those with autism, to have a better learning experience. In my school, we don’t have enough resources to support them, and I believe the Positive Behaviour Support program will give me the tools to change that,” ucapnya dengan hati-hati.
“That’s a great answer! Just make sure you speak confidently during the real interview,” balas Ms. Clara penuh semangat.
Malam demi malam, Bu Woro terus melatih kemampuan bahasanya. Terkadang ia merasa lelah, tapi ia tahu apa yang sedang dipertaruhkannya: masa depan para murid dengan disabilitas yang sangat ia pedulikan.
Hingga malam sebelum wawancara, ia duduk di ruang tamunya, mengulang-ulang jawaban yang sudah ia persiapkan. Di luar, suara jangkrik dan angin malam menemani. “Besok adalah hari besar,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Aku sudah mempersiapkan ini dengan baik. Aku pasti bisa.”
Esok harinya, Bu Woro mengenakan pakaian terbaiknya. Laptop sudah siap di meja, dan sambungan internetnya sudah diuji berulang kali. Dengan jantung berdebar, ia bergabung ke dalam ruang virtual wawancara.
Suara dari salah satu panelis terdengar ramah, “Hello, Bu Woro. Welcome to the interview.”
Senyum kecil terukir di wajahnya. Ia tahu bahwa apapun hasilnya nanti, ia sudah berjuang sebaik mungkin. Ia menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan tenang, berbicara tentang pentingnya pendidikan inklusif, dan bagaimana program ini akan sangat membantu murid-muridnya di SMP Satu Atap.
Langkah Bu Woro ke Melbourne memang belum pasti, namun satu hal yang pasti adalah dedikasinya untuk membawa perubahan bagi murid-murid yang membutuhkan dukungan lebih. Dan kini, ia merasa lebih siap dari sebelumnya.